Selaraskan Aturan Turunan UU Cipta Kerja dengan Kebutuhan UMKM
Pelaku UMKM meminta rancangan peraturan pemerintah dari UU Cipta Kerja mengakomodasi kebutuhan mereka, terutama dalam hal ketentuan tentang pesangon, perpajakan, dan investasi.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah meminta rancangan peraturan pemerintah turunan Undang-Undang Noor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja benar-benar mengakomodasi kebutuhan mereka. Regulasi di berbagai bidang yang akan diterapkan mesti menimbang karakteristik segmen UMKM dengan segala keterbatasannya.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun, Senin (25/1/2021), mengatakan, ada beberapa poin yang saat ini menjadi perhatian pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di tengah pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) UU Cipta Kerja. Poin-poin itu antara lain mencakup isu pesangon, perpajakan, dan investasi.
Dalam UU Cipta Kerja telah diatur besaran upah di usaha mikro dan kecil didasarkan pada kesepakatan antara pemberi kerja dan pekerja. "Persoalannya sekarang di pesangon. Di RPP, kami mengusulkan pesangon juga berdasarkan kesepakatan. Ini terutama untuk usaha mikro dan kecil," kata Ikhsan.
Menurut Ikhsan, pelaku usaha mikro dan kecil tidak akan mampu apabila diwajibkan membayar pesangon seperti perusahaan skala besar. Selain itu, pelaku usaha mikro dan kecil juga membutuhkan dukungan insentif terkait perpajakan.
Selama ini, UMKM beromzet di bawah Rp 4,8 miliar dikenakan pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen. Dalam penyusunan RPP itu, Akumindo mengusulkan agar ambang batas ini ditingkatkan menjadi Rp 7 miliar atau Rp 7,5 miliar.
Pelaku usaha mikro dan kecil tidak akan mampu apabila diwajibkan membayar pesangon seperti perusahaan skala besar. Selain itu, pelaku usaha mikro dan kecil juga membutuhkan dukungan insentif terkait perpajakan.
Ketua Umum DPP Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo) Syahnan Phalipi juga berpendapat senada. Batas maksmial omzet Rp 4,8 miliar per tahun yang dikenai PPh final 0,5 persen itu terlalu rendah.
"Sebelum pandemi Covid-19 saja, dengan pembatasan Rp 4,8 miliar, banyak pelaku UMKM yang protes," katanya.
Syahnan menuturkan, pelaku UMKM di berbagai sektor ekonomi memang memiliki omzet yang bervariasi. Bagi para pedagang tradisional, semisal pedagang sayur, omzet Rp 4,8 miliar bernilai besar. Begitu juga dengan pelaku UMKM yang berjualan telepon seluler yang omzetnya relatif jauh lebih besar dibanding pedagang tradisional.
"Namun meskipun omzetnya besar, margin keuntungan jualan telepon seluler itu kecil. Apalagi di masa pandemi seperti ini ketika pasar lagi sepi, sedangkan mereka juga harus bayar karyawan, sewa tempat usaha, dan lainnya," ujarnya.
Investasi
Sementara itu, Ketua Umum Kolaborasi Masyarakat Usaha Kecil Menengah Indonesia Sutrisno Iwantono meminta agar asosiasi-asosiasi UMKM dari berbagai sektor ekonomi dapat dilibatkan dalam setiap perumusan kebijakan dan program pemerintah. Ini agar aspirasi UMKM dapat ditampung sesuai permasalahan riil di lapangan.
Terkait dengan investasi, Sutrisno menuturkan, saat ini investasi di atas Rp 10 miliar terbuka untuk asing. Kolaborasi Masyarakat Usaha Kecil Menengah Indonesia mengusulkan besaran batasan tersebut ditingkatkan setidaknya menjadi Rp 25 miliar.
"Dengan pengecualian diperbolehkan di bawah Rp 25 miliar tetapi wajib bermitra dengan usaha kecil," katanya.
Kolaborasi Masyarakat Usaha Kecil Menengah Indonesia mengusulkan besaran batasan tersebut ditingkatkan setidaknya menjadi Rp 25 miliar. Dengan pengecualian diperbolehkan di bawah Rp 25 miliar tetapi wajib bermitra dengan usaha kecil.
Sependapat dengan Sutrisno, Ikhsan mengatakan, sebaiknya investor asing tidak perlu masuk ke bidang-bidang yang selama ini sudah dapat digarap UMKM di dalam negeri. Selama ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengizinkan investor asing masuk Indonesia dengan batas investasi minimal Rp 10 miliar.
Sementara itu Co-Founder UKMIndonesia.id Dewi Meisari Haryanti berpendapat, penyusunan RPP terkait UU Cipta Kerja perlu mendengarkan aspirasi berbagai kalangan. Salah satu tujuannya adalah agar regulasi itu sambung dengan kebijakan selanjutnya, yakni membuat UMKM naik kelas dari usaha informal menjadi formal.
Hal ini penting karena begitu mereka beralih ke formal, mekanisme kebijakan perlindungan sosial bagi tenaga kerjanya perlu dibuat. Misalnya jaminan hari tua. "Selain itu, bisa enggak kita memerhatikan pelaku usaha mikro atau ultramikro yang merupakan pahlawan ekonomi agar juga punya jaminan hari tua?" ujarnya.