Transformasi Investasi, Arahkan ke Sektor Berorientasi Ekspor
Forum Ekonomi Dunia menyebutkan, negara-negara perlu mengatur ulang strategi perekonomian pascapandemi. Strategi diarahkan untuk transformasi berkelanjutan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja impor yang meningkat mesti diimbangi dengan kenaikan ekspor lebih tinggi. Untuk menjaga agar neraca perdagangan tetap sehat, investasi sebaiknya diarahkan pada sektor berorientasi ekspor yang bernilai tambah dan berdaya saing.
Kinerja ekspor mulai membaik setelah perekonomian di beberapa negara mitra dagang utama kembali bergerak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja ekspor pada November 2020 tertinggi sejak awal tahun ini, yakni 15,275 miliar dollar AS. Nilai itu naik 6,36 persen dari Oktober 2020 dan naik 9,54 persen dari November 2019.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Rabu (16/12/2020), mengatakan, peluang ekspor harus ditanggapi Indonesia dengan strategi komprehensif. Kinerja ekspor tidak bisa berjalan sendiri, tetapi perlu didukung investasi yang tepat.
Oleh karena itu, target pemerintah meningkatkan investasi pada 2021 tidak bisa hanya berpatokan pada kuantitas atau nilai investasi. Selama ini, investor yang masuk kerap hanya menyasar potensi pasar domestik Indonesia yang besar. Nantinya, investasi harus membawa efek berganda yang turut menggerakkan kinerja ekspor dan menciptakan lapangan kerja.
”Sekarang pemerintah dan pelaku usaha harus berpikir, bagaimana caranya agar ketika ekonomi nanti pulih, impor kita meningkat, tetapi ekspor bisa meningkat lebih tinggi. Struktur ekonomi kita perlu diubah, jangan sampai kita kembali ke struktur lama,” kata Faisal saat dihubungi di Jakarta.
Data BPS menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia pada November 2020 surplus 2,612 miliar dollar AS. Impor pada bulan itu senilai 12,662 miliar dollar AS atau tumbuh 17,4 persen dari Oktober 2020.
Menurut Kepala BPS Suhariyanto, dalam konferensi pers secara dalam jaringan, Selasa (15/12), kendati secara kumulatif belum pulih, porsi barang modal dan bahan baku dalam total impor menunjukkan investasi dan industri dalam negeri tidak lagi lesu.
Transformasi
Laporan Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Report Special Edition 2020 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 16 Desember 2020, menyebutkan, pascapandemi, negara-negara perlu mengatur ulang strategi perekonomian. Strategi diarahkan ke transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan berjangka panjang, baik dari segi pasar, sumber daya manusia (SDM), lingkungan, maupun ekosistem riset dan inovasi.
Pascapandemi, negara-negara perlu mengatur ulang strategi perekonomian.
Dari sisi kesiapan menghadapi transformasi ekonomi pascapandemi, Indonesia mendapat skor relatif rendah, yakni 55,3 dari skala 0-100. Skor Indonesia terus merosot dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, skor Indonesia 64,6. Sementara pada 2018, Indonesia mendapat skor 64,9.
WEF mencatat, pekerjaan rumah Indonesia yang terbesar pada masa mendatang adalah meningkatkan kapasitas dan keterampilan sumber daya manusia agar siap menghadapi pergeseran lanskap pekerjaan masa depan serta mengembangkan riset dan inovasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pasar global pada masa depan.
Pekerjaan rumah Indonesia yang terbesar pada masa mendatang adalah meningkatkan kapasitas dan keterampilan sumber daya manusia.
Pemerintah Indonesia juga harus mulai mengarahkan investasi di sektor riil menjadi lebih berkualitas, berjangka panjang, ramah lingkungan, serta mengedepankan perlindungan terhadap masyarakat.
Faisal berpendapat, untuk menggerakkan ekspor dan menyehatkan neraca perdagangan, produk atau komoditas yang ditawarkan harus bernilai tambah. Menurut data BPS, barang yang paling banyak diekspor pada November 2020, antara lain, adalah logam dan besi baja.
Peningkatan ekspor besi baja dan logam sejalan dengan investasi di sektor pengolahan tambang. Investasi pada pengolahan di hilir perlu diperbanyak. Indonesia bisa memanfaatkan keunggulan komparatif dari sisi bahan baku.
”Kalau mau lebih baik, tingkat pengolahan harus lebih tinggi lagi, tidak hanya barang setengah jadi seperti sekarang, tetapi menjadi produk jadi bernilai tambah yang siap diekspor dengan lebih menguntungkan. Jangan hanya menjual turunan logam dan nikel, tetapi didorong menjadi barang jadi, seperti baterai,” kata Faisal.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah memang akan mendorong investasi melalui sektor-sektor prioritas yang bernilai tambah. Industri padat karya yang berorientasi ekspor akan menjadi prioritas utama, antara lain industri farmasi dan alat kesehatan, industri otomotif, dan industri elektronik.
Hilirisasi sektor pertambangan juga menjadi salah satu prioritas pemerintah. Salah satunya yang sedang didorong adalah hilirisasi nikel.
”Kami lagi mendorong hilirisasi secara menyeluruh untuk pembangunan industri baterai mobil listrik di Indonesia. Beberapa negara yang sedang dijajaki seperti Korea Selatan, China, dan baru-baru ini Jepang,” katanya.