Pemerintah diminta melindungi pekerja melalui pengawasan dan bantalan sosial yang kuat terkait dengan pelonggaran upah di industri padat karya. Program subsidi upah diharapkan berlanjut tahun ini.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketentuan tentang pelonggaran upah pekerja sektor padat karya diharapkan tidak menyasar pekerja yang upahnya sudah pas-pasan atau di bawah upah minimum. Pemerintah diingatkan untuk tidak lepas tanggung jawab melindungi buruh lewat pengawasan yang kuat serta bantalan sosial yang seimbang.
Wakil Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Jumisih, Jumat (19/2/2021), menilai, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Covid-19 sulit berpihak kepada buruh karena posisi tawar lemah.
Alih-alih melindungi buruh, Permenaker No 2/2021 justru dikhawatirkan menjustifikasi penetapan upah sesuai dengan kepentingan pengusaha. Perundingan atau kesepakatan bipartit antara pengusaha dan buruh tidak akan seimbang. Apalagi banyak buruh Indonesia belum berserikat sehingga kesetaraan dalam perundingan sulit dicapai.
”Permenaker ini seolah-olah demokratis karena memberi ruang berunding, tetapi faktanya posisi pengusaha dan buruh tidak setara. Kuasa pengusaha lebih besar daripada buruh dan tidak perlu teori tinggi-tinggi untuk mengetahui adanya ketimpangan dalam perundingan,” kata Jumisih saat dihubungi di Jakarta.
Regulasi itu mengatur, perusahaan padat karya tertentu yang terdampak pandemi dapat menyesuaikan upah pekerja. Perusahaan yang dimaksud harus mempekerjakan minimal 200 orang dan persentase biaya tenaga kerja dalam ongkos produksi paling sedikit 15 persen.
Sektor padat karya yang dimaksud adalah industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kulit dan barang kulit; industri alas kaki; industri mainan anak; dan industri furnitur. Penyesuaian upah harus disepakati oleh pengusaha dan buruh (Kompas, 19/2/2021).
Menurut Jumisih, jika penyesuaian upah harus dilakukan karena kondisi keuangan perusahaan memang terpuruk, pemberlakuannya harus selektif. Artinya, hanya menyasar pihak-pihak yang upahnya lebih tinggi. ”Jika mau membuat kesepakatan, standarnya seharusnya jangan menyasar pekerja yang upahnya adalah (sama atau lebih rendah dari) upah minimum,” ujarnya.
Ia menyoroti Pasal 88A Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan, upah pekerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Jika kesepakatan upah lebih rendah dari ketentuan, sesuai UU Cipta Kerja, kesepakatan itu dinilai batal demi hukum.
Subsidi upah
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 (Sakernas 2019) menunjukkan, mayoritas pekerja masih menerima upah di bawah standar upah minimum. Di DKI Jakarta ada 51 persen pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum provinsi. Di Surabaya dan sekitarnya, porsinya bahkan sekitar 60 persen.
Di tengah pandemi, pengurangan upah semakin marak. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap pelaku usaha menunjukkan, 14 dari tiap 100 perusahaan, yang beroperasi dengan sistem bekerja dari rumah, merumahkan tenaga kerjanya tanpa bayaran. Pengurangan jam kerja dan pemangkasan upah adalah langkah lain yang relatif banyak diambil perusahaan.
Jumisih mengatakan, pengusaha sudah mendapat sejumlah kemudahan, seperti keringanan pajak, kredit, relaksasi iuran jaminan sosial ketenagakerjaan, dan kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan upah minimum 2021. Pemerintah seharusnya mencari solusi untuk menyelamatkan dunia usaha sekaligus buruh.
Kondisi buruh dinilai semakin miris karena pemerintah memutuskan tidak melanjutkan program bantuan subsidi upah pekerja untuk tahun 2021. Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, dengan permenaker itu, pemerintah seharusnya membuat mitigasi dengan memberlakukan subsidi upah lagi.
”Pekerja yang mengalami pemotongan upah diberi bantuan supaya daya beli pekerja dan keluarganya tetap terjaga. Hal lain yang harus dipastikan adalah menjamin pekerja yang dipotong upahnya tetap menjadi peserta jaminan sosial,” ujar Timboel.
Fleksibilitas
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menilai, permenaker itu pada dasarnya memberikan fleksibilitas. Menurut dia, tidak masalah jika penyesuaian upah bertentangan dengan UU Cipta Kerja yang melarang upah di bawah upah minimum.
”Yang paling mengerti kondisi perusahaan itu adalah si pengusaha dan pekerjanya sendiri. Peraturan ini justru memberi fleksibilitas bagi kedua belah pihak karena bisa mengatur ulang upah sesuai kesepakatan. Kalau tidak sepakat, ya, tentu tidak bisa,” katanya.
Menurut Hariyadi, hampir semua perusahaan di sektor padat karya terdampak pandemi. Perusahaan sudah mulai mengurangi upah buruh sejak tahun lalu dengan mekanisme perundingan bipartit. Permenaker memberi penegasan dan dasar hukum untuk itu.
”Kalau tidak ada regulasi, repot juga. Kondisi cash flow sudah minus, saya tidak dengar ada padat karya yang masih bertahan, semuanya kerepotan sekarang ini,” ujar Hariyadi.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, kehadiran permenaker justru menegaskan bahwa meski perusahaan terdampak pandemi, kewajiban membayar upah dan hak lain kepada pekerja tetap harus dilaksanakan. Penyesuaian besaran upah juga tidak boleh dilakukan semena-mena, tetapi berdasarkan kesepakatan dengan pihak pekerja.