Menjaga hak pekerja untuk hidup layak di tengah pandemi memang tidak mudah. Namun, pemulihan ekonomi tidak boleh mengabaikan problem kesenjangan sosial-ekonomi. Kebijakan yang adil justru lebih kokoh menopang ekonomi.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Para pendiri bangsa merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sekitar 75 tahun yang lalu, sebagai landasan konstitusional kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua kalimat di atas termaktub dalam Pasal 27 dan Pasal 28D guna menjamin perlindungan bagi tiap warga negara, tak terkecuali para pekerja.
Selama bertahun-tahun, amanat UUD 1945 itu diterjemahkan lewat komponen kebutuhan hidup layak (KHL) sebagai patokan perhitungan upah minimum. Hal itu diatur lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Akan tetapi, lewat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah dan DPR menghapus ketentuan itu. Upah minimum tidak lagi ditetapkan berdasarkan KHL dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai gantinya, upah minimum akan ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang datanya bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Belum jelas apa yang dimaksud dengan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan itu. Dalam sejumlah wawancara, pemerintah masih bingung menentukan bentuk dan indikator pengganti KHL ke depan seperti apa.
Meski saat ini RUU Cipta Kerja belum resmi diundangkan, perhitungan upah minimum tahun 2021 sudah terlebih dahulu mengabaikan KHL. Sesuai masukan dari pengusaha, Kementerian Ketenagakerjaan memutuskan, upah minimum 2021 tetap sama dengan besaran saat 2020.
KHL, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi tidak lagi menjadi acuan wajib meski segelintir daerah memilih tetap berpatok pada ketiga faktor itu dan menaikkan upah minimum pada kisaran persentase 2 persen sampai 3,5 persen.
Pemerintah menyebut kebijakan upah minimum 2021 sebagai jalan tengah yang melindungi pekerja sekaligus menjaga dunia usaha yang terpukul di tengah Covid-19. Perusahaan yang tidak terdampak pandemi dibebaskan untuk menaikkan upah dengan terlebih dahulu berunding dengan pekerjanya.
Kendati demikian, wajah hubungan industrial selama ini jarang berpihak pada pekerja. Kesenjangan posisi tawar yang kentara antara pengusaha dan pekerja membuat unsur pekerja kerap kali kalah dalam negosiasi.
Perundingan bipartit terkait pengupahan kali ini pun ditengarai tetap sama, terutama dengan adanya faktor Covid-19 yang bisa dijadikan alasan tidak menaikkan upah dan memberatkan posisi buruh. Terlebih, tidak semua perusahaan memiliki serikat pekerja yang kuat untuk memperjuangkan haknya.
Menjaga hak pekerja untuk hidup layak di tengah pandemi memang menjadi tantangan yang tidak mudah. Namun, kajian The Global Deal for Decent Work and Inclusive Growth Flagship Report bersama OECD dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) menegaskan, kebijakan pemulihan ekonomi akibat pandemi tidak boleh sampai mengabaikan persoalan kesenjangan sosial-ekonomi.
Kebijakan yang adil dan melindungi pekerja secara jangka panjang justru akan menghasilkan pemulihan ekonomi yang lebih kuat. Maka, tantangan yang harus dijawab bukan sekadar memunculkan sebanyak-banyaknya lapangan kerja untuk menghindari meningkatnya pengangguran. Namun, membangun kondisi kerja yang adil, kehidupan yang layak, serta pasar kerja yang inklusif.
Dialog sosial
Kajian bertajuk ”Social Dialogue, Skills and Covid-19”itu menyoroti pentingnya terus memperkuat dialog sosial secara tripartit. Pandemi yang sama-sama memukul pemerintah, pengusaha, dan pekerja bisa menjadi momen untuk mengubah wajah hubungan industrial yang selama ini banyak diwarnai krisis kepercayaan (trust).
Masa-masa ke depan tidak akan mudah. Bahkan setelah Covid-19 suatu hari berlalu pun, tantangan masih akan hadir dalam bentuk RUU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.
Ketika pemerintah lewat kebijakannya tidak hadir untuk melindungi hak pekerja, satu-satunya cara adalah terus bersuara. Pekerja perlu merapatkan barisan, berserikat, dan membangun posisi tawar yang lebih kokoh (collective bargaining) agar suaranya lebih didengar. Sementara itu, pengusaha dan pemerintah harus belajar untuk mendengar.