RUU Cipta Kerja berpeluang menderaskan arus pangan impor. Petani akan menghadapi ”perang” yang lebih keras di arena perdagangan yang semakin bebas. Akankah kita membiarkan petani bertarung sendiri?
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Ketika pemerintah dan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja secara maraton pada awal September 2020, para peternak unggas tengah berduka karena harga jual telur dan ayamnya anjlok di bawah ongkos produksi. Pada saat yang sama, petambak garam kebingungan menjual hasil panennya, apalagi ratusan ribu ton stok garam yang sebagian dari panen tahun lalu belum terserap pasar.
Petani sayuran juga sedang muram. Harga tomat, sawi, buncis, dan cabai hancur tak karuan karena lesunya permintaan di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, untuk sekadar memanennya mereka enggan. Sebab, ongkos petik dan angkutnya lebih mahal ketimbang harga jualnya. Modal hilang melayang.
Tahun ini, ada sederet cerita serupa terjadi di negeri ini. Seolah meneruskan kisah suram sejak bertahun-tahun sebelumnya. Selain peternak unggas dan petani hortikultura, problem harga anjlok dan atau produksi yang tak terserap juga dialami peternak sapi perah, petani tebu, petani bawang, dan tembakau. Selain permintaan yang tertekan, faktor suplai berlebih menjadi pemicunya.
Ironisnya, lonjakan suplai kadang bukan semata karena petani sedang panen raya, melainkan volume impor yang tak terkendali. Pasokan komoditas membanjiri pasar ketika petani semestinya tengah menuai hasil jerihnya. Petambak garam, petani tebu, serta petani bawang merah dan putih sudah berulang mengalaminya.
Harga anjlok saat panen raya menjadi ”penyakit menahun” yang belum sembuh. Bahkan, ketika sederet undang-undang semestinya masih memayungi petani dengan sejumlah pasal perlindungan, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU No 13/2010 tentang Hortikultura, UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Sejumlah regulasi itu masih mensyaratkan kecukupan stok dan produksi dalam negeri sebagai pertimbangan mengimpor pangan.
Akan tetapi, payung perlindungan itu terancam hilang. RUU Cipta Kerja menghapus atau mengubah ketentuan soal pangan impor. Dalam ketentuan umum UU No 18/2012, misalnya, disebutkan bahwa ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional serta impor jika kedua sumber utama itu tidak dapat memenuhi kebutuhan. Namun, ketentuan itu direvisi menjadi ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari produksi dalam negeri, cadangan nasional, dan impor pangan.
Soal sumber penyediaan pangan juga direvisi di RUU Cipta Kerja dengan memasukkan pangan impor sebagai salah satu prioritas pengadaan. Posisi pangan impor sebagai sumber penyediaan pangan setara atau sama dengan pangan hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional.
Alasan pemerintah dan DPR mengubah norma tersebut adalah memenuhi tuntutan perjanjian tentang pertanian (agreement on agriculture) Organisasi Perdagangan Dunia (Kompas, 8/10/2020). Dokumen WTO menggolongkan tuntutan-tuntutan ke Indonesia dalam 18 garis besar kebijakan. Dari 18 garis besar itu, kebijakan ke-18 menjadi tuntutan terakhir yang dikabulkan Indonesia, yakni menyangkut kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik.
Akan tetapi, sejumlah asosiasi dan aktivis petani, akademisi, dan pengamat menyayangkan langkah pemerintah mengabulkan tuntutan WTO dalam RUU Cipta Kerja. Pengubahan sejumlah pasal UU Pangan, UU Hortikultura, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dalam RUU Cipta Kerja dinilai bakal menimbulkan masalah yang krusial terkait kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.
Dampak yang diyakini segera terasa jika UU Cipta Kerja berlaku adalah makin derasnya arus masuk pangan impor. Padahal, tanpa pelonggaran itu saja impor pangan sudah cenderung naik beberapa tahun terakhir. Dampak lanjutannya, para pelaku pertanian di dalam negeri, khususnya petani, peternak, pekebun, pembudidaya, dan nelayan bakal berhadapan langsung dengan produk pertanian impor di pasar lokal.
Petani akan menghadapi ”perang” di arena perdagangan bebas yang menguji daya saing, produktivitas, serta keunggulan komparatif dan kompetitif. Akankah petani siap? Dengan segenap keterbatasannya, baik lahan, modal, maupun akses pasar, kita akan membiarkan petani bertarung sendiri? Jangan-jangan regulasi ini adalah pintu kematian massal bagi petani di dalam negeri.