Bahan baku dan penolong masih mendominasi impor Indonesia. Substitusi impor didorong untuk meningkatkan penggunaan bahan baku dari dalam negeri.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri dalam negeri masih tergantung bahan baku dan bahan penolong impor. Ketergantungan ini bahkan terjadi pada sejumlah sektor manufaktur andalan.
Pemetaan Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan menunjukkan, struktur impor Indonesia didominasi impor bahan baku/penolong untuk keperluan produksi industri. Pada 2012-2019, impor bahan baku/penolong berkontribusi 75,2 persen terhadap total nilai impor dengan kenaikan rata-rata 6,8 persen per tahun.
”Hal itu mengindikasikan, industri dalam negeri kita masih bergantung kuat pada bahan baku dari impor,” kata peneliti Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri BPPP Kemendag Farida Rahmawati dalam diskusi refleksi kinerja perdagangan, Selasa (9/2/2021), secara virtual.
Ketergantungan impor bahan baku/penolong yang tinggi terutama terlihat pada lima sektor unggulan ekspor manufaktur yang termasuk dalam peta jalan revolusi industri Making Indonesia 4.0. Lima sektor itu adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), otomotif, elektronik, produk kimia, dan makanan-minuman olahan.
Ketergantungan impor bahan baku/penolong yang tinggi terutama terlihat pada lima sektor unggulan ekspor manufaktur yang termasuk dalam peta jalan revolusi industri Making Indonesia 4.0.
Farida memaparkan, korelasi antara tingkat ekspor dan tingkat impor bahan baku/penolong pada tiap sektor industri tersebut masih tinggi. Dalam lima tahun terakhir, ekspor produk otomotif memiliki ketergantungan paling tinggi terhadap bahan baku impor, yakni 91,7 persen, khususnya impor komponen transmisi motor dan impor suku cadang. Adapun ekspor sektor TPT bergantung 82,3 persen pada bahan baku/penolong impor, yang didominasi kain katun rajutan dan bukan rajutan serta kain poliester dan kapas.
Ekspor produk elektronik dan makanan-minuman masing-masing bergantung 74,7 persen pada impor bahan baku/penolong. Sementara ekspor produk kimia bergantung 67,5 persen pada bahan baku/penolong impor.
”Kalau dihitung secara total, ekspor kelima sektor itu berkorelasi hingga lebih dari 60 persen dengan impor bahan baku,” kata Farida.
Farida menambahkan, melalui pemetaan ini, pemerintah, khususnya Kemendag, dapat memberi kebijakan yang lebih terarah untuk memudahkan impor bahan baku/penolong di sektor-sektor yang ketergantungannya masih tinggi dan belum dapat dicukupi bahan baku dalam negeri.
Namun, ia mengingatkan, pemerintah juga harus tetap mengedepankan penggunaan bahan baku dalam negeri sebagai upaya substitusi impor.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menargetkan substitusi impor bahan baku/penolong serta barang modal untuk sektor industri minimal mencapai 15 persen pada tahun ini. Target itu akan dilanjutkan hingga 35 persen pada 2022.
Pemerintah juga harus tetap mengedepankan penggunaan bahan baku dalam negeri sebagai upaya substitusi impor.
Substitusi impor
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja berharap Kemendag dan Kemenperin dapat memadukan dan menyempurnakan kebijakan untuk mendorong pencapaian target substitusi impor pada 2023. Menurut dia, kapasitas industri dalam negeri sebenarnya mampu menyediakan kebutuhan bahan baku bagi industri TPT.
Namun, dukungan pemerintah dari sisi regulasi, kebijakan, dan pengembangan industri dalam negeri menjadi penting. ”Kekurangan industri dalam negeri memang masih ada, tetapi tidak banyak. Industri dalam negeri harus diberi kesempatan untuk berkembang agar bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja di tengah kondisi pandemi seperti ini,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, selama ini, industri hilir dibiarkan berkembang lebih pesat daripada industri hulu. Kebijakan lintas kementerian/lembaga yang tidak sinkron membuat hulu dan hilir tidak tertangani dengan seimbang. Di sisi lain, investasi di sektor hilir lebih mudah daripada hulu.
”Akhirnya, mau tidak mau industri hilir yang harus bergerak tetap mengimpor bahan baku dari luar. Hal ini yang terjadi dengan industri kakao kita dulu,” ujar Adhi.
Untuk mendorong substitusi impor beberapa bahan baku, pemerintah harus membuat pemetaan industri yang terintegrasi hulu-hilir. Pertama, memberikan insentif dan kemudahan untuk investasi di sektor hulu untuk mengimbangi sektor hilir. Kedua, mengembangkan sektor hulu yang dikuasai petani atau perkebunan rakyat untuk mendorong pemenuhan kebutuhan bahan baku dari dalam negeri.
Seiring dengan itu, kebijakan impor bahan baku/penolong dapat disesuaikan. ”Untuk komoditas yang terkait kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat luas, memang (impornya) perlu diatur pemerintah. Namun, untuk komoditas yang tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat luas dan negara, biar diurus pengusaha, pemerintah cukup mengawasi,” kata Adhi.
Transformasi
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, pemetaan kondisi industri dalam negeri dibutuhkan untuk menyambut momentum Indonesia bertransformasi pada 2021 dari negara pengekspor barang mentah atau setengah jadi menjadi negara eksportir barang industri berteknologi tinggi.
Sektor yang akan didorong tahun ini antara lain otomotif dan kendaraan bermotor, komoditas besi baja, serta perhiasan. Sektor otomotif masih bergantung pada bahan baku/penolong impor, sedangkan komoditas besi baja relatif aman karena Indonesia merupakan negara penghasil komoditas besi dan baja terbesar kedua di dunia setelah China.
Sektor yang akan didorong tahun ini antara lain otomotif dan kendaraan bermotor, komoditas besi baja, serta perhiasan.
”Dengan identifikasi yang cermat dan dilakukan bersama semua pemangku kepentingan, diharapkan kita dapat mengembangkan berbagai produk, khususnya produk UMKM, yang berpotensi untuk diangkat ke pasar internasional,” kata Jerry.
Lebih lanjut, untuk menempatkan Indonesia pada posisi strategis di rantai pasok global, perluasan akses pasar juga tengah diupayakan pemerintah lewat akselerasi berbagai penyelesaian perjanjian perdagangan. Kemendag menargetkan tahun ini akan menyelesaikan 11 perjanjian perdagangan.
Negosiasi sedang dilangsungkan dengan beberapa negara, seperti Turki, Pakistan, Bangladesh, Tunisia, Uni Eropa, Iran, Mauritius, dan Maroko. ”Pertengahan tahun ini mungkin sudah bisa diselesaikan setengah dari 11 perjanjian dagang itu dan semoga pada akhir 2021 sudah selesai semua, bahkan melampaui target,” kata Jerry.