Sumber daya alam jangan dipandang sebagai komoditas perdagangan, tetapi harus dijadikan modal pembangunan di dalam negeri. Kuncinya ada di hilirisasi atau peningkatan nilai tambah.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Sekali lagi, Presiden Joko Widodo menyerukan perlunya peningkatan nilai tambah sumber daya tambang, khususnya batubara, di dalam negeri. Pada 23 Oktober 2020, Presiden meminta agar penyusunan peta jalan peningkatan nilai tambah batubara dipercepat.
Peta jalan ibarat panduan. Peta jalan hilirisasi batubara berarti panduan bagaimana peningkatan nilai tambah batubara dilakukan di Indonesia. Frasa ’bagaimana’ di sini bermakna luas. Bagaimana pemilihan teknologinya? Bagaimana cara mendapatkan pendanaan untuk investasi hilirisasi? Bagaimana nanti penyerapan produk hilirisasinya? Dan seterusnya.
Bisa jadi, Presiden gemas melihat tambang batubara di Indonesia yang hanya digali lalu dijual. Tak butuh proses rumit layaknya sumber daya mineral, seperti emas, tembaga, nikel, atau bauksit. Bermacam mineral tersebut harus diolah dan dimurnikan dengan teknologi tinggi dan biaya yang tak murah.
Bagaimana tidak gemas, meski dengan jumlah cadangan batubara yang sebanyak 37,6 miliar ton atau hanya 4 persen dari total cadangan batubara di dunia, Indonesia adalah nomor satu untuk urusan ekspor. Pada 2019, ekspor batubara Indonesia berperan 25,7 persen dari total ekspor batubara dunia.
Volume ekspor batubara Indonesia di 2019 melampaui Australia yang ”hanya” 212,2 juta ton. Padahal, cadangan batubara Asutralia mencapai 147,4 miliar ton atau setara 15 persen dari total cadangan dunia.
Dengan jumlah cadangan batubara yang sebanyak 37,6 miliar ton atau hanya 4 persen dari total cadangan batubara di dunia, Indonesia adalah nomor satu untuk urusan ekspor.
Mungkin karena proses bisnisnya yang sederhana, batubara begitu gampang dijual demi meraup devisa. Untuk urusan tambang mineral dan batubara, kontribusi batubara adalah yang terbesar.
Penerimaan negara bukan pajak dari sektor mineral dan batubara pada 2019 yang sebesar Rp 44,8 triliun, sebanyak Rp 38,3 triliun atau setara 85 persen disumbang batubara. Sementara penerimaan pajaknya di tahun yang sama mencapai Rp 66 triliun.
Jadi, jelas sekali bahwa ”peta jalan” batubara Indonesia selama ini hanya digali dan dijual. Batubara diandalkan sebagai komoditas peraih devisa dan sumber pendapatan, bukan sebagai modal penggerak pembangunan di dalam negeri. Tak ada peningkatan nilai tambah batubara di dalam negeri.
Adapun peningkatan nilai tambah yang dimaksud Presiden adalah bagaimana mengolah batubara menjadi dimetil eter (DME) atau metanol. DME yang merupakan produk dari gasifikasi batubara berfungsi sebagai pengganti elpiji. Harapannya adalah apabila DME mampu diproduksi di dalam negeri, impor elpiji Indonesia bisa berkurang. Dari konsumsi 6-7 juta ton elpiji per tahun, sekitar 70 persen diperoleh dari impor.
Tercatat ada dua perusahaan yang sudah berancang-ancang terjun di bisnis hilirisasi batubara. Dari BUMN, ada PT Bukit Asam Tbk yang bakal memulai gasifikasi batubara menjadi DME. Proyek tersebut diharapkan dapat dimulai pada 2025 dengan target produksi 1,4 juta ton DME per tahun. Pihak yang terlibat dalam proyek ini, selain Bukit Asam, adalah PT Pertamina (Persero) dan Air Products, perusahaan Amerika Serikat selaku pemilik teknologi gasifikasi.
DME yang merupakan produk dari gasifikasi batubara berfungsi sebagai pengganti elpiji.
Adapun badan usaha lainnya adalah Grup Bakrie melalui PT Bakrie Capital Indonesia (BCI) dan PT Itacha Resources. Dengan menggandeng Air Products, Grup Bakrie berencana memproduksi metanol sebanyak 2 juta ton mulai 2024. Volume batubara yang dibutuhkan sebanyak 6 juta ton per tahun.
Minat dua perusahaan tersebut patut diapresiasi. Dengan hilirisasi di dalam negeri, dampak ganda diharapkan dapat terwujud, seperti penciptaan lapangan kerja baru, serta menurunnya impor elpiji maupun metanol. Pemerintah juga telah menjanjikan royalti nol persen bagi perusahaan tambang batubara yang sekaligus mengembangkan hilirisasi.
Kembali ke soal peta jalan, apakah panduan peningkatan nilai tambah batubara benar-benar akan terwujud? Dengan semangat optimistis, tentu kita berharap rencana ini benar-benar menjadi nyata. Namun, bukankah sudah ada pengalaman serupa di mineral?
Kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral berlarut-larut dan tak pernah tepat waktu seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Begitu pula panduan produksi batubara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 yang tak dipatuhi dan dilanggar. Jadi, akan seperti apa nasib peta jalan hilirisasi batubara nanti? Kita lihat saja.