Dua harga berbeda untuk komoditas yang sama rawan menyebabkan penyelewengan. Pengendalian distribusi elpiji 3 kilogram terus didorong agar subsidi elpiji benar-benar tepat sasaran.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konsep atau pedoman penerima subsidi elpiji 3 kilogram masih belum jelas sehingga rawan menimbulkan penyelewengan di lapangan. Selisih harga elpiji bersubsidi dengan yang nonsubsidi sebesar Rp 5.300 per kilogram turut mendorong timbulnya praktik penyelewengan tersebut. Sementara rencana distribusi tertutup oleh pemerintah belum memberikan kejelasan.
Direktur Pertamina Trading dan Komersialisasi Mas’ud Khamid, Selasa (9/2/2021), mengatakan, konsumsi elpiji 3 kilogram di Indonesia terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2020, konsumsi elpiji bersubsidi tersebut mencapai 7,14 juta ton dan diperkirakan naik menjadi 7,5 juta ton pada 2021. Konsumen terbesar datang dari sektor rumah tangga, yakni 74,4 persen, dan disusul pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 16,8 persen.
”Isu utama dalam penyaluran elpiji bersubsidi di Indonesia adalah belum ada kriteria yang tegas dan jelas tentang siapa-siapa saja yang berhak menerima elpiji bersubsidi ini. Sebab, awal mula pendistribusian elpiji ini adalah program konversi minyak tanah ke elpiji,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR.
Menyinggung soal besaran subsidi elpiji 3 kilogram, sejak 2017 sampai 2020 ada di kisaran Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun. Berdasarkan data Pertamina, subsidi elpiji pada 2017 sebesar Rp 43,76 triliun dan naik menjadi Rp 54,87 triliun pada 2018. Berturut-turut pada 2019 dan 2020 adalah Rp 41,56 triliun dan Rp 40,25 triliun. Tahun ini diperkirakan subsidi elpiji 3 kilogram sekitar Rp 40 triliun.
”Isu lain dalam pendistribusian elpiji 3 kilogram adalah selisih harga yang lebar antara elpiji bersubsidi dan yang nonsubsidi, yaitu Rp 5.300 per kilogramnya. Patut dicatat, sejak pertama kali diluncurkan pada 2007, harga elpiji 3 kilogram tidak pernah berubah,” ujar Mas’ud.
Konsumen elpiji 3 kilogram terbesar datang dari sektor rumah tangga, yakni 74,4 persen, dan disusul pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 16,8 persen.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Yulian Gunhar, mengatakan, akibat lebarnya selisih harga elpiji bersubsidi dengan yang nonsubsidi, tak heran masyarakat akan cenderung membeli elpiji 3 kilogram yang jauh lebih murah. Kondisi tersebut berpotensi menyebabkan penyaluran subsidi menjadi tak tepat sasaran.
”Dengan selisih harga yang Rp 5.000-an per kilogramnya, elpiji 3 kilogram menjadi primadona. Tak hanya pelaku UMKM, saya melihat rumah makan yang besar pun ada yang memakai elpiji bersubsidi tersebut,” ujarnya.
Yulian mengusulkan agar tata kelola pendistribusian elpiji bersubsidi diperbaiki. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan kartu beridentitas khusus yang hanya dimiliki masyarakat yang berhak mendapat subsidi. Hanya pemilik kartu yang bisa membeli elpiji subsidi tersebut sehingga penyalahgunaan elpiji bersubsidi dapat dicegah.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah mengatakan masih terus mematangkan rencana pendistribusian tertutup untuk elpiji 3 kilogram. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih terus berkomunikasi dengan Kementerian sosial terkait data masyarakat penerima subsidi. Rencana penerapan distribusi tertutup tahun lalu menjadi batal lantaran ada pandemi Covid-19.
”Perkembangan kapan distribusi tertutup diterapkan masih dalam pembahasan. Yang pasti, keputusannya akan diambil di 2021 ini,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji dalam telekonferensi pada beberapa waktu lalu.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral masih terus berkomunikasi dengan Kementerian sosial terkait data masyarakat penerima subsidi.
Dalam rapat bersama Komisi VII DPR tersebut, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengemukakan, defisit gas berpotensi terjadi pada 2025. Defisit ini bisa terjadi lantaran kemampuan produksi gas dalam negeri menurun, sementara permintaan gas terus naik. Selain untuk konsumsi rumah tangga dan industri, gas juga diperlukan untuk pengoperasian kilang milik Pertamina.
”Oleh karena itu, harus impor epiji (gas alam cair). Yang harus dilakukan adalah bagaimana memperkuat infrastruktur gas di dalam negeri, seperti terminal regasifikasi, tangki timbun, dan pembangunan jaringan pipa gas,” ujar Nicke.
Pertamina juga melaporkan potensi capaian laba pada 2020 yang sebesar Rp 14 triliun kendati sempat merugi pada semester I-2020 sebesar Rp 11 triliun. Faktor-faktor yang berkontribusi penting terhadap perolehan laba Pertamina adalah efisiensi operasi, refokus belanja modal dari 6,4 miliar dollar AS menjadi 4,7 miliar dollar AS, serta harga minyak mentah yang murah di awal pandemi Covid-19.