Beradaptasi Menghadapi Pandemi
Selama satu tahun Indonesia berjibaku melawan keganasan Covid-19 yang merenggut nyawa puluhan ribu orang. Pandemi ini tidak hanya menyingkap rapuhnya sistem layanan kesehatan, tetapi juga menampilkan wajah baru dunia.
Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warganya positif menderita Covid-19. Itu mengakhiri spekulasi Indonesia sebagai negara kebal Covid-19. Sebelumnya, kontroversi dilontarkan sejumlah pejabat negara terkait Covid-19 dari sangkalan Covid-19 masuk ke Indonesia hingga meremehkan kemunculan pandemi itu.
Sejak kasus pertama terdeteksi di Indonesia hingga Senin (1/3/2021), Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, jumlah kumulatif kasus Covid-19 telah mencapai 1,34 juta orang. Sementara angka kematian akibat Covid-19 bertambah 159 orang dalam sehari atau total kasus kematian 36.325 korban jiwa.
Sejarah pun berulang. Covid-19 bukan pandemi pertama yang dialami dunia, termasuk Indonesia. Pada 1997, 2003, dan 2009, Indonesia menghadapi serangan pandemi flu burung (Avian influenza), SARS (sindrom pernapasan akut parah), hingga flu babi (Swine flu). Bila dilacak jauh ke belakang, pada 1957-1958, Indonesia dilanda flu Asia.
Baca juga: Prioritas Vaksin Covid-19 untuk Lansia Tekan Kematian
Namun, pandemi paling mematikan terjadi lebih dari seabad lampau, tahun 1918-1919. Menurut catatan Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, saat dunia dilanda wabah influenza atau flu Spanyol yang diperkirakan menjangkiti 500 juta penduduk dan menewaskan sedikitnya 50 juta orang. Di Indonesia, diperkirakan ada 1,5 juta-4,37 juta korban jiwa hanya di Jawa dan Madura.
Ironisnya, catatan sejarah yang diungkap sejarawan Ravando dalam bukunya, Perang Melawan Influenza, menunjukkan, pandemi flu Spanyol di Indonesia memiliki banyak kemiripan dengan Covid-19, mulai dari respons pemerintah lambat, buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, hingga ada sejumlah orang yang memanfaatkan situasi demi kepentingan pribadi.
Kondisi itu mengakibatkan warga bergerak sendiri-sendiri guna mencari solusi masalah itu dari tindakan klinis sampai ritual berbau mistis. Situasi itu diperparah dengan pernyataan kontroversial para pejabat negara terkait pencegahan dan pengobatan penyakit itu yang memicu kebingungan warga.
Jauh sebelum terjadi pandemi Covid-19, Indonesia sebenarnya telah menyepakati implementasi Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation) tahun 2005. Kedaruratan kesehatan masyarakat yang jadi perhatian dunia tertuang dalam regulasi itu demi mengantisipasi kedaruratan kesehatan seperti pandemi.
Aturan itu mensyaratkan agar kita menyiapkan sistem karantina dan penapisan melalui upaya pencegahan, deteksi, dan repons cepat. ”Kemampuan itu harus selalu ada pada setiap negara sehingga kita siap begitu ada wabah penyakit,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Dharmawan.
”Kenyataannya, kita gagap dan lambat merespons kedaruratan kesehatan,” ujarnya. Itu ditandai dengan minimnya kapasitas pemeriksaan, pelacakan, dan penanganan kasus. Apalagi di awal pandemi, pemeriksaan kasus dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) dimonopoli Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
Selain kapasitas tes dan fasilitas kesehatan rujukan bagi pasien Covid-19 terbatas, saat itu ketersediaan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan, seperti masker medis dan baju hazmat atau baju pelindung, belum memadai. Kondisi ini membuat banyak tenaga kesehatan terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 hingga berujung kematian. Belum lagi kuatnya stigma yang dialami penderita, termasuk tenaga kesehatan yang terinfeksi.
Untuk mengendalikan pandemi, sejak awal Maret 2020, pemerintah melahirkan berbagai kebijakan pencegahan dan penanggulangan. Selain membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar dan menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.
Baca juga: Perlombaan Mutasi dan Vaksinasi Covid-19
Besarnya dampak Covid-19 menuntut pemerintah memperbesar cakupan penanganan pandemi. Presiden Joko Widodo di bulan Juli mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Pembatasan kehidupan sosial dan ekonomi warga tetap dilakukan. Terakhir, muncul kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat skala mikro.
Namun terdapat inkonsistensi sejumlah kebijakan penanganan pandemi. Sebagai contoh, keluarnya kebijakan larangan mudik tetapi warga boleh pulang kampung. Di masa libur sekolah dan libur panjang, mobilitas warga meningkat sehingga memicu kerumunan. ”Kita bermain diksi dan ada godaan untuk berdamai dengan Covid-19,” kata Ede.
Seiring pelonggaran pembatasan mobilitas penduduk, kasus pun terus melonjak. Bahkan, akhir Januari lalu, jumlah kasus aktif Covid-19 di Indonesia terbanyak di Asia, menggeser India yang mampu melandaikan kurva penularan. Penularan Covid-19 telah masuk level komunitas sehingga makin sulit dikendalikan.
Meski beberapa hari terakhir laju penularan menurun, rasio kasus positif Covid-19 di Indonesia per Senin (1/3/2021) mencapai 18,6 persen atau jauh di atas ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen. Sementara jumlah orang yang diperiksa dalam sehari 18.940 orang dan belum merata di semua daerah.
Adapun angka kematian akibat Covid-19 pada Januari-Februari 2021 telah melampaui 50 persen dari total angka kematian akibat Covid-19 sepanjang 2020. Tingginya angka kematian itu mencerminkan rapuhnya sistem kesehatan nasional yang bertumpu pada rumah sakit atau fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Akibatnya, rumah sakit kewalahan menangani pasien Covid-19 sehingga banyak penderita tak tertangani secara optimal.
Hingga setahun pandemi, kelemahan terbesar penanganan pandemi masih pada minimnya tes, pelacakan, dan penanganan kasus. Itu terjadi karena peran fasilitas kesehatan tingkat pertama atau puskesmas yang menjadi ujung tombak penanganan pandemi, seperti dilakukan di China dan Thailand, tidak dioptimalkan.
”Fasilitas kesehatan tingkat pertama seharusnya menjalankan fungsi promosi dan pencegahan Covid-19 melalui kampanye penerapan protokol kesehatan, penapisan, pemeriksaan, pelacakan, dan penanganan kasus,” kata Ede. Namun, sejak era Jaminan Kesehatan Nasional, puskesmas lebih fokus pada upaya kuratif atau pengobatan.
Dampak ekonomi dan sosial
Namun, pandemi lebih dari sebatas krisis kesehatan, tetapi juga menciptakan krisis sosial dan ekonomi. Tekanan yang dihadapi setiap negara berpotensi mengakibatkan dampak sosial, ekonomi, dan politik. Setiap hari, orang kehilangan pekerjaan dan pendapatan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan secara global 400 juta pekerjaan hilang akibat pandemi.
Fasilitas kesehatan tingkat pertama seharusnya menjalankan fungsi promosi dan pencegahan Covid-19 melalui kampanye protokol kesehatan, penapisan, pelacakan, dan penanganan kasus.
Di Indonesia, setahun terakhir warga bersiasat untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka. Menurut survei Litbang Kompas pada Desember 2020, hampir 80 persen responden mengaku penghasilan keluarga berkurang.
Selain meruntuhkan ketahanan ekonomi keluarga, pandemi mengubah wajah relasi sosial di masyarakat. Pemberlakuan pembatasan sosial yang menuntut jaga jarak fisik membuat aktivitas seni budaya, olahraga, dan kegiatan lain terhenti. Pola interaksi sosial dan kerja pun berpindah ke ruang virtual dengan memanfaatkan teknologi.
Sulitnya bepergian, termasuk mengunjungi keluarga, berbelanja, dan pembatalan penerbangan, berdampak pada mobilitas penduduk dan kehidupan keluarga. Akibatnya, pandemi bisa menimbulkan efek psikologis jangka panjang bagi masyarakat yang memengaruhi kemampuan mereka untuk hidup.
Baca juga: Berangkat Diam-diam, Pulang Pun Sembunyi
Situasi pandemi juga menciptakan disrupsi terbesar dalam sejarah sistem pendidikan seiring penutupan sekolah-sekolah dan institusi pendidikan lainnya. Unicef menyebutkan, sekitar 2,34 miliar anak dan remaja berusia kurang dari 18 tahun berada di negara-negara yang menjalankan pembatasan akibat Covid-19.
Kajian Bank Dunia menunjukkan secara global tingkat ketidakmampuan belajar di negara berpendapatan menengah ke bawah diperkirakan meningkat 10 persen dari 53 persen pada 2019 menjadi 63 persen tahun ini karena pandemi. Di Indonesia, pandemi memaksa lebih dari 68 juta anak tidak belajar di sekolah.
Mengutip Survei Sosial Ekonomi Nasional 2018, sekitar 31,8 juta anak usia sekolah dasar sampai sekolah lanjut tingkat atas tinggal di 15 provinsi dengan kasus positif Covid-19 terbanyak dan ada 19,4 juta atau 61 persen anak Indonesia tidak memiliki akses internet di rumahnya sehingga tidak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh.
Situasi itu memperparah kesenjangan layanan pendidikan sehingga meningkatkan risiko penurunan kemampuan belajar (learning loss) siswa. Risiko anak putus sekolah pun meningkat karena mencari nafkah dan menikah demi meringankan beban ekonomi keluarga. Persoalan yang telah lama ada itu makin parah akibat pandemi.
Lebih cepat dan inovatif
Meski demikian, harapan masyarakat untuk bisa keluar dari lorong gelap pandemi Covid-19 belum pupus. Hasil survei Litbang Kompas akhir Februari 2021 menunjukkan masih terdapat 40,2 persen responden yang memiliki kesiapan dan antusiasme tinggi menghadapi kehidupan semasa pandemi.
Pandemi Covid-19 menuntut kita berinovasi untuk bisa bertahan dan terus berkembang. Di bidang pendidikan, misalnya, inovasi layanan pendidikan berbasis digital berkembang mulai dari saling berbagi konten pembelajaran di kalangan tenaga pendidik dan perkuliahan dan kursus secara daring.
Situasi pandemi juga menjadi momentum kebangkitan riset dan inovasi di Tanah Air. Setahun terakhir, setidaknya 61 produk inovasi karya anak bangsa telah dihasilkan dalam upaya penanganan pandemi di bawah koordinasi Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Pelaksanaan program vaksinasi Covid-19 yang dicanangkan pemerintah sejak Januari lalu menjadi salah satu senjata untuk memenangkan pertempuran melawan pandemi Covid-19. Pemerintah menargetkan vaksinasi dengan total sasaran 181,5 juta penduduk rampung dalam kurun waktu 12 bulan.
Menurut juru bicara vaksinasi dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, vaksinasi massal menjadi strategi untuk mempercepat capaian cakupan vaksinasi nasional agar kekebalan komunitas segera terbentuk. Setelah tenaga kesehatan divaksinasi, kini giliran warga lanjut usia dan petugas pelayanan publik divaksinasi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, sebagaimana diberitakan Kompas, menegaskan, vaksinasi Covid-19 tahap kedua menyasar 38 juta penerima vaksin dan 21 juta di antaranya merupakan lansia. Dukungan pemerintah daerah dan masyarakat diperlukan dalam penyediaan lokasi vaksinasi demi memudahkan akses bagi lansia.
Untuk mempercepat program vaksinasi, tempat vaksinasi dan vaksinator mesti diperbanyak melibatkan rumah sakit swasta dan membuka pos-pos vaksinasi di komunitas ataupun perkantoran. ”Vaksinasi mesti berdasarkan prinsip kesetaraan akses dan berbasis epidemiologi dengan memprioritaskan kelompok rentan,” kata Ede.
Indonesia bisa belajar dari sejumlah negara lain dalam mempercepat pelaksanaan vaksinasi, misalnya India. Dalam artikel di jurnal Lancet 1 Maret 2021, India menargetkan memvaksinasi 300 juta orang sampai Agustus 2021, jadi hanya dalam tujuh bulan saja meliputi 30 juta petugas kesehatan dan petugas pelayanan publik lini terdepan serta 270 juta usia tua dan usia di bawahnya dengan komorbid atau penyakit penyerta.
Prof Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, yang juga mantan Direktur Penyakit menular WHO Asia Tenggara, menuturkan, vaksinasi di India dimulai 16 Januari 2021, tepatnya tiga hari sesudah Indonesia memulai, dan sampai 28 Februari 2021 sudah 14,3 juta orang divaksinasi dengan memakai dua jenis vaksin, Covishield (Serum Institute of India Ltd) dan Covaxin (Bharat Biotech International Ltd).
Selanjutnya mulai 1 Maret 2021, India mempercepat cakupan vaksinasi dengan mengikutsertakan fasilitas pelayanan kesehatan swasta sehingga masyarakat akan mudah mendapat tempat divaksin di dekat rumah dan lingkungannya, tanpa harus antre, mendaftar, dan berbagai prosedur birokrasi lainnya, tinggal langsung datang dengan membawa kartu identitas.
Vaksinasi di fasilitas pemerintah sepenuhnya gratis, sedangkan di fasilitas swasta (klinik dan RS) membayar 250 rupee atau setara dengan Rp 50.000. ”Ada tiga hal untuk mempercepat vaksinasi yakni ketersediaan vaksin, manajemen vaksinasi terdiri dari sumber daya manusia, distribusi, dan pelaksanaan di fasilitas kesehatan, serta penerimaan masyarakat,” kata Tjandra Yoga.
Tantangan program vaksinasi di Indonesia mesti diantisipasi terkait penerimaan warga terhadap vaksin dan munculnya varian baru SARS-CoV-2 yang memengaruhi efektivitas vaksin. Untuk menekan laju penularan tak cukup dengan vaksinasi, tetapi mesti lebih cepat melacak kasus demi memutus rantai penularan dan menerapkan protokol kesehatan.
Di tengah pandemi yang belum jelas kapan berakhir dan kemungkinan virus penyebab Covid-19 akan terus bersirkulasi di masyarakat, perubahan wajah dunia di segala bidang kehidupan tak terelakkan. Adaptasi, inovasi, dan kesigapan mengendalikan penularan menjadi syarat utama agar kita bisa bertahan melalui gelombang pandemi.
Herd immunity harus terbangun, bukan hanya 70 persen penduduk Indonesia divaksin, melainkan tumbuh antibodi dan sistem kekebalannya. Ada isu dengan efikasi 65 persen, harus diwaspadai. Artinya, dari 100 orang yang divaksin, 65 persen tumbuh yang lain tidak. Selama masih ada kasus baru, positivity rate masih di atas 5 persen. Berarti, selama itu pula menerapkan protokol kesehatan dan protokol hidup sehat. Keterampilan hidup sejak usia dini. Cuci tangan, berolahraga, rumah bersih, ada toilet yang baik.