Tuntutan WTO Dikabulkan lewat RUU Cipta Kerja, Kedaulatan Pangan Tergerus
Sejumlah pasal dalam sejumlah undang-undang yang memprioritas produksi pangan dalam negeri dihapus di dalam RUU Cipta Kerja guna mengabulkan tuntutan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengubah pasal-pasal dalam sejumlah undang-undang terkait pangan dan pertanian guna mengabulkan tuntutan Organisasi Perdagangan Dunia. Sejumlah pihak menyayangkannya karena dikhawatirkan semakin menggerus kedaulatan pangan nasional.
RUU Cipta Kerja mengubah pernyataan pemerintah memprioritaskan produksi dalam negeri sebagai sumber pangan nasional pada Pasal 15 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Pasal 15 (2) UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Kata ’mengutamakan’ pada pasal-pasal ini dihapus di dalam RUU Cipta Kerja.
Secara spesifik, pengubahan senada juga terjadi pada UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura. Pasal 88 UU No 13/2010 salah satunya mewajibkan impor hortikultura memperhatikan ketersediaan produk dalam negeri. Namun, aspek ketersediaan dalam negeri dihapus di RUU Cipta Kerja.
Terkait hal itu, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim menyayangkan dan kecewa terhadap perubahan tersebut. Dia menilai petani hortikultura dalam negeri tidak lagi memiliki payung perlindungan hukum. ”Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia seharusnya tidak boleh kehilangan kedaulatan. Hal (perubahan) ini menjadi bentuk penjajahan modern,” katanya saat dihubungi, Kamis (8/10/2020).
Perubahan itu dinilai dapat membuat impor produk hortikultura tidak terbendung. Sayangnya, harga produk dalam negeri belum mampu bersaing dengan impor. Dampaknya, kesejahteraan petani bakal semakin tergerus.
Tak hanya UU Hortikultura, RUU Cipta Kerja juga mengubah UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Salah satunya Pasal 13 Ayat 1 yang berubah menjadi penyediaan dan pengembangan benih dan/atau bibit dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan benih dan/atau bibit. Mulanya, pasal ini menyebutkan penyediaan dan pengembangan benih, bibit, dan/atau bakalan dilakukan dengan mengutamakan produksi dalam negeri dan kemampuan ekonomi kerakyatan.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum Kementerian Pertanian Maha Matahari Eddy Purnomo menyatakan, perubahan-perubahan tersebut bertujuan mengakomodasi tuntutan WTO sehingga kinerja ekspor Indonesia ke kancah global dapat terjaga. Indonesia pun dinilai tak kuat jika harus menghadapi konsekuensi retaliasi.
Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menilai pengubahan UU Pangan, UU Hortikultura, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani melalui RUU Cipta Kerja demi memenuhi tuntutan WTO bertentangan dengan UUD 1945.
”Pengubahan keempat UU menimbulkan problematika yang fundamental bagi kedaulatan pangan. Dalam menyikapi tuntutan WTO, Indonesia sebenarnya bisa menggunakan general exception yang melandaskan kedaulatan pangan sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasional," tuturnya.
Perubahan keempat UU akan menderaskan arus impor, sedangkan di dalam negeri tidak ada jaminan penyerapan bagi petani sebagai produsen pangan. Jika hasil panen petani tidak terserap, pertanian dan pangan nasional semakin sulit meningkatkan daya saingnya.
Sejak tahun 2014, Indonesia menerima tuntutan dari Selandia Baru dengan nomor kasus DS (Dispute Settlement) 477 dan Amerika Serikat (AS) dengan nomor kasus DS 478. Kedua kasus ini diselesaikan dalam alur yang sama di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO dengan judul ”Importasi Produk Hortikultura, Hewan, dan Produk Hewan”.
Surat permohonan konsultasi yang dilayangkan ke WTO pada Mei 2014 untuk kedua kasus itu memuat daftar aturan dan hukum di Indonesia yang dinilai memengaruhi kebijakan importasi Indonesia. Ada UU Pangan, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Hortikultura, serta UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Dalam perjalanannya, dokumen WTO menggolongkan tuntutan-tuntutan kepada Indonesia menjadi 18 garis besar kebijakan. Dari kedelapan belas garis besar itu, kebijakan ke-18 menjadi tuntutan terakhir yang dikabulkan Indonesia. Kebijakan ke-18 itu menyangkut kecukupan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan domestik.
Pada Agustus 2020, Indonesia memberikan notifikasi kepada WTO telah memenuhi tuntutan kebijakan pertama hingga ke-17 melalui revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Pada 17 September 2020, Indonesia melaporkan tengah membahas pemenuhan tuntutan kebijakan ke-18.
Ada sejumlah pihak ketiga yang mendukung tuntutan AS dan Selandia Baru. Pihak-pihak itu ialah Australia, Brasil, Kanada, China, Uni Eropa, India, Jepang, Norwegia, Paraguay, Singapura, Chinese Taipei, Argentina, Korea Selatan, dan Thailand.
Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), sekaligus Wakil Menteri Perdagangan periode 2011-2014, Bayu Krisnamurthi, menyayangkan sikap Indonesia menuruti asing untuk mengubah UU. ”Tidak seharusnya, keberatan dari negara lain menjadi alasan Indonesia untuk mengubah UU,” ujarnya.
Tidak seharusnya, keberatan dari negara lain menjadi alasan Indonesia untuk mengubah UU.
Dalam panel ataupun forum penyelesaian sengketa di WTO sebelumnya, Indonesia mestinya menonjolkan argumen, UU yang ada tidak melanggar komitmennya sebagai negara anggota WTO. Indonesia pun dapat menunjukkan perubahan permentan dan permendag sebagai bentuk komitmen tersebut.
Pergudangan
Kasus sengketa nomor DS 477 dan 478 yang dilayangkan AS dan Selandia Baru turut menyoroti kebijakan pergudangan Indonesia. Keduanya menggarisbawahi persyaratan kepemilikan dan kapasitas gudang.
UU Perdagangan Pasal 15 Ayat 2 menyatakan, gudang wajib didaftarkan oleh pemilik sesuai dengan penggolongan luas dan kapasitas penyimpanan. RUU Cipta Kerja mengubahnya menjadi setiap pemilik gudang wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Bayu memaparkan, kapasitas dan kepemilikan itu membuat pemerintah dapat mengecek gudang dan menghindari adanya penimbunan. Penghapusan klausul kapasitas dan kepemilikan membuat pemerintah mesti mengantisipasi terjadinya kasus penimbunan.