Pemerintah Jamin Tidak Ada Pemadaman Listrik, Pasokan Batubara Diatasi
Cuaca ekstrem menghambat pasokan batubara ke pembangkit listrik. Pemerintah mengupayakan sejumlah langkah untuk mencegah pemadaman listrik.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cuaca ekstrem belakangan ini menghambat kelancaran pasokan batubara dari daerah penghasil ke pembangkit listrik. Terkait hal itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berkomitmen menjamin listrik tetap menyala.
Sejumlah langkah saat ini diupayakan untuk menjaga ketersediaan stok batubara di pembangkit supaya tidak terjadi pemadaman listrik. Pemerintah juga menyiapkan opsi untuk memaksimalkan penggunaan gas dan bahan bakar minyak jika kebutuhan batubara benar-benar tidak mencukupi.
”Setiap titik yang memengaruhi rantai pasok batubara menjadi perhatian kami, terlebih pada kondisi cuaca yang agak ekstrem seperti tahun ini,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana dalam telekonferensi pers di Jakarta, Rabu (27/1/2021).
Menurut Rida, aktivitas penambangan batubara tidak dimungkinkan di lokasi-lokasi tambang yang terendam banjir. Akses jalan yang terendam banjir atau berlumpur akibat curah hujan tinggi juga memperlambat kelancaran truk pengangkut batubara dari lokasi tambang menuju pelabuhan.
Setelah batubara sampai pelabuhan dan dimuat di tongkang, izin berlayar juga masih harus ditunggu jika ada gelombang tinggi. Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan mengutamakan faktor keselamatan dalam mengeluarkan izin berlayar tersebut.
Ketika cuaca buruk, tongkang juga terkadang harus berlindung di tempat aman, biasanya di pulau-pulau kecil. Arus yang kuat juga dapat memperlambat laju tongkang.
”Semua hal tersebut dapat menunda waktu kedatangan batubara ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),” katanya.
Rida mencontohkan, pada kondisi normal, pengiriman batubara dari Kalimantan ke Jawa, misalnya ke PLTU Suralaya di Cilegon, Banten, membutuhkan waktu empat hari. Jika ada hambatan-hambatan tersebut, waktu kedatangan batubara dapat mundur hingga tujuh hari, bahkan lebih.
Saat ini, sejumlah upaya dilakukan untuk menjamin tidak ada gangguan pasokan listrik. Upaya pertama adalah menjaga keandalan PLTU. Kedua, memaksimalkan penghasil daya independen (independent power producer/IPP) dengan stok batubara yang relatif lebih besar.
Upaya ketiga, kata Rida, adalah optimasi stok, yakni dengan memprioritaskan pasokan batubara ke PLTU yang memiliki stok lebih sedikit agar tetap dapat beroperasi. Keempat, memaksimalkan pengunaan gas ketika produksi PLTU menurun akibat kapasitas batubara berkurang.
”Kalaupun gasnya sampai mentok tetapi masih kurang untuk memenuhi kebutuhan, maka kemudian dengan sangat terpaksa kita bakar (membangkitkan listrik dengan) bahan bakar minyak (BBM),” ujarnya.
Rida menuturkan, BBM hanya akan digunakan sebagai opsi terakhir karena harganya termahal. Penggunaan BBM ini akan meningkatkan biaya pokok pengadaan tenaga listrik.
Kementerian ESDM juga menyarankan, seandainya dermaga di sekitar PLTU dapat disandari kapal, maka pengiriman batubara menggunakan kapal. Hal ini karena daya angkut kapal dapat mencapai 62.000 ton atau lebih besar dibandingkan tongkang yang berdaya angkut sekitar 7.000 ton.
Terkait jaminan listrik tetap menyala, kata Rida, sampai akhir Januari 2021 diyakini tidak akan ada pemadaman. ”Di Februari pun saya yakin juga tidak akan ada (pemadaman), artinya listrik nyala terus. Kami upayakan, mudah-mudahan tidak ada hal di luar pengetahuan kami. Begitu juga pada Maret,” ujar Rida.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, 85 persen pasokan batubara nasional diproduksi di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Sementara, sebagian besar batubara dibutuhkan PLTU-PLTU di Jawa.
”Ada faktor risiko iklim yang sangat tinggi. Ketika ada banjir di daerah penghasil, maka akan ada gangguan atau hambatan pasokan,” ujarnya saat dihubungi, Rabu.
Oleh karena itu, kata Fabby, ke depan pengembangan infrastruktur kelistrikan Indonesia harus memperhitungkan faktor perubahan iklim. Memburuknya perubahan iklim dapat menyebabkan cuaca ekstrem lebih sering terjadi.
Cuaca ekstrem tersebut dapat mengganggu kesiapan infrastruktur dan pasokan energi primer. ”Hari ini bisa saja terjadi gangguan di batubara, ke depan bisa saja gangguan pasokan gas atau BBM,” ujarnya.
Ke depan, pengembangan infrastruktur kelistrikan Indonesia harus memperhitungkan faktor perubahan iklim. Memburuknya perubahan iklim dapat menyebabkan cuaca ekstrem lebih sering terjadi.
Menurut Fabby, pemerintah dan PLN mesti mempertimbangkan untuk mengurangi pembangkit-pembangkit berbahan bakar fosil yang harus dibawa dari luar pulau. Pembangkit dengan energi terbarukan menjadi pilihan agar tidak terlalu bergantung pada bahan bakar fosil.
”Dalam jangka pendek, dibutuhkan manajemen stok bahan bakar. Stok tentu berkaitan dengan biaya. Namun perlu dicari titik keseimbangan, terutama untuk mengantisipasi kondisi saat cuaca sedang tidak baik seperti sekarang,” katanya.
Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sanny Iskandar mengatakan, pemadaman listrik diharapkan jangan sampai terjadi karena akan sangat mengganggu kelancaran usaha dan menimbulkan kerugian. Pelaku usaha membutuhkan jaminan pasokan dan keandalan kualitas listrik.
”Bicara keandalan kualitas, listrik berkedip saja sudah tidak dikehendaki oleh pelaku usaha, khususnya di industri-industri sensitif yang membutuhkan kontinuitas listrik. Apalagi kalau sampai pemadaman, semua industri akan mengalami kerugian,” katanya.