Tetap Atur Keuangan Saat Manfaatkan KPR Nol Persen Berbunga Rendah
Berbagai strategi dibuat pemerintah untuk menarik minat masyarakat membeli properti. Lantas, bagaimana strategi masyarakat untuk memanfaatkannya dengan memastikan keuangan tetap sehat?
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
Berbagai strategi untuk menarik minat masyarakat membeli properti di tengah pandemi Covid-19 terus dilakukan pemerintah. Bank Indonesia (BI) per 1 Maret 2021 memperbolehkan uang muka atau down payment (DP) kredit pemilikan rumah (KPR) hingga nol persen melalui pelonggaran aturan loan to value (LTV).
Strategi lainnya adalah penurunan bobot risiko (aset tertimbang menurut risiko /ATMR) KPR dari 100 persen menjadi 50 persen oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Langkah ini diharapkan membuat bank lebih banyak menyalurkan KPR.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Totok Lusida menyambut baik relaksasi kebijakan tersebut. Ia juga mendorong pemerintah untuk ikut melonggarkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) atas pembelian properti yang selama ini sebesar 10 persen dari harga jual.
”Semua kebijakan ini memang harus dijalankan bersamaan agar menggairahkan minat masyarakat untuk membeli properti,” ujar Totok saat dihubungi Kompas, Senin (1/3/2021).
Kebijakan DP nol persen dinilai akan memudahkan masyarakat yang tidak memiliki cukup uang untuk membayar uang muka agar bisa segera memiliki rumah melalui KPR. Pelonggaran PPN juga akan semakin meningkatkan kemampuan masyarakat membeli rumah di masa sulit seperti ini.
Keringanan tersebut, menurut Totok, akan berdampak pada naiknya minat pembelian beragam properti terutama dari kalangan milenial. Berdasarkan survei, milenial meminati perumahan dengan harga mulai Rp 300 juta sampai Rp 2 miliar per unit.
Bunga kredit
Totok juga menyoroti beragam kebijakan bunga KPR rendah yang ditawarkan perbankan. Seperti diketahui, awal tahun ini, banyak perbankan menawarkan bunga cicilan rumah di bawah 10 persen.
Contohnya, Bank BCA yang dalam rangka ulang tahun ke-64, menawarkan bunga sebesar 3,88 persen untuk satu tahun pertama. Bank Mandiri, milik pemerintah, juga menyediakan suku bunga KPR mulai dari 3,88 persen. Lalu, ada Bank BTN, yang menawarkan bunga bersifat tetap (fixed) sebesar 8,88 persen selama 2 tahun.
Terkait tren ini, Totok mempersilakan masyarakat untuk memanfaatkannya, tetapi tetap memperhatikan risiko keuangan. ”Bunga kredit yang rendah itu kan biasanya hanya di tahun-tahun awal, sisanya bisa mengambang mengikuti tren suku bunga. Jadi, masyarakat harus tahu kemampuan juga,” ujarnya.
Mengambil bunga KPR murah jadi satu pertimbangan Dwi Utari (27), karyawan swasta di Jakarta. Menikah tahun lalu, Dwi dan suaminya yang saat ini tinggal di rumah kontrakan di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, berminat untuk membeli rumah baru dengan KPR.
Ia mengincar perumahan di perbatasan Jakarta dan Bekasi, Jawa Barat, dengan kisaran harga Rp 500 juta sampai Rp 800 juta. Sayangnya, saat ini mereka baru memiliki tabungan Rp 30 juta.
”Kami pikir tahun ini saat yang bagus untuk mulai kredit rumah. Kami sempat kepikiran untuk pinjam uang dari keluarga untuk DP rumah, lalu ikut program bunga KPR rendah. Tetapi, kami juga minat dapatkan fasilitas uang muka nol persen walaupun katanya ada risiko bunga cicilan besar ke depannya,” ujar Dwi.
Faktor bunga cicilan juga menjadi pertimbangan Eni Anggraini (29), warga Jakarta yang berminat memiliki rumah secara KPR. Ia kini masih berhitung, fasilitas cicilan seperti apa yang layak didapatkan untuk menyesuaikan risiko keuangannya.
Manajemen keuangan
Penasihat keuangan dari OneShildt Financial Planning, Risza Bambang, berpendapat, sebelum memutuskan membeli rumah, masyarakat yang memiliki keuangan terbatas sebaiknya mengecek kondisi dan risiko keuangannya. Ini kemudian harus diikuti pengelolaan keuangan yang baik.
”Pertama, harus tahu dulu kondisi keuangannya, apakah sehat atau tidak. Kalau tidak sehat, diperbaiki dulu. Kedua, mulai rutin mencatat pengeluaran setiap hari. Ketiga, belajar mengelompokkan keuangan yang wajib dan hanya untuk senang-senang,” tuturnya kepada Kompas.
Kesehatan keuangan bisa dihitung dari rasio utang, aset atau tabungan, dan pendapatan. Keuangan yang sehat memungkinkan seseorang atau pasangan membeli rumah secara kredit dengan sisa pendapatan yang tidak terpakai untuk pengeluaran wajib.
Adapun pengeluaran untuk kredit rumah, termasuk cicilan jangka panjang, disarankan tidak melampaui 35 persen dari pendapatan.
”Untuk menambah cicilan rumah, kita bisa merelakan pengeluaran yang tidak wajib atau hanya untuk senang-senang. Pengeluaran untuk tabungan atau investasi juga tidak salah kalau dikurangi untuk cicilan rumah karena properti kan juga bisa jadi aset investasi,” kata Risza.
Bahkan, menurut dia, membeli rumah tinggal sejak dini bisa menjadi tabungan pensiun. Dengan harga tanah dan bangunan yang akan terus naik, rumah yang dibeli sejak dini dapat menjadi aset investasi di hari tua.
Persepsi ini juga ditemukan dalam survei Property Watch Indonesia pada awal September 2020. Survei dilakukan terhadap 285 responden usia 35–55 tahun yang berdomisili di Jakarta, Jawa, dan luar Pulau Jawa. Survei menunjukkan, sebanyak 42,55 persen responden membeli properti untuk disimpan dalam jangka panjang.