Wali Kota Malang Menilai ”Omnibus Law” Bisa Memicu Konflik Daerah dan Pusat
Demonstrasi penolakan ”omnibus law” UU Cipta Kerja di Kota Malang, Jawa Timur, berakhir ricuh. Massa melempari Gedung DPRD Kota Malang dengan petasan-batu. Wali Kota Malang menilai UU ini memicu konflik pusat dan daerah.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Demonstrasi penolakan omnibus law Undag-Undang Cipta Kerja di Kota Malang, Jawa Timur, berakhir ricuh. Massa melempari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Malang dengan petasan dan batu sehingga sejumlah kaca, kendaraan, dan beberapa barang rusak. Undang-undang sapu jagat tersebut dinilai memang akan memicu konflik baru antara pemerintah pusat dan daerah.
Unjuk rasa massa mahasiswa dan buruh di depan Balai Kota Malang, Kamis (8/10/2020), semula berjalan damai. Massa mahasiswa dari sejumlah kampus dan elemen tersebut berkumpul dan berbaris dalam satu rombongan besar, lalu menuju Balai Kota Malang dengan berjalan kaki. Mereka tergabung dalam aliansi Malang Melawan.
Massa tiba di sekitar Jalan Tugu Kota Malang sekitar pukul 11.00 WIB. Mereka segera menyebar memenuhi bundaran Tugu di depan Gedung DPRD Kota Malang dan Balai Kota Malang. Di sana, mereka bergabung dengan massa buruh dari Malang Raya. Sejumlah ruas jalan di sekitar kawasan akhirnya ditutup petugas.
Ada beberapa ibu-ibu tampak menyediakan camilan dan minuman kopi gratis bagi para demonstran. ”Ini adalah ide kami untuk memberi dukungan pada teman-teman mahasiswa dan buruh yang memperjuangkan hak mereka. Kami sudah tua, tidak bisa ikutan demo. Hanya bisa menyediakan kopi seperti ini untuk mereka,” kata Khodijah, warga Mergosono, Kota Malang.
Beberapa mahasiswa dan buruh tampak datang menikmati kopi yang disediakan gratis tersebut.
Namun tidak lama, tanpa sebab jelas, massa mulai terpicu melempari gedung dengan air mineral. Aksi pelemparan berlanjut dengan melemparkan batu dan petasan. Sebagian peserta mencorat-coret papan penanda Gedung Dewan dengan tinta semprot dan ada sebagian lain menarik kawat berduri yang sudah disiapkan oleh petugas. Akibatnya, ruang gerak massa mendekati Gedung Dewan pun makin longgar.
Ini adalah ide kami untuk memberi dukungan pada teman-teman mahasiswa dan buruh yang memperjuangkan hak mereka. Kami sudah tua, tidak bisa ikutan demo. Hanya bisa menyediakan kopi seperti ini untuk mereka. (Khodijah)
Dari sisi pintu samping kanan Gedung Dewan, massa bahkan bisa merangsek masuk ke halaman gedung dewan. Massa mulai melemparkan benda apa saja yang ditemui, ke arah gedung dan ruangan Dewan. Beberapa kali tampak petasan dilemparkan mengarah ke Gedung Dewan.
Lebih kurang setengah jam aksi berlangsung, hingga akhirnya polisi bisa mengusir massa dengan menyemprotkan air dan menembakkan gas air mata.
Protes tindakan polisi
Mahasiswa berteriak-teriak memprotes tindakan represif polisi yang menghujani mereka dengan tembakan gas air mata. ”Bukan kami yang memulai, ya. Kalian kasar terlebih dahulu,” teriakan polisi berusaha mengajak mahasiswa berdialog. Situasi mereda dan massa akhirnya memilih duduk berkelompok di sekitar bundaran Tugu Balai Kota Malang.
”Kami mengkritisi upaya pemerintah menelurkan UU omnibus law yang seakan meninggalkan dan tidak memedulikan pandangan masyarakat. Banyak hal perlu dikritisi agar pemerintah tidak lupa bahwa mereka itu memegang mandat dari rakyat,” kata Jeckri, salah seorang juru bicara aksi.
Menurut dia, omnibus law melahirkan beberapa problematika, seperti melegitimasi investasi perusak lingkungan karena segala izin ditarik ke pusat. Penyusunan omnibus law UU Cipta Kerja tersebut dinilai cacat prosedur karena tidak mengakomodasi elemen masyarakat, sentralisasi kewenangan ditarik ke pusat sehingga mencederai reformasi, menerapkan perbudakan modern dengan sistem fleksibilitas tenaga kerja, dan lainnya.
”Secara kasatmata omnibus law mengurangi hak-hak buruh. Pengurangan pesangon serta meniadakan hak cuti haid adn cuti keguguran buruh perempuan. Ini membuat kondisi buruh perempuan kian rentan,” kata Prasetyo, demonstran lainnya.
Berdasarkan beberapa kajian itu, menurut aliansi Malang Melawan, UU Cipta Kerja harus dicabut.
Konflik
Wali Kota Malang Sutiaji mengatakan, omnibus law UU Cipta Kerja akan memicu konflik antara pusat dan daerah. Hal itu dinilai perlu menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut oleh pemerintah pusat sebelum mengesahkannya sebagai undang-undang.
”Secara substansi banyak yang saya pertanyakan dari omnibus law tersebut. Ini arahnya kewenangan daerah dikebiri dan menjadi sentralistik, bertentangan dengan semangat reformasi. Ini pada akhirnya akan memicu konflik sosial antara pusat dan daerah,” kata Sutiaji.
Sutiaji mencontohkan, di Kota Malang fokusnya adalah meningkatkan UMKM. Caranya, dengan mendorong penguatan pasar tradisional dan membatasi pasar modern atau minimarket.
”Jika ke depan perizinan usaha semua ditangani pusat, akan muncul masalah di Kota Malang. Fokus penguatan UMKM bisa bertentangan dengan mudahnya pusat memberi izin usaha pasar modern di Kota Malang, misalnya. Ini akan memicu konflik,” kata wali kota yang diusung oleh Partai Demokrat tersebut.
Sutiaji menilai, dibuatnya omnibus law UU cipta Kerja tersebut dinilai tidak pas waktunya. ”Penjelasan mengenai UU ini kurang. Seakan-akan harus dikebut dengan cepat. Apalagi momennya juga tidak pas, pada masa pandemi seperti ini. Masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi akibat pandemi tentu akan mudah tersulut oleh kabar yang merugikan atau menyusahkan mereka,” ujarnya.
Jika ke depan perizinan usaha semua ditangani pusat, akan muncul masalah di Kota Malang. Fokus penguatan UMKM bisa bertentangan dengan mudahnya pusat memberi izin usaha pasar modern di Kota Malang misalnya. Ini akan memicu konflik. (Sutiaji)
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah pusat perlu mempertimbangkan lebih lanjut, sebelum mengesahkan UU Cipta Kerja tersebut sebagai norma baru di Indonesia.