Membangun Wajah Baru Turisme
Tahun 2020 disebut sebagai tahun terburuk dalam sejarah pariwisata. Namun, setelah meluluhlantakkan turisme tahun lalu, pandemi Covid-19 membuka peluang untuk membangun wajah pariwisata nasional ke depan.
Organisasi Pariwisata Dunia PBB menyebut 2020 sebagai tahun terburuk dalam sejarah pariwisata. Secara global, jumlah kedatangan internasional anjlok 74 persen atau 1 miliar orang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya seiring dengan pembatasan perjalanan akibat Covid-19. Akan tetapi, setelah segenap keterpurukan akibat pandemi, pariwisata ke depan diprediksi akan tumbuh semakin berkualitas dan berkelanjutan.
Jatuhnya perjalanan internasional tahun lalu mewakili perkiraan kerugian 1,3 triliun dollar AS dalam pendapatan ekspor. Menurut Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO), angka itu lebih dari 11 kali kerugian yang tercatat selama krisis ekonomi global tahun 2009.
Kawasan Asia Pasifik mengalami penurunan 84 persen atau sekitar 300 juta kedatangan turis internasional pada tahun 2020. Penurunan itu merupakan yang terdalam dibandingkan kawasan lain, seperti Afrika dan Timur Tengah yang masing-masing turun 75 persen, Eropa 70 persen, atau Amerika 69 persen.
Khusus di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sepanjang tahun 2020 hanya 4,022 juta kunjungan atau turun 75,03 persen dibandingkan tahun 2019 yang tercatat 16,1 juta kunjungan. Dalam skala domestik, dampak pandemi terekam dalam data tingkat hunian kamar hotel berbintang serta anjloknya jumlah penumpang moda angkutan udara, darat, dan laut.
Sepanjang tahun lalu, selain transportasi yang terkontraksi 15,04 persen, sektor akomodasi dan makan minum tumbuh minus 10,22 persen. Di Indonesia, keduanya menjadi sektor yang paling terdampak oleh pandemi seiring dengan pembatasan pergerakan masyarakat guna menekan penyebaran virus.
Akan tetapi, selain meluluhlantakkan turisme, pandemi membawa peluang untuk membangun sektor pariwisata menjadi lebih baik. Menteri Pariwisata periode 2000-2004 I Gede Ardika menyebut, pandemi jadi momentum merumuskan lagi pengembangan pariwisata nasional di masa depan. Pariwisata semestinya tidak lagi dimaknai hanya dari segi ekonomi, tetapi juga lingkungan, budaya, sosial, budaya, politik, pertahanan, dan keamanan.
”Kita perlu melihat pariwisata dari paradigma baru. Jika selama ini kita fokus ke aspek kuantitas, sekarang harus bergeser ke aspek kualitas. Ini penting untuk membangun pariwisata yang berkelanjutan,” tutur Ardika dalam diskusi buku yang digelar Penerbit Buku Kompas dan harian Kompas, Sabtu (6/6/2020).
Pemerintah dan pelaku usaha harus berbenah dan meninggalkan konsep pengelolaan pariwisata yang eksploitatif dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Menurut Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azahari, kearifan lokal yang dikelola sesuai standar kebersihan, keamanan, dan kenyamanan yang baik akan banyak diminati, misalnya wisata belajar membatik di Pekalongan dan belajar menari kecak di Bali.
Terus berubah
Azril menambahkan, dunia pariwisata terus berubah mengikuti konteks sejarah. Pada periode 1980-2000, seiring dengan munculnya kesadaran hak cuti dan rekreasi, perkembangan teknologi dan urbanisasi, serta kemunculan kartu kredit, pariwisata modern berskala besar atau mass tourism mulai berkembang.
Saat itu, pariwisata dilihat sebagai aktivitas untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan bersenang-senang. Turis lebih memilih berburu matahari, pasir, dan laut. Tahun 2000, konsep wisata berkualitas mulai muncul. Turisme dengan bumbu ekonomi kreatif bernuansa lokal berkembang. Namun, mass tourism juga tumbuh kian pesat seiring dengan persoalan sosial budaya dan lingkungan yang menyertai.
Baca juga : Sandiaga: Pemerintah Fokus Bantu 34 Juta Pekerja (1)
Menurut Azril, pandemi Covid-19 mempercepat lahirnya era baru pariwisata. Diawali dari keterpurukan akibat dampak ekonomi pandemi, pariwisata ke depan diprediksi akan semakin berkualitas dan berkelanjutan. ”Orang tidak ingin bepergian ke suatu tempat hanya untuk jadi penikmat, mereka juga ingin berbagi dan menjadi bagian di dalamnya. Wisata bukan lagi untuk membawa kesenangan diri semata, tetapi ketenangan diri,” ujarnya.
Tren di masa depan adalah pariwisata yang lebih mengedepankan kepekaan sosial. Masyarakat lokal diberdayakan menjadi pelaku ekonomi itu sendiri, bukan hanya menjadi penonton atau pencari kerja. Apalagi, mengingat tren perubahan perilaku turis yang lebih mencari pengalaman khusus dan unik.
Tren pariwisata ke depan juga akan lebih hijau, tidak lagi bersifat eksploitatif dengan pembangunan besar-besaran yang merusak lingkungan, tetapi menggabungkan alam dengan wisata yang sehat. ”Ini yang harus diingat oleh pemerintah, bahwa seiring waktu, konsep pariwisata bergeser mengikuti perubahan perilaku manusia,” katanya.
Kebiasaan yang terbentuk selama pandemi akan membentuk wajah turisme. Pariwisata berubah menjadi lebih terarah (segmented) sesuai minat khusus pelancong, berupa rombongan kecil dan personal (small sized), serta akan lebih memanfaatkan perkembangan sains dan teknologi (science and technology).
”Pariwisata akan lebih terarah, personal, dan bersih. Kebersihan bukan lagi faktor yang bisa ditawar setelah pandemi,” kata Azril.
Baca juga : Tahun 2021 sebagai Momentum Pemulihan Pariwisata
Belum terarah
Akan tetapi, Indonesia dinilai belum memiliki konsep yang terarah mengenai pariwisata pascapandemi. Pemerintah masih menghabiskan triliunan rupiah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membangun infrastruktur serta kawasan wisata super-prioritas yang belum tentu berdampak pada perekonomian masyarakat.
”Pariwisata bukan semata soal pertumbuhan ekonomi, tapi ada juga dampak sosial, budaya, dan lingkungannya. Ekonomi penting, tetapi yang harus dikembangkan itu ekonomi masyarakat, bukan pemilik hotel dan investor. Selama ini, investasi kita tinggi, tetapi itu bukan untuk masyarakat,” tutur Azril.
Azril, antara lain, mengkritisi pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Lido di Bogor, Jawa Barat. Rencana pengembangan KEK Lido meliputi atraksi seperti pembangunan taman hiburan (theme park), resor berbintang, studio film, lapangan golf, dan fasilitas lain yang tidak menonjolkan keunikan lokal dan memberdayakan masyarakat sekitar.
Menurut dia, ada kesalahan fatal mendefinisikan destinasi sekadar sebagai tempat fisik, bukan perspektif baru dalam melihat sesuatu. Kekeliruan lain adalah mendefinisikan atraksi sebagai pertunjukan atau tontonan, bukan daya tarik yang seharusnya menonjolkan keunikan dan otentisitas budaya setempat.
”Tidak heran arah pariwisata kita masih bercokol pada pembangunan fisik destinasi kelas dunia, bukannya membangun keunikan Indonesia. Padahal, yang seperti itu sudah banyak ditemukan di negara lain,” kata Azril.
Bertahan dulu
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, hal terpenting saat ini adalah bertahan selama pandemi. ”Kita belum bisa membayangkan bagaimana perkembangan pariwisata tahun ini. Jangankan berkembang, untuk bertahan saja belum tentu bisa,” ucapnya.
Selama pandemi belum teratasi, pariwisata tetap akan sulit pulih. Kebijakan untuk menekan penularan Covid-19 pasti akan bertentangan dengan upaya menggerakkan sektor pariwisata. Menurut Maulana, titik terang baru akan tercapai ketika pemerintah benar-benar fokus mengeluarkan kebijakan untuk mendukung dan memulihkan sektor pariwisata.
Baca juga : Industri Pariwisata Kembali ”Injak Rem”
Selama ini pemerintah dinilai seperti kehilangan arah. ”Pemerintah sekarang bangga menganggarkan pembangunan kawasan super-prioritas baru, bukannya bagaimana sektor yang eksis sekarang bisa bertahan dulu. Ingat, esensi pariwisata di setiap daerah itu adalah tumbuhnya UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), lebih baik uang itu dipakai untuk membantu sektor ini bertahan,” tuturnya.
Menurut dia, cara paling cepat menggerakkan pariwisata memang mendorong mobilitas manusia. Namun, hal itu bertentangan dengan kondisi saat ini. Oleh karena itu, fokus pemerintah seharusnya memberikan bantalan sosial, bantuan langsung tunai, serta stimulus bagi masyarakat dan usaha yang ada sekarang.
Survei Panel Ahli UNWTO menunjukkan prospek yang beragam untuk tahun 2021. Hampir separuh responden (45 persen) memperkirakan prospek yang lebih baik dibandingkan tahun lalu, sementara 25 persen mengharapkan kinerja yang sama tahun lalu, dan 30 persen memproyeksikan kinerja yang lebih buruk.
Mayoritas ahli tidak melihat situasi akan kembali seperti sebelum pandemi sebelum tahun 2023. Sebanyak 43 persen responden menunjuk tahun 2023, sementara 41 persen lain berharap pemulihan ke level 2019 pada tahun 2024 atau sesudahnya.
Fokus pemerintah
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, fokus pemerintah pada tahun 2021 ini adalah menjaga agar pelaku usaha dan pekerja di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif (parekraf) tidak mengalami kehancuran permanen.
Ada 34 juta orang yang menggantungkan hidup di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif serta 2,6 juta lapangan kerja yang terdampak pandemi. ”Pandemi ini langsung mengganggu arus kas para pegiat sektor parekraf. Maka, program tanggap daruratnya adalah menyelamatkan mereka,” katanya dalam wawancara dengan Kompas, pertengahan Februari 2021.
Pada tahun 2021, pemerintah mengusulkan anggaran Rp 9,4 triliun untuk sektor pariwisata. Adapun anggaran dana hibah pariwisata Rp 2,7 triliun sampai Rp 3,7 triliun, sedikit naik dari alokasi pada 2020 sebesar Rp 3,3 triliun. Pasca-dugaan korupsi dana hibah di daerah, pemerintah akan mengevaluasi tata kelola penyalurannya lewat pembenahan pendataan.
Baca juga : Sandiaga: Pemerintah Fokus Bantu 34 Juta Pekerja (2)
Di sisi lain, ia mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, fokus utama tahun ini adalah mengembangkan lima destinasi super-prioritas di Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), Likupang (Sulawesi Utara), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur).
Daerah lain yang ditargetkan menjadi destinasi pariwisata prioritas adalah Wakatobi, Raja Ampat, Bangka Belitung, Bromo-Tengger-Semeru, dan Morotai. ”Kami terus melakukan simulasi berbasis data agar program pemulihan ekonomi nasional ini bisa dirasakan masyarakat, khususnya untuk menciptakan lapangan kerja,” kata Sandiaga.
Terkait arah pariwisata ke depan, Sandiaga membenarkan, pandemi akan menjadi titik balik dalam mengubah industri pariwisata yang lebih baik. Saat ini, pemerintah sedang membahas pengembangan wisata sehat (wellness tourism), seperti kegiatan yoga dan meditasi serta wisata spiritualitas untuk mencari ketenangan diri.
Menurut dia, pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan akan diminati oleh kaum milenial. Namun, ada pula sekitar 1 miliar masyarakat dunia berusia 60 tahun ke atas yang punya kemampuan belanja hingga 15 triliun-20 triliun dollar AS yang juga akan mencari pariwisata berkelanjutan itu.
Pemerintah sedang mendorong program rumah kedua (second home) melalui pemberlakuan visa jangka panjang hingga lima tahun. ”Saya bicarakan dengan Dirjen Imigrasi Kemenkumham (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) agar visa lima tahun bisa menjadi bagian dari pariwisata berkualitas dan berkelanjutan,” kata Sandiaga.