Nelayan Anambas dan Natuna Melawan Kapal Cantrang dengan Rumpon
Pemerintah diharapkan mengoreksi total kebijakan pengelolaan perikanan yang diterbitkan selama satu tahun terakhir.
Oleh
PANDU WIYOGA/KRISTI UTAMI
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan tradisional di Kepulauan Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau, berencana memperbanyak rumpon di perairan yang berjarak hingga 20 mil atau sekitar 30 kilometer dari garis pantai. Hal itu untuk mengantisipasi pelanggaran zona tangkap oleh kapal cantrang yang bergerak dari pantai utara Jawa.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Senin (14/12/2020), mengatakan, rumpon itu akan mereka gunakan untuk memagari perairan yang menjadi zona tangkap nelayan tradisional. Warga akan menawan dan menjatuhkan denda kepada kapal cantrang yang berani melanggar.
”Memasang rumpon itu adalah bentuk perlawanan untuk mengamankan periuk nasi kami dari sapuan kapal cantrang,” kata Hendri di Natuna, saat dihubungi lewat telepon dari Batam.
Pemasangan rumpon secara serentak di Anambas dan Natuna itu untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah supaya lokasi nelayan tradisional jangan lagi diganggu. (Dedi Syahputra)
Pada 30 November, pemerintah mengundangkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas. Peraturan itu merevisi Permen KP No 71/2016 yang melarang penggunaan cantrang, dogol, dan pukat udang.
Pada Pasal 23 Ayat 4 Permen KP No 59/2020 disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Permen KP No 59/2020 ditetapkan Menteri KP Edhy Prabowo pada 18 November atau tujuh hari sebelum ia ditangkap dan ditetapkan menjadi tersangka kasus suap perizinan budidaya lobster oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra menyatakan, pemerintah seharusnya mengoreksi total kebijakan pengelolaan perikanan yang diterbitkan selama satu tahun terakhir. Ia sangat kecewa suara nelayan Kepri tidak didengarkan pemerintah dalam pembuatan Permen KP No 59/2020.
”Pemasangan rumpon secara serentak di Anambas dan Natuna itu untuk menyampaikan pesan kepada pemerintah supaya lokasi nelayan tradisional jangan lagi diganggu,” ucap Dedi.
Sebelumnya, pada 4 Desember, kapal cantrang asal Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ditangkap warga di Pulau Serasan, Natuna, karena dituduh beroperasi di perairan yang berjarak hanya 8 mil (14,8 km) dari garis pantai. Kapal itu dilepas setelah membayar denda Rp 60 juta sebagai ganti rugi kerusakan rumpon warga Pulau Serasan.
Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Cabang HNSI Kota Tegal Riswanto mengatakan, kehadiran kapal pengawas perikanan sangat diperlukan untuk mencegah konflik zona tangkap di Laut Natuna. Menurut dia, saat ditangkap pada 4 Desember, kapal dari Juwana sebetulnya tidak sedang menangkap ikan, tetapi sedang berlindung dari cuaca buruk.
Beroperasinya kapal cantrang dari pantai utara Jawa di perairan Natuna bermula pada Februari 2020. Saat itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan memobilisasi 30 kapal cantrang dari pantura Jawa untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara, sekaligus untuk mencegah masuknya kapal ikan asing ke perairan tersebut.
Riswanto menuturkan, 30 kapal cantrang yang dimobilisasi pemerintah itu sudah pulang karena rugi. Modal yang diperlukan satu kapal berkisar Rp 700 juta-Rp 800 juta, sedangkan hasil tangkapan yang didapat hanya Rp 200 juta-Rp 300 juta.
”Harapannya, pemerintah membangun tempat pengolahan ikan di Natuna supaya kami tidak perlu bolak-balik ke Jawa. Itu akan mengurangi ongkos bahan bakar, biaya paling besar yang harus dikeluarkan saat melaut,” kata Riswanto.
Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muhammad Abdi Suhufan, konflik antara nelayan tradisional dan nelayan cantrang itu terjadi karena pemerintah tidak tegas. Yang dirugikan dalam konflik ini bukan hanya nelayan tradisional, melainkan juga nelayan cantrang yang terancam saat bekerja di laut.
Menurut Abdi, Presiden Joko Widodo seharusnya meninjau Permen KP No 59/2020 karena tidak sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni Keputusan Presiden No 39/1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Kedua, Kementerian KP harus fokus memantau pergerakan kapal cantrang di atas 30 gros ton yang beroperasi di ZEE Laut Natuna Utara melalui sistem pemantauan kapal perikanan (VMS).