Cantrang Dilegalkan Lagi, Nelayan Natuna Semakin Merana
Sepanjang 2020, nelayan di Natuna tenggelam dalam konflik dengan kapal pukat dari luar dan dalam negeri. Kembali dilegalkannya cantrang dinilai ada hubungannya dengan rencana pemerintah membuka akses bagi kapal asing.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Sepanjang 2020, nelayan tradisional di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, tenggelam dalam konflik dengan kapal pukat dari luar dan dalam negeri. Munculnya peraturan baru yang melegalkan cantrang dinilai ada hubungannya dengan rencana pemerintah membuka akses penangkapan ikan oleh kapal asing.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Selasa (15/12/2020), mengatakan, nelayan setempat menolak penggunaan pukat karena merusak ekosistem laut. Mereka khawatir penggunaan pukat akan menyebabkan penangkapan ikan yang berlebihan di perairan Natuna dan sekitarnya.
”Diizinkannya kapal pukat, termasuk cantrang, beroperasi kembali membuktikan pemerintah sungguh serakah. Nelayan besar dipermudah, sedangkan nelayan kecil tidak diperhatikan karena dianggap sumbangannya kepada negara nol,” kata Hendri saat dihubungi lewat telepon dari Batam.
Pada 30 November, pemerintah mengundangkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas. Peraturan itu merevisi Permen KP No 71/2016 yang melarang penggunaan cantrang, dogol, dan pukat udang.
Diizinkannya kapal pukat, termasuk cantrang, beroperasi kembali membuktikan pemerintah sungguh serakah. Nelayan besar dipermudah, sedangkan nelayan kecil tidak diperhatikan karena dianggap sumbangannya kepada negara nol. (Hendri)
Munculnya peraturan itu memperkeruh konflik zona tangkap yang terjadi sejak Februari 2020. Sejak awal, nelayan tradisional di sana menolak rencana pemerintah memobilisasi 30 kapal cantrang dari pantai utara Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara, sekaligus untuk mencegah masuknya kapal ikan asing ke perairan tersebut.
”Kami tidak percaya kapal cantrang akan beroperasi terus di laut lepas. Cantrang tidak efektif dipakai di kedalaman lebih dari 50 meter. Akhirnya mereka juga harus ke pinggir,” ujar Hendri.
Pada 4 Desember, kapal cantrang asal Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ditangkap warga di Pulau Serasan, Natuna, karena dituduh beroperasi di perairan yang berjarak hanya 8 mil (14,8 kilometer) dari garis pantai. Kapal itu dilepas setelah membayar Rp 60 juta untuk ganti rugi kerusakan rumpon warga Pulau Serasan.
Kapal itu milik Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Kabupaten Pati Heri Budiyanto. Saat dikonfirmasi pada 6 Desember lalu, Heri mengatakan, kapal itu tidak sedang mencari ikan, tetapi harus ke pinggir untuk berlindung dari cuaca buruk.
Kapal asing
Dalam Pasal 23 Ayat 4 Permen KP No 59/2020 disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton kembali diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, langkah pemerintah yang kembali mengizinkan kapal cantrang beroperasi di Laut Natuna Utara ada hubungannya dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang membuka akses bagi kapal penangkapan ikan berbendera asing untuk beroperasi di ZEEI.
”Itu akan menjadi jembatan pemerintah untuk memberikan izin pemanfaatan sumber daya ikan bagi kapal asing yang menggunakan trawls untuk beroperasi di WPP 711. Menurut saya, hal ini tinggal menunggu waktu dikeluarkan rancangan peraturan pelaksanaannya,” kata Abdul.
Ia menambahkan, langkah pemerintah mengizinkan cantrang untuk digunakan kembali akan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan sekaligus rawan memicu konflik sosial. Melegalkan cantrang menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap nelayan tradisional.
”Dengan konsep pemanfaatan sumber daya berbasis WPP seharusnya yang didahulukan adalah nelayan provinsi setempat. Pemerintah sebetulnya harus mendorong mereka, bukan malah mendatangkan nelayan dari daerah lain, kemudian mengebiri hak nelayan setempat,” kata Abdul.