Berangkat Diam-diam, Pulang Pun Sembunyi
Stigma terhadap penderita Covid-19 sudah muncul sejak kasus pertama ditemukan. Korbannya meluas hingga ke keluarga dan tenaga kesehatan yang menangani pandemi Covid-19. Stigma membuat penanganan kasus menjadi sulit.
JAKARTA, KOMPAS - Seperti hari-hari sebelumnya Sawitem masih berada di tengah lapangan lantai delapan Menara 9, Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Pademangan, Jakarta Utara, selepas berolahraga pada Selasa (26/1/2021). Pagi itu, ia berkumpul dengan dengan empat pasien lain yang tengah menjalani isolasi mandiri.
Mereka membentuk lingkaran besar untuk berjemur sambil bercakap-cakap mengenai latar belakang dan gejala awal yang dialami sebelum terkonfirmasi positif Covid-19.
Di tengah perbincangan, perempuan 50 tahun itu berdiri lalu berteriak. “Hei, warga kampung! Tinggal di sini tuh enak,” ucapnya. “Mandinya aja pakai air panas lho!” lanjutnya sambil tertawa, disambut tawa lepas empat pasien yang duduk mengelilinginya.
Di balik tawa Sawitem berharap teriakan itu bisa didengar masyarakat. Sebab, hampir setahun Covid-19 mewabah, masih ada stigma terhadap para penderita, termasuk di lingkungan tempat tinggalnya, Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Baca juga : Jerat Stigma Penyintas Covid-19
Sawitem dan suami positif terinfeksi virus korona baru sejak pekan kedua Januari. Namun, mereka harus menunggu beberapa hari di rumah karena tidak langsung mendapatkan rujukan dari puskesmas setempat untuk diisolasi di Wisma Atlet.
Selama isolasi mandiri di rumah, ibu dua anak itu sempat kehabisan bahan pangan. Tidak ada tetangga yang bersedia membantu. Membeli juga tak bisa.
“Saya mau beli makanan di warung enggak ada yang mau melayani. Kalau pun ada, mereka enggak mau ambil duit saya, katanya takut kena virus,” kata dia. “Kayak gitu terus sampai saya pulang juga enggak apa-apa sih, jadi dapat gratisan,” kelakar Sawitem.
Di balik tawa Sawitem berharap teriakan itu bisa didengar masyarakat. Sebab, hampir setahun Covid-19 mewabah, masih ada stigma terhadap para penderita, termasuk di lingkungan tempat tinggalnya, Pulo Gadung, Jakarta Timur
Tidak hanya takut pada penderita, warga juga takut untuk memeriksakan diri. Menurut Sawitem, ada banyak warga yang sakit dan bergejala serupa dengan dirinya seperti demam, batuk, pilek, dan kehilangan daya penciuman. “Pak RT saya itu sekeluarga sudah seminggu enggak bisa nyium, tapi enggak mau di-swab. Alasannya takut ninggalin anaknya yang masih kecil,” ucapnya.
Meski bisa melunturkan kepedihan dalam canda, Sawitem tak mau keterasingan tersebut terulang di ruang isolasi. Ia ingin keluar dari jerat stigma dan kerasnya hidup, walau sebentar saja.
Karenanya, pasien bergejala ringan itu selalu keluar kamar pada pagi dan sore hari. Ia berkeliling ke tiga lapangan yang tersedia di menara setinggi 24 lantai, menyapa dan mengajak ngobrol semua orang yang ditemui. Dari sejumlah pertemuan itu, ikatan antara Sawitem dan pasien lain mulai terbentuk. Ia pun merasa aman untuk bersosialisasi.
Berbekal ikatan tersebut, Sawitem yang buta huruf bisa dengan leluasa meminta bantuan untuk menggunakan ponsel pintar yang dibawakan anaknya. Ia yang tidak bisa menggunakan lift juga percaya diri bepergian ke lantai berapa pun. Sebab, siapa saja yang ditemui bersedia membantu mengarahkan ketika ia menunjukkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kertas bertuliskan nomor kamar yang selalu dibawanya.
Baca juga : Buang Stigma, Galang Kerja Sama bagi Pasien Korona
Bagi Sawitem yang sehari-hari tinggal di rumah kontrakan di wilayah permukiman padat, fasilitas isolasi ini tergolong mewah. Gabungan penghasilannya sebagai buruh cuci dengan suami sebagai pedagang kopi keliling dirasa tak bisa untuk mendapatkan hal serupa.
Di Wisma Atlet, pasien ditempatkan dalam unit apartemen yang terdiri dari dua kamar berpendingin udara, ruang tamu, dan dapur. Unit yang luasnya 36 meter persegi itu juga memiliki kamar mandi dengan keran pancur, kakus duduk, dan pemanas air.
Dalam sehari, mereka mendapatkan jatah makan tiga kali dengan menu bervariasi. Sayur, daging, dan buah selalu ada di dalamnya. Di sela jam makan, ada kudapan. “Semuanya saya kasih lihat ke anak saya kalau lagi video call. Saya suruh ceritain ke tetangga, biar mereka tahu kalau diisolasi itu enggak serem,” tutur Sawitem.
Takut pulang
Namun, kehidupan yang relatif aman dari stigma seolah berakhir jelang pasien keluar dari Wisma Atlet. Imawati (40), warga Tanjung Priok, Jakarta Utara, ini resah di hari terakhir isolasi meski sejak awal sudah merahasiakan statusnya kepada para tetangga karena takut dikucilkan.
Ia berangkat ke Wisma Atlet diam-diam dan akan pulang sembunyi-sembunyi. Suami dan dua anaknya yang tinggal di rumah diminta untuk menutupi kepergiannya. Sebab, sebagai ibu rumah tangga, Imawati akan lebih banyak berinteraksi dengan para tetangga setelah kembali ke rumah. “Setiap ada yang tanya saya pergi kemana, mereka akan jawab sedang pulang kampung,” kata perempuan asal Nias, Sumatera Utara itu.
Keresahan serupa dirasakan Niar (26), pasien asal Cilincing, Jakarta Utara. Masih ada kekhawatiran baginya untuk pulang ke rumah karena stigma yang berkembang di lingkungan masyarakat hampir berdampak fatal bagi keluarganya. Ketika ia dan empat anggota keluarga lainnya positif korona, tidak ada tetangga yang mau membantu merawat neneknya yang sudah lanjut usia.
Nenek Niar yang tinggal sendiri di rumah jatuh sakit setelah ditinggal seluruh anggota keluarga pergi isolasi mandiri di tempat terpisah. Asma dan hipertensi yang sudah lama diidapnya kambuh. “Baru ada pertolongan ketika Eyang perlu dibawa ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, ternyata Eyang sudah positif Covid-19, gejalanya berat sampai seperti koma karena perburukan Covid-19,” ujar Niar.
Hambat penemuan kasus
Stigma terhadap penderita Covid-19 sudah muncul sejak kasus pertama ditemukan pada Maret 2020 dan terus berkembang bahkan hingga satu tahun pandemi berlangsung. Mengacu survei LaporCovid-19 pada Agustus 2020, korban juga meluas tidak hanya pada penderita, tetapi juga penyintas dan keluarganya. Hal ini menimpa baik masyarakat umum, maupun tenaga kesehatan.
Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (16/2/2021), menilai, stigma masih terus berkembang di tengah masyarakat yang tingkat pendidikannya masih rendah dan literasi yang belum utuh. Maraknya berita bohong dan inkonsistensi informasi dari pejabat publik sepanjang pandemi Covid-19 berakibat pada pemahaman yang keliru tentang penyakit ini.
Baca juga : Stigma Perburuk Penularan
Pemahaman tersebut akhirnya membentuk persepsi dan mendorong warga bertindak yang tidak tepat. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan komunikasi publik dengan memasukkan konten anti-stigmatisasi dalam kampanye pencegahan Covid-19.
Selain perlakuan buruk terhadap masyarakat, kata Ede, stigmatisasi juga mempersulit penelusuran kasus baru. Ketika warga yang terinfeksi Covid-19 merahasiakan statusnya, maka penelusuran akan terhenti, kesempatan melakukan tes usap pada kontak eratnya juga hilang.
Idealnya kontak erat harus ditemukan dalam 72 jam. Dalam rentang waktu tersebut, orang yang tertular dinilai masih akan bergejala ringan. “Gara-gara stigma, penemuan kasus menjadi sullit. Ketika ditemukan pun, kasusnya sudah berisiko sedang dan berat, itu mengakibatkan penumpukan di pelayanan,” kata Ede.
Aulia Nursyafitri, petugas pelacak dari Puskesmas Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, membenarkan bahwa stigmatisasi menghambat penemuan kasus. Masih ada warga yang menolak untuk dites usap meski pernah berkontak erat dengan pasien. Kontak petugas juga kerap diblokir oleh warga yang dihubungi. “Masih banyak yang termakan gosip kalau swab di puskesmas itu akan dibuat jadi positif,” kata dia dihubungi dari Jakarta, Rabu (24/2/2021).
Masih banyak yang termakan gosip kalau swab di puskesmas itu akan dibuat jadi positif
Pihak puskesmas tidak bisa memaksa ketika ada penolakan. Biasanya, petugas mempersilakan warga untuk tes usap di laboratorium yang mereka percaya. Petugas juga sering meminta bantuan tokoh masyarakat setempat untuk membujuk warga.
Hingga Kamis (25/2/2021), terjadi penambahan 8.493 kasus baru, sehingga total ada 1,31 juta orang terkonfirmasi positif Covid-19. Di Jakarta, jumlah kasus positif mencapai 332.658 kasus. Sebanyak 0,7 persen di antaranya tidak bergejala; 31,1 persen bergejala; dan 68,2 persen lainnya belum diketahui.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (Cisdi) Olivia Herlinda mengatakan, untuk mengikis stigma diperlukan edukasi yang lebih intens. Salah satunya dengan cara mendekatkan penanganan covid-19 pada kehidupan sehari-hari warga. “Opsi memiliki fasilitas isolasi terpusat di tingkat komunitas harusnya menjadi alternatif bila layanan kesehatan terlalu penuh. Itu justru dapat membuat masyarakat lebih terbuka dan menghindari stigmatisasi,” ujar dia dihubungi dari Jakarta, Jumat (12/2/2021).
Di tengah masyarakat yang terbuka dan memahami Covid-19 secara utuh, Sawitem dan kawan-kawan tidak perlu trauma. Pencegahan dan penanganan korona pun semestinya bisa dilakukan lebih efektif.