Percaya Diri dan Manusiawi Hadapi Disrupsi Dini
Tahun 2020 yang penuh tantangan membuat banyak pekerja ”kalah” akibat dampak pandemi. Namun, 2020 juga menyediakan pijakan bagi negara untuk berbenah agar pekerja lebih kompetitif tanpa mengesampingkan hak-hak pekerja.
Tahun ini membawa tantangan pelik berupa disrupsi ganda bagi masyarakat pekerja. Akibat resesi, pengangguran bertambah dan lapangan kerja menyusut. Sementara, percepatan otomasi dan digitalisasi membuat pasar tenaga kerja kian kompetitif.
Dalam sekejap, masa depan tiba lebih cepat dari yang disangka. Apakah kita siap?
Pandemi Covid-19 mengubah struktur dan lanskap ketenagakerjaan secara mendasar. Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 29,12 juta orang atau 14,28 persen dari 203,97 juta penduduk usia kerja terkena dampak pandemi. Angka pengangguran bertambah dari 7,21 juta orang menjadi 9,77 juta orang dalam hitungan bulan.
Pekerja berstatus tidak penuh atau setengah pengangguran juga bertambah. Per Agustus 2020, pekerja penuh atau yang bekerja minimal 35 jam per minggu turun dari 71,04 persen menjadi 63,85 persen dari jumlah penduduk bekerja. Adapun pekerja setengah pengangguran meningkat tajam dari 6,42 persen menjadi 10,19 persen.
Porsi pekerja formal anjlok dalam satu tahun, sedangkan porsi pekerja informal menanjak. Mayoritas berstatus pekerja keluarga atau pekerja yang tidak dibayar.
Nasib sebagian pekerja formal yang masih bertahan tidak lebih baik. Menurut data BPS, perusahaan di berbagai sektor menyesuaikan jam kerja, memotong upah, bahkan merumahkan buruh. Upah pekerja di sektor akomodasi dan makan-minum turun tajam hingga 17,3 persen. Adapun upah pekerja di sektor realestat dipotong 15,7 persen.
Apa pun kategori dan sebutannya, benang merahnya sama, yaitu kesejahteraan dan kualitas hidup pekerja merosot akibat kesulitan menyambung hidup di masa pandemi. Pekerja yang terkena dampak pandemi tidak punya banyak pilihan di tengah tawaran kerja yang terbatas dan persaingan yang ketat. Mereka banting setir menjadi pekerja informal atau malah menganggur.
Belum selesai satu masalah, persoalan lain muncul. Disrupsi digitalisasi dan otomasi di sektor ketenagakerjaan yang diperkirakan baru tiba sekitar sepuluh tahun lagi tiba-tiba ada di depan mata. Pandemi yang memaksa orang untuk diam di rumah selama berbulan-bulan mempercepat proses itu.
Disrupsi digitalisasi dan otomasi di sektor ketenagakerjaan yang diperkirakan baru tiba sekitar sepuluh tahun lagi tiba-tiba ada di depan mata.
Laporan The Future of Jobs oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada Oktober 2020 memprediksi, 85 juta pekerjaan akan punah lalu digantikan robot dan kecerdasan buatan pada 2025, sedangkan 97 juta pekerjaan baru muncul.
Baca juga: Siapkan Tenaga Kerja, Peran Industri Krusial
Prediksi WEF lebih cepat dari McKinsey & Company yang pada 2019 memperkirakan perubahan itu baru akan terjadi pada 2030. Situasi ini diprediksi terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia, dengan kecepatan berbeda-beda.
Berbagai perubahan itu membuat pasar kerja kian kompetitif. Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan ”Digital Skills and The Future of Work: Challenge and Opportunities in a Post Covid-19 Environment”, Desember 2020, memprediksi, dalam waktu dekat, cara orang bekerja bergeser lebih fleksibel dan berorientasi pada penggunaan teknologi digital.
Industri akan memprioritaskan pekerja yang setidaknya memiliki akses dan kemampuan dasar untuk mengoperasikan teknologi. Hal ini menimbulkan persoalan lain karena inklusivitas digital dan kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi momok di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tidak semua orang memiliki akses teknologi digital, apalagi piawai menggunakannya.
Janji manis
Lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pemerintah menjanjikan 153 perusahaan siap berinvestasi pada 2021 dengan target serapan 1,3 juta tenaga kerja. Tahun depan akan menjadi pertaruhan pemerintah untuk membuktikan janji manis itu. Apalagi, peningkatan investasi tak selalu berbanding lurus dengan serapan tenaga kerja.
Tahun depan akan menjadi pertaruhan pemerintah untuk membuktikan janji manis itu.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, pekerjaan rumah utama adalah menanggulangi dampak pandemi dengan menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin untuk menekan pengangguran. Namun, lapangan kerja tidak bisa sekadar diciptakan tanpa menyiapkan tenaga kerja yang ahli dan terampil sesuai perkembangan industri. Apalagi, sebagian besar SDM Indonesia berpendidikan dan berketerampilan minim.
Baca juga: Prioritaskan Penyerapan Tenaga Kerja
Ketidaksiapan menghadapi perubahan itu akan menghasilkan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin parah. Pekerja yang minim pendidikan dan keterampilan bisa kalah diterjang disrupsi. Padahal, kebanyakan dari mereka sudah menjadi korban pertama dari resesi dan pandemi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengakui, pemerintah memiliki pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas pekerja. Salah satu program prioritas pada 2021 adalah mewujudkan transformasi balai latihan kerja (BLK) dari sisi kelembagaan dan infrastruktur untuk mengejar kebutuhan.
Kebutuhan itu tidak hanya menyesuaikan dengan perkembangan digitalisasi dan otomasi, tetapi juga menyelaraskannya dengan kebutuhan usaha dan industri lokal.
”Perlu diakui, kita sudah banyak tertinggal. Kalau kita bisa betul-betul memfungsikan BLK, kita akan memiliki SDM yang siap tempur dalam segala situasi, terutama untuk merespons pekerjaan di masa depan,” kata Anwar.
Selain program pelatihan dan pendidikan vokasi pemerintah, platform pelatihan yang lebih inklusif untuk pekerja perlu diperbanyak. Program Kartu Prakerja sebenarnya bisa menjadi instrumen efektif. Namun, pemerintah harus mau berbenah secara komprehensif, antara lain dalam pengelolaan yang lebih transparan, tepat sasaran dan tepat guna, serta komitmen anggaran.
Persiapan harus dilakukan mulai sekarang agar upaya menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya tidak sia-sia. ”Ketika investor datang, mereka memerlukan tenaga kerja yang siap mengisi. Jika kita tidak siap dari sekarang, akan sia-sia. Investasi datang, lapangan kerja tercipta, tetapi yang mengisi justru tenaga kerja dari negara lain,” kata Timboel.
Hak dan perlindungan
Hakikat ekonomi dan bekerja adalah ikhtiar menyambung hidup. Tenaga kerja bukan komoditas yang harganya bisa ditakar dengan indikator produktivitas dan daya saing, melainkan manusia dengan hak hidup layak yang harus dipenuhi.
Tahun 2020 menjadi saksi bisu perubahan regulasi besar di sektor ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja yang semula diperkirakan akan dibahas dalam waktu lama disahkan hanya dalam hitungan bulan. Tahun depan, implikasi pasal-pasal ketenagakerjaan di UU sapu jagat itu resmi berlaku di tengah kritik dan unjuk rasa berbagai elemen masyarakat.
Baca juga: Airlangga: Wajah Indonesia Akan Berubah
UU Cipta Kerja ditengarai menggerus beberapa hak dan perlindungan dasar pekerja demi mewujudkan iklim usaha yang lebih lentur dan kompetitif serta menarik investasi. Misalnya, kemunculan politik upah murah dan kepastian kerja bagi buruh kontrak dan alih daya. Sejumlah pasal kontroversial sedang diuji di Mahkamah Konstitusi. Tahun depan akan menjadi penentu arah kebijakan ketenagakerjaan pasca-UU Cipta Kerja.
Indonesia diharapkan tidak mengambil langkah mundur di tengah tren global yang semakin mengedepankan perlindungan hak pekerja. Forum Ekonomi Dunia dalam Indeks Daya Saing Global 2020 mengingatkan, upaya meningkatkan daya saing SDM dan memulihkan ekonomi pasca-Covid-19 harus diikuti dengan kebijakan pasar yang melindungi masyarakat pekerja.
Indonesia diharapkan tidak mengambil langkah mundur di tengah tren global yang semakin mengedepankan perlindungan hak pekerja.
Adapun ILO dalam Global Wage Report 2020 menegaskan, kebijakan upah yang adil dan melindungi pekerja di tengah pandemi merupakan hal penting. Sebab, selain menjamin hidup layak bagi pekerja di tengah krisis, kebijakan upah yang adil bisa membantu proses pemulihan ekonomi negara yang bergantung pada daya beli dan konsumsi masyarakat.
Baca juga: Dampak Pandemi, Mulai dari Pemotongan Gaji hingga PHK
Pandemi meninggalkan banyak pekerjaan rumah, tetapi juga kesempatan memperbaiki diri dan melangkah maju. Upaya memajukan kualitas dan daya saing harus beriringan dengan jaminan perlindungan terhadap hak-hak pekerja. Dengan cara itu, tantangan disrupsi yang tiba terlalu dini dapat dihadapi dengan manusiawi dan percaya diri.