Dalam skenario bauran energi nasional, peran energi baru dan terbarukan di 2025 haruslah sebanyak 23 persen dan meningkat menjadi 31 persen di 2050.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Dalam dokumen Visi Indonesia 2045 atau tepat saat negara ini berusia 100 tahun, Indonesia menargetkan masuk dalam jajaran lima besar negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Pertumbuhan ekonomi dipatok sedikitnya 5,1 persen per tahun dengan skenario tertinggi 5,7 persen per tahun. Pendapatan domestik bruto per kapita diharapkan sedikitnya 19.794 dollar AS atau melesat dari rata-rata 3.378 dollar AS pada periode 1986-2015.
Ketahanan energi akan ditingkatkan dengan mengandalkan pertumbuhan energi baru dan terbarukan. Peran energi jenis tersebut ditingkatkan menjadi 30 persen pada 2045 dalam bauran energi nasional. Saat ini porsinya masih di bawah 10 persen. Sumber bioenergi paling diandalkan dalam peran energi baru dan terbarukan pada 2045, dengan porsi 39 persen atau tertinggi, dibandingkan dengan tenaga air (21 persen), panas bumi (19 persen), surya (9 persen), dan lainnya (13 persen). Kapasitas terpasang pembangkit listrik dinaikkan menjadi 430.000 megawatt (MW).
Lebih utuh, skenario energi di Indonesia diatur melalui sejumlah perundang-undangan. Aturan itu antara lain Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, serta Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN. Dokumen RUEN mengatur lebih rinci tentang skenario energi di Indonesia hingga 2050. Aturan meliputi pemodelan pasokan dan kebutuhan energi pada 2015 hingga 2050 di Indonesia, serta skenario kebutuhan ketersediaan infrastruktur pendukung untuk ketahanan energi nasional.
Dalam skenario bauran energi nasional, peran energi baru dan terbarukan di 2025 haruslah sebanyak 23 persen dan meningkat menjadi 31 persen di 2050. Adapun peran gas bumi naik dari 22 persen di 2025 menjadi 24 persen di 2050. Peran minyak dan batubara turun pada periode yang sama. Minyak turun dari 25 persen mejadi 20 persen, sedangkan batubara turun dari 30 persen menjadi 25 persen.
Dari semua potensi itu, yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau berkisar 2,4 persen. Sementara porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih berkisar 10,9 persen.
Khusus sumber daya energi terbarukan, mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi di Indonesia mencapai 417.800 MW. Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari semua potensi itu, yang termanfaatkan baru 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen. Sementara, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih berkisar 10,9 persen.
Jelas, ada masalah dalam hal pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia. Potensi yang sedemikian melimpah masih tertinggal jauh dari sumber daya fosil tak terbarukan. Penyebabnya beragam, seperti rantai pasok batubara yang sedemikian mapan dengan nilai bisnis triliunan rupiah, kebijakan politik dan anggaran yang masih berpihak terhadap pengembangan energi fosil, serta intermittent pada energi terbarukan. Cahaya matahari tak bersinar 24 jam, angin bertiup kencang bergantung musim, atau debit air sungai yang tak deras saat kemarau.
Padahal, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), sebagai satu-satunya BUMN pemasok tenaga listrik dari hulu ke hilir di Indonesia, memiliki empat strategi untuk bertransformasi menjadi ”jawara”-nya perusahaan listrik di Asia Tenggara pada 2024. Salah satu strateginya adalah prinsip green, yang merupakan usaha untuk menghasilkan daya listrik energi baru dan terbarukan sesuai aspirasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Ketiga strategi lainnya yaitu lean, innovative, dan costumer focused. Lean adalah strategi menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan, serta potensi pengurangan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Innovative artinya meningkatkan pendapatan yang berasal dari sumber-sumber yang inovatif. Sementara customer focused yaitu dengan menjadikan PLN sebagai pilihan nomor satu pelanggan dan mencapai target 100 persen elektrifikasi.
Strategi green, selain menjadi sarana pencapaian target bauran energi nasional, juga mampu menjadi penolong di masa pandemi Covid-19. Di masa pandemi, sejak awal Maret 2020, konsumsi listrik PLN turun dari 243,1 terawatt jam (TWh) menjadi 221,87 TWh akibat pembatasan aktivitas selama pandemi. Dalam situasi tersebut, sumber pasokan yang murah dan bersih menjadi pilihan utama. Sumber energi terbarukan adalah jawabannya.
Tak mudah mengurangi peran batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik di Indonesia. Selain sudah terikat kontrak, skema take or pay mewajibkan PLN menyerap listrik dihasilkan dari pembangkit listrik swasta dalam jumlah tertentu dari kapasitas pembangkit. Apabila serapan di bawah kesepakatan, maka PLN akan dikenai penalti.
Salah satu strateginya adalah prinsip green, yang merupakan usaha untuk menghasilkan daya listrik EBT sesuai dengan aspirasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Namun, ada harapan saat pemerintah mendorong pengurangan peran batubara lewat berbagai strategi yang disebut co-firing, yaitu mencampur material lain pada komposisi tertentu bersama batubara sebagai sumber energi PLTU. PLN juga berencana mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit listrik bersumber dari energi terbarukan. Ada sekitar 5.000 PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi di seluruh Indonesia dengan kapasitas terpasang mencapai 2.000 MW. Pertumbuhan pembangkit listrik dari energi terbarukan diupayakan dua kali lipat lebih tinggi.
Strategi green membutuhkan komitmen dan dukungan pemerintah. Apalagi, strategi tersebut sudah sejalan dengan rencana jangka panjang pembangunan di negeri ini. Sekaligus untuk mewariskan bumi yang ramah, bersih, dan berkelanjutan untuk anak cucu kita kelak.