Kemudahan Investasi Energi Terbarukan Harus Dijamin UU
Rancangan UU Energi Baru dan Terbarukan yang diproses di DPR diharapkan bisa mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Salah satu syaratnya adalah ramah terhadap investasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan harus mampu menjamin kemudahan berinvestasi di bidang energi terbarukan di Indonesia. Transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan dilakukan oleh banyak negara sehingga persaingan memperebutkan investasi akan ketat.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Senin (15/2/2021), mengatakan, RUU Energi Baru dan Terbarukan yang sedang digodok DPR harus bisa mendorong pengembangan energi terbarukan dalam skala besar. Kemudahan berinvestasi, termasuk bagaimana menciptakan iklim investasi yang menarik, harus diakomodasi dalam RUU tersebut.
Pada masa mendatang, investasi di sektor energi terbarukan akan terus meningkat. Hal itu mengingat yang sedang bertransisi meninggalkan energi fosil ke energi terbarukan bukan saja Indonesia, tetapi banyak negara lain di dunia.
”Oleh karena itu, perebutan investasi di sektor ini akan menjadi sangat ketat. RUU tersebut harus mampu menciptakan iklim investasi yang menarik sehingga investor berlomba-lomba berinvestasi di Indonesia,” kata Fabby dalam webinar ”Mencari Format UU Energi Baru dan Terbarukan yang Ideal” yang diselenggarakan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Indonesia, imbuh Fabby, tak boleh ketinggalan dalam pengembangan energi terbarukan. Pasalnya, pergaulan internasional, terutama dalam dunia perdagangan, telah mensyaratkan pemanfaatan energi terbarukan sebagai bagian dari perundingan perdagangan. Apalagi, akan ada kecenderungan penerapan pajak karbon dalam hal penggunaan energi fosil.
”Nah, tantangannya adalah bagaimana pengembangan energi terbarukan di Indonesia bisa dipercepat dan diterapkan dalam skala besar. RUU ini harus bisa menjawab tantangan tersebut,” ujar Fabby.
Kemudahan berinvestasi, termasuk bagaimana menciptakan iklim investasi yang menarik, harus diakomodasi dalam RUU tersebut.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyampaikan, target bauran energi nasional sebesar 23 persen dari energi baru dan terbarukan pada 2025 dan menjadi 31 persen pada 2050 akan sulit dicapai apabila pengembangannya tidak fokus di wilayah yang permintaan listriknya tinggi. Pengembangan energi terbarukan yang menyasar wilayah terpencil atau perdesaan tidak cukup signifikan dalam usaha mencapai target tersebut.
”Perlu ekspansi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap secara masif, terutama di kota-kota besar. Dalam simulasi kami, Jakarta berpotensi untuk dipasang PLTS atap dengan total luasan mencapai 60 kilometer persegi. Apalagi, persepsi masyarakat untuk memasang PLTS atap terbilang tinggi,” katanya.
Menurut Leonard, pengembangan energi terbarukan dalam skala besar akan berhasil apabila ada dukungan pemerintah berupa insentif, seperti insentif pajak dan bunga kredit yang ringan. Selain itu, penentuan tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan sangat berpengaruh pada pengembangan energi terbarukan itu sendiri.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim, juga setuju bahwa pemerintah harus memberikan dukungan insentif fiskal terhadap investasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah juga wajib membangun kemampuan lembaga keuangan untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan.
”Yang tak kalah penting adalah bagaimana kebutuhan atau tingkat komponen dalam proyek energi terbarukan bisa dipenuhi di dalam negeri sehingga tidak bergantung pada impor,” ucap Herman.
Penentuan tarif jual beli tenaga listrik dari energi terbarukan sangat berpengaruh pada pengembangan energi terbarukan itu sendiri.
Sementara itu, Ketua Umum METI Surya Darma menyampaikan perlunya pembentukan badan pengelola energi terbarukan di Indonesia. METI sudah mengusulkan pembentukan badan pengelola itu agar dimasukkan dalam draf RUU Energi Baru dan Terbarukan. Badan pengelola berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan maupun pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
”Negara-negara maju lainnya memiliki badan khusus dalam pengelolaan energi terbarukan di negara mereka. Ini adalah konsep yang umum atau lazim dan banyak negara melakukannya,” kata Surya.
Menurut Surya, badan pengelola tersebut memiliki fungsi pengaturan, seperti pemberlakuan standardisasi, pengawasan, edukasi ke publik, mempromosikan energi terbarukan, serta menerbitkan aturan atau regulasi. Selain itu, badan pengelola juga berfungsi mendukung dalam hal pemetaan sumber daya energi terbarukan, pengembangan proyek, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan.