Transisi energi menuju energi bersih dan terbarukan tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Butuh komitmen politik pemerintah, termasuk dukungan pendanaan dari berbagai sumber.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Foto udara perumahan yang telah dilengkapi panel surya di kawasan Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran negara untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia terbatas. Pengembangan energi itu merupakan bagian dari program transisi energi. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mencari sumber pendanaan dari luar anggaran negara untuk mendukung pengembangan energi terbarukan tersebut.
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) mengalokasikan dana 18 miliar dollar AS untuk mendukung proyek transisi energi jangka panjang.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, keterbatasan anggaran negara untuk mendukung pembiayaan transisi energi lewat pengembangan energi terbarukan mengharuskan pencarian sumber pendanaan baru. Beberapa hal yang sudah dilakukan pemerintah adalah menerbitkan green sukuk (konsep investasi syariah untuk pembiayaan proyek energi bersih) dan pembiayaan dari PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
Selain itu, pemanfaatan green climate fund (GCF) juga dioptimalkan. GCF adalah mekanisme keuangan dalam kerangka Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang didedikasikan untuk mendukung negara-negara berkembang dalam program transisi energi.
”Untuk mempermudah pengembangan energi terbarukan di dalam negeri, pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan fiskal berupa pelonggaran pajak, pembebasan bea masuk alat produksi energi terbarukan, atau penghapusan pajak bumi dan bangunan untuk eksplorasi tenaga panas bumi,” kata Suahasil saat menjadi pembicara kunci dalam acara Indonesia Energy Transitin Dialogue 2020, Senin (7/12/2020).
Beberapa hal yang sudah dilakukan pemerintah adalah menerbitkan green sukuk (konsep investasi syariah untuk pembiayaan proyek energi bersih) atau pembiayaan dari PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam sambutannya di acara yang sama menyampaikan, untuk menjamin ketahanan energi di Indonesia, pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi terbarukan di dalam negeri. Ada potensi 400.000 megawatt (MW) energi terbarukan di Indonesia. Namun, yang termanfaatkan sekitar 10.000 MW atau 2,5 persen.
”Energi terbarukan memainkan peranan penting dalam melawan perubahan iklim, termasuk dalam pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah berusaha keras mencapai target bauran energi baru dan terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025. Saat ini, porsinya masih sekitar 9 persen,” ujar Arifin.
Beberapa strategi yang ditempuh pemerintah untuk mencapai target tersebut adalah mengoptimalisasi program biodiesel, mendorong pengembangan kendaraan lisrik, serta memanfaatkan kompor listrik di sektor rumah tangga. Selain itu, pemerintah juga mendorong program hilirisasi batubara menjadi dimetil eter untuk menggantikan elpiji dan untuk menghasilkan metanol.
Pemerintah juga mendorong program hilirisasi batubara menjadi dimetil eter untuk menggantikan elpiji dan untuk menghasilkan metanol.
Dari sisi anggaran negara, untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 29 persen pada 2030, dibutuhkan pembiayaan sebanyak Rp 3.461 triliun. Namun, kemampuan anggaran negara hanya sekitar 34 persen dari total anggaran yang dibutuhkan. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata alokasi belanja negara untuk proyek pencegahan perubahan iklim sebesar Rp 89,6 triliun.
Kompas/Priyombodo
Foto udara perumahan yang dilengkapi panel surya di Summarecon Serpong, Tangerang, Banten, Rabu (4/3/2020). Kesadaran konsumen terhadap lingkungan dari penggunaan energi terbarukan dimanfaatkan oleh pihak pengembang perumahan dengan memberikan penawaran bonus panel surya di setiap unit rumah yang dijual.
Komitmen politik
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menambahkan, transisi energi di Indonesia adalah proses panjang dan tidak bisa terjadi dalam waktu singkat. Oleh karena itu, perlu komitmen politik yang kuat dari pemerintah. Transisi energi harus disiapkan, dirancang, dan dikelola melalui dukungan penuh semua pemangku kepentingan, termasuk dari sektor swasta.
”Tak mudah memang mewujudkan 100 persen energi terbarukan. Akan banyak keraguan dan kritik dalam prosesnya. Transisi energi juga akan berbenturan dengan kepentingan terhadap rantai pasok energi fosil yang sudah ada dan mereka yang tidak mau berubah (menuju energi bersih dan berkelanjutan),” tutur Fabby.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, Indonesia berkomitmen menaikkan peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional menjadi sedikitnya 23 persen pada 2025. Peran tersebut ditingkatkan hingga menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050.
Dari segi bauran energi pada pembangkit listrik Indonesia, batubara masih sangat dominan, yakni 63,92 persen per Mei 2020. Adapun peran energi terbarukan hanya 14,95 persen dan sisanya adalah gas bumi dan bahan bakar minyak.