Pembukaan Akses ke Kapal Asing Mengancam Sumber Daya Ikan
Pembukaan akses kapal ikan berbendera asing beroperasi di zona ekonomi eksklusif Indonesia menuai penolakan sejumlah kalangan. Izin kapal ikan asing dikhawatirkan akan mematikan usaha nelayan lokal.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian izin usaha bagi kapal penangkapan ikan berbendera asing di zona ekonomi eksklusif Indonesia yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai sebagai kebijakan keliru. Pembukaan akses penangkapan ikan oleh kapal asing akan memperburuk kondisi stok ikan dan memukul daya saing nelayan lokal.
Perizinan berusaha kapal penangkap ikan berbendera asing diatur dalam RUU Cipta Kerja, yakni terkait perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juncto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam Pasal 27 RUU Cipta Kerja (draf versi 812 halaman), kapal penangkapan ikan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia wajib memiliki perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
RUU Cipta Kerja Pasal 27 juga menghapuskan ketentuan pada UU Perikanan yang mewajibkan kapal perikanan berbendera asing yang menangkap ikan di ZEEI menggunakan anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah ABK. Selain itu, mengubah definisi nelayan kecil, yakni tanpa batas ukuran kapal. Nelayan kecil didefinisikan sebagai mata pencarian penangkapan ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan.
Pembukaan akses penangkapan ikan oleh kapal asing di ZEEI dapat memperburuk kondisi stok ikan untuk kepentingan nasional.
Direktur Kerja Sama Internasional dan Reformasi Kebijakan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Stephanie Juwana mengemukakan, pembukaan akses penangkapan ikan oleh kapal asing di ZEEI dapat memperburuk kondisi stok ikan untuk kepentingan nasional. Nelayan Indonesia dan penduduk Indonesia wajib mendapat prioritas dalam mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan di ZEE Indonesia sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
Pembukaan izin kapal asing juga dinilai tidak memenuhi persyaratan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS. Akses negara lain terhadap stok ikan di ZEEI hanya dapat dilakukan melalui hak penangkapan ikan tradisional dan surplus tangkapan yang diperbolehkan (allowable catch). Surplus tangkapan itu hanya dapat diberikan ke negara lain jika Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan tangkapan yang dibolehkan.
Persoalannya, Indonesia masih menghadapi tantangan kekurangan pangan dan gizi buruk kronis (stunting). Sumber daya ikan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan itu. Oleh karena itu, akses pemanfaatan ZEEI seharusnya diperuntukkan bagi penyelesaian masalah pangan dan gizi buruk, dan bukan diberikan ke negara lain.
”Pemberian konsesi perizinan kepada kapal ikan asing di ZEEI merupakan suatu kebijakan yang sangat keliru,” kata Stephanie, Selasa (13/10/2020).
Ironisnya, lanjut Stephanie, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan yang mewajibkan kapal penangkapan ikan asing yang beroperasi di ZEEI untuk menggunakan ABK Indonesia minimal 70 persen dari total ABK. Dampaknya, ABK asing akan marak seperti yang berlangsung di era tahun 2000-2014 ketika ABK asing berkebangsaan Laos, Kamboja, Myanmar, dan Thailand bekerja di kapal ikan Thailand yang berdomisili di Indonesia. Hal ini berpotensi menghilangkan kesempatan kerja WNI untuk bekerja di kapal asing di perairan ZEEI.
”Dampaknya, tenaga kerja Indonesia menjadi pekerja migran kapal ikan asing di luar negeri yang saat ini sangat rentan menjadi korban perdagangan orang dan perbudakan modern di kapal-kapal tersebut,” kata Stephanie.
Penolakan RUU Cipta Kerja juga disampaikan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Upaya membuka akses kapal penangkapan dan pengangkutan ikan berbendera asing di perairan Indonesia dan tidak adanya kewajiban mempekerjakan ABK asal Indonesia dapat memicu kejahatan alih muatan kapal (transshipment) di tengah laut. ”Ini memberikan kesempatan besar asing untuk melakukan investasi dan eksploitasi ikan besar-besaran,” katanya.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia Zulficar Mochtar mengingatkan, kebijakan moratorium kapal asing dan penutupan investasi perikanan tangkap bagi asing periode 2014-2019 telah menumbuhkan usaha perikanan rakyat dan meningkatnya stok ikan nasional. Penggunaan alat tangkap modern dan skala besar oleh kapal asing selama beberapa dekade terbukti menguras sumber daya ikan Indonesia.
”Penangkapan ikan skala besar dikhawatirkan mematikan usaha penangkapan ikan rakyat yang kini sedang tumbuh dengan modal dan kekuatan sendiri,” kata Zulficar, yang pernah menjabat Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, dalam siaran pers.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Aliasi Nelayan Indonesia Riyono mengemukakan, dihapuskannya ketentuan kapal berbendera asing wajib menggunakan ABK dalam negeri membuat semakin sulit mengontrol pemanfaatan ZEEI. Operasi penangkapan ikan asing di ZEEI dikhawatirkan akan melanggar zona tangkap kapal dalam negeri dan nelayan lokal.
Peraturan pemerintah
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Mohammad Zaini mengemukakan, ketentuan kapal ikan asing telah diatur sebelumnya di Undang-Undang Perikanan sebagai bentuk ratifikasi UNCLOS. Namun, pemerintah sudah tidak lagi memberikan izin bagi kapal ikan berbendera asing.
Ia menambahkan, pemerintah tetap akan melarang izin bagi kapal ikan asing sehingga ketentuan terkait kewajiban ABK Indonesia di kapal asing otomatis dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja. Namun, pemerintah membuka peluang kapal asing yang menangkap di laut lepas sesuai ketentuan organisasi perikanan regional (RFMO) untuk memanfaatkan ZEEI dengan kewajiban mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan dalam negeri.
”Perumusan detail akan tertuang dalam peraturan pemerintah yang ditargetkan selesai akhir Oktober (2020). Pemerintah akan mengadakan diskusi publik,” katanya.
Zaini menambahkan, definisi kapal ikan asing berbeda dengan kapal buatan luar negeri. Kapal buatan luar negeri adalah kapal yang didaftarkan di Indonesia, berbendera Indonesia, dan dimiliki oleh orang Indonesia. Adapun kapal asing dimiliki oleh asing dan didaftarkan di negara asalnya.
CEO IOJI Mas Achmad Santosa menilai, Indonesia harus becermin dari dampak positif larangan seluruh kapal ikan asing pada tahun 2014-2019. Pada 2000-2014, izin kapal asing yang merajalela menjadi preseden buruk bagi stok sumber daya ikan dan memukul daya saing kapal nasional. ”Apabila kapal penangkapan ikan asing memang tidak diizinkan beroperasi di ZEEI, aturan itu seharusnya dihapuskan saja dari UU Cipta Kerja. Jangan sampai ada akal-akalan,” katanya.