Pandemi Mengubah Permintaan Energi
Permintaan energi global pada 2020 ini diperkirakan akan turun 6 persen dibandingkan 2019. Penurunan sebesar ini belum pernah terjadi pada dekade-dekade sebelumnya.
Laporan Global Energy Review April 2020 yang diterbitkan Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) menyebutkan, emisi karbon (CO2) dunia diperkirakan turun 8 persen pada 2020 setelah pandemi Covid-19 memaksa mayoritas kegiatan ekonomi global berhenti. Prediksi itu didasarkaan pada asumsi adanya serangkaian pembatasan sosial, penerapan jam malam, bahkan penutupan sekolah dan perkantoran di berbagai belahan dunia.
Dalam situasi normal, arah dari permintaan energi dunia adalah mengurangi pemakaian energi fosil dan meningkatkan energi baru-terbarukan. Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi energi itu seiring perubahan pola permintaan energi.
Penurunan itu dicatat sebagai yang terbesar yang pernah ada, bahkan enam kali lebih besar dibandingkan dampak saat krisis finansial 2008. Penurunan yang cukup besar tersebut bisa dipandang sangat mendukung upaya untuk membatasi kenaikan suhu permukaan bumi rata-rata kurang dari 1,5 derajat celsius.
Meski demikian, penurunan ini bukan prestasi yang mesti dirayakan. Ketidakpastian yang besar masih membayangi selama pandemi belum teratasi. Kondisi ini justru menekankan pentingnya memprioritaskan energi bersih dalam rencana pemulihan ekonomi guna menghindari kemungkinan peningkatan emisi karbon secara tajam pascapandemi.
Gambaran global
Permintaan energi global pada 2020 ini diperkirakan akan turun 6 persen dibandingkan 2019. Penurunan sebesar ini belum pernah terjadi pada dekade-dekade sebelumnya. Bahkan, dikatakan angka itu sebanding dengan pertumbuhan permintaan energi selama lima tahun.
Penurunan emisi CO2 sebesar 8 persen menjadi 30,6 miliar ton CO2 (GtCO2) dibandingkan tahun lalu, menurut IEA, terutama disebabkan penurunan pemakaian batubara di sektor ketenagalistrikan. Hal lain juga karena persaingan dengan harga gas yang murah dan kegiatan industri yang melambat sehingga mengurangi pemakaian batubara. Permintaan terhadap batubara ini secara keseluruhan akan turun 8 persen.
Penerapan pembatasan sosial (lockdown) berdampak pada penggunaan moda transportasi sehingga permintaan terhadap minyak bumi juga akan turun, seperti terlihat pada empat bulan pertama tahun ini. Yang paling terdampak adalah bensin dan minyak tanah. Sementara permintaan terhadap diesel akan tetap tinggi. Secara umum, permintaan minyak bumi tahun ini akan turun 9 persen setelah pada empat bulan pertama hingga April turun sebesar 29 persen.
Berdasarkan laporan Carbon Brief dari British Petroleum (BP), September 2020 lalu, dunia sudah melewati fase puncak permintaan minyak bumi pada 2019. Permintaan minyak bumi akan turun 10 persen dalam dekade ini (2030) dan turun 50 persen pada dekade berikutnya (2040).
Permintaan minyak global dalam 50 tahun terakhir telah meningkat dua kali lipat dan mencapai sekitar 100 juta barel per hari pada 2019. Permintaan mencapai puncaknya pada 2019. Selanjutnya, laporan BP menyebutkan, permintaan minyak tidak akan melebihi angka 2019.
Permintaan terhadap gas juga akan turun meski tidak sebesar penurunan pada minyak bumi dan batubara, hanya sekitar 5 persen. Hal ini disebabkan pemakaian gas tidak terlalu signifikan pada sektor transportasi sehingga tidak terlalu terpengaruh pembatasan sosial.
Output tenaga nuklir juga akan berkurang 3 persen akibat lockdown dan pembangunan konstruksi yang tertunda. Penundaan sejumlah proyek tenaga nuklir sudah diumumkan China dan Finlandia, menyusul kemudian oleh Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis.
Permintaan tenaga listrik tahun ini juga anjlok 5 persen. Penurunan terbesar terutama pada negara-negara dengan perekonomian yang bergantung pada sektor jasa dan secara ketat menerapkan lockdown, seperti Italia.
Berbeda dengan energi atau bahan bakar dari fosil, energi baru dan terbarukan merupakan satu-satunya sumber energi yang diprediksi mengalami peningkatan pertumbuhan sepanjang tahun ini. IEA memprediksi, penggunaan energi baru dan terbarukan, termasuk untuk pemanas dan transportasi, akan meningkat 1 persen pada 2020 ini. Pergerakannya akan terus meningkat meskipun pemulihan ekonomi berjalan lambat.
Pertumbuhan tersebut terutama disumbang oleh sumber energi tenaga angin dan tenaga surya. Kedua jenis sumber energi ini diharapkan dapat menyuplai ketenagalistrikan global hingga 9 persen, meningkat dua kali lipat ketimbang lima tahun lalu.
Dari gambaran di atas terlihat, energi baru dan terbarukan menempati posisi penting dalam masa pandemi ini dan pemulihan ekonomi selanjutnya. Kenapa energi baru dan terbarukan tidak terpengaruh oleh pandemi, ini tak lain karena perannya belum begitu signifikan dalam kegiatan ekonomi, seperti sektor pembangkitan listrik dan transportasi.
Selain itu, kelebihan energi baru-terbarukan secara umum diprioritaskan dalam akses terhadap jaringan kelistrikan dan tidak dituntut melakukan penyesuaian produksinya berdasarkan permintaan.
Peluang Indonesia
Apa yang terjadi secara global juga tidak jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia dalam pemakaian energi selama pandemi Covid-19. Ada pembatasan sosial yang diterapkan hingga saat ini, juga perlambatan ekonomi yang menggiring pada resesi.
Pandemi telah mengubah permintaan energi jangka panjang dalam dua cara. Pertama, karena pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi. Kedua, karena perubahan perilaku pemakaian energi selama pandemi, seperti bekerja di rumah, yang menyebabkan penggunaan sarana transportasi berkurang.
Dengan jalan yang kian terbentang bagi pemakaian energi baru dan terbarukan sejak masa pandemi ini, pertanyaan berikutnya, bisakah peluang ini dimanfaatkan Indonesia di tengah rendahnya realisasi penyediaan energi terbarukan?
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi sudah menggariskan bahwa penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Namun, dalam praktiknya, pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia berjalan sangat lambat.
Total potensi energi baru-terbarukan yang dimiliki Indonesia mencapai 417,8 gigawatt (GW), yang mayoritas bersumber dari tenaga surya (207,8 GW) dan tenaga angin/bayu (60,6 GW). Namun, secara keseluruhan, pemanfaatannya baru 10,4 GW atau 2,5 persen dari jumlah total. Pemanfaatan tertinggi berasal dari tenaga panas bumi yang mencapai 8,9 persen dari total potensi 23,9 GW.
Dalam bauran energi nasional, realisasi pemanfaatan energi baru-terbarukan baru mencapai 9,15 persen, masih jauh dari target Kebijakan Energi Nasional sebesar 23 persen pada 2025. Perkembangan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan hanya sekitar 500 megawatt (MW) per tahun dalam empat tahun terakhir.
Baca juga: Bangkit dari Covid-19, Menjadi Lebih Ramah Lingkungan
Jika tidak ada upaya serius dan konsisten dari para pemangku kepentingan, kapasitas pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan hanya akan tumbuh 2.500 MW hingga 2025. Padahal, tambahan kapasitas pembangkit listrik untuk mencapai target energi baru dan terbarukan 23 persen pada 2025 berkisar 9.000 MW-10.000 MW.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral FX Sutijastoto dalam webinar ”Menuju Bauran Energi 2050: Evaluasi Kebijakan Energi Nasional” pada 28 September 2020 menyebutkan, salah satu kendala pengembangan energi baru-terbarukan adalah harga yang masih tinggi.
Hal itu karena pasarnya masih kecil sehingga belum mencapai skala keekonomian. Hal lain yang juga menjadi kendala adalah keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi PLN serta keterbatasan akses pada pendanaan yang murah.
Peluang sudah tersedia. Kini dibutuhkan terobosan dan upaya yang luar biasa agar Indonesia dapat seiring sejalan dengan langkah global mewujudkan energi baru dan terbarukan.
(LITBANG KOMPAS)