Sejumlah perjanjian dagang ditandatangani Indonesia guna menjangkau pasar-pasar baru. Langkah diversifikasi pasar diharapkan memacu kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam rantai nilai global.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berupaya memperluas pasar ekspor dengan menjalin sejumlah kerja sama dagang internasional. Peningkatan kerja sama bilateral dan regional dinilai perlu dimanfaatkan secara agresif guna mendiversifikasi pasar serta meningkatkan kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah dalam rantai nilai global.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Zamroni Salim, Kamis (17/12/2020), mengatakan, aktivitas ekonomi di sejumlah negara menunjukkan pemulihan. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, perdagangan global akan tumbuh 8,3 persen pada 2021. Namun, Indonesia menghadapi tantangan, yakni tujuan ekspor yang masih terkonsentrasi di beberapa negara mitra saja.
Per November 2020, misalnya, negara utama tujuan ekspor nonmigas Indonesia masih berkisar China, Amerika Serikat, dan Jepang. Kontribusi ekspor ke tiga negara itu saja mencapai 42,11 persen dari total ekspor Indonesia pada November 2020.
Menurut Zamroni, peningkatan kerja sama dagang, baik secara bilateral maupun regional, perlu dimanfaatkan Indonesia untuk menjangkau pasar nontradisional yang potensial, seperti kawasan Afrika, Eropa Timur, Asia Barat, dan Asia Pasifik.
Pandemi Covid-19 menunjukkan tingginya ketergantungan dagang antarnegara dapat berdampak pada kondisi perekonomian negara tersebut. Oleh karena itu, diversifikasi negara tujuan ekspor dan sumber impor pun menjadi penting untuk meningkatkan daya tahan perekonomian nasional.
Presiden Joko Widodo telah meminta agar potensi ekspor dimaksimalkan dengan memperluas pasar. Terkait itu, pekan lalu, Indonesia menandatangani perjanjian dagang dengan Mozambik melalui Perjanjian Perdagangan Preferensial Indonesia-Mozambik (IM-PTA) yang menjadi perjanjian dagang pertama Indonesia dengan negara di kawasan Afrika.
Menurut Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, selain Mozambik, Indonesia juga sedang mempercepat pembahasan perjanjian perdagangan bilateral dengan negara mitra nontradisional, seperti Tunisia, Iran, dan Turki. ”Kami melakukan promosi. Salah satunya, pada pameran Trade Expo Indonesia (TEI) 2020, Mesir (salah satu mitra dagang nontradisional) menempati urutan ke-4 dalam transaksi dengan total 147,2 juta dollar AS,” kata Jerry.
Indeks Daya Saing Global 2020 atau The Global Competitiveness Report 2020 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) mencatat, keterbukaan dagang dan pergerakan orang secara internasional sempat turun signifikan selama pandemi Covid-19. Selain karena pembatasan pergerakan, negara-negara juga cenderung mengutamakan pasar domestik ketimbang luar negeri.
Tren itu diharapkan berubah seiring dengan pemulihan aktivitas ekonomi di sejumlah negara. Survei Opini Eksekutif WEF pada 2020 menunjukkan, sejumlah negara berharap perdagangan internasional lebih terbuka, setidaknya dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Indonesia termasuk dalam daftar itu.
Sebanyak 73 persen responden pengusaha Indonesia yang disurvei menilai perdagangan global akan lebih terbuka dibandingkan dengan saat ini. Sementara 19 persen responden menilai netral dan 8 persen responden menilai mata rantai perdagangan global akan lebih tertutup dalam lima tahun ke depan.
Menurut Zamroni, dalam berbagai perjanjian, Indonesia harus berani melobi negara mitra untuk membuka pasar bagi produk-produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan demikian, kontribusi UMKM di rantai nilai global meningkat. Perjanjian dagang juga harus dimanfaatkan agar industri tumbuh merata, termasuk di Indonesia timur.