Ribuan Orang di Padang Tolak UU Cipta Kerja, Tuntut Penerbitan Perppu
Ribuan mahasiswa, pelajar, dan buruh berunjuk rasa di kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, menolak UU Cipta Kerja. Penolakan juga disampaikan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Oleh
YOLA SASTRA
·6 menit baca
PADANG, KOMPAS — Ribuan orang dari kalangan mahasiswa, pelajar, dan buruh berunjuk rasa di kantor DPRD Sumatera Barat, Padang, Sumbar, menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI dan pemerintah pusat. Penolakan juga disampaikan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas. Mereka menuntut presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu.
Massa memulai aksi pada Rabu (7/10/2020) sekitar pukul 14.30. Massa tersebut berasal dari beberapa perguruan tinggi, sekolah menengah kejuruan (SMK), dan buruh di Sumbar. Mereka memadati sepanjang lebih dari 100 meter badan Jalan S Parman di pintu barat kantor DPRD Sumbar. Massa tidak dapat masuk ke halaman kantor karena dipagari kawat berduri. Mereka tidak mundur meskipun diguyur hujan deras.
Meskipun dalam ajakan aksi para peserta diajak menerapkan protokol kesehatan karena sedang dalam situasi pandemi Covid-19, sebagian massa tidak mengindahkan. Para pengunjuk rasa saling berdesakan. Sebagian pengunjuk rasa tidak memakai masker atau melepaskan maskernya.
Massa pengunjuk rasa itu membawa aneka perlengkapan, seperti spanduk, karton, atau papan berisi tulisan bernada penolakan terhadap UU Cipta Kerja. Tulisan-tulisan itu juga menyampaikan kekecewaan terhadap DPR dan pemerintah pusat yang lebih mementingkan pebisnis daripada masyarakat.
”Dewan Pengkhianat Rakyat. Dewan Penyusah Rakyat,” seru massa. ”Kami disuruh tetap di rumah, tetapi mereka sibuk membahas dan mengesahkan UU Cipta Kerja,” kata massa lainnya.
Salah seorang buruh yang berorasi menyampaikan, pengesahan UU Cipta Kerja telah menciderai perasaan buruh. Ia menyampaikan beberapa poin yang dirasa merugikan buruh, seperti pengurangan jumlah uang pesangon buruh yang di-PHK dan memperbesar sistem tenaga kerja alih daya (outsourcing) yang menyengsarakan pekerja.
”Kami dari serikat buruh sangat menolak UU Omnibus Law, terutama kluster ketenagakerjaan Cipta Kerja. UU Cipta Kerja menghapuskan uang penghargaan masa kerja. Outsourcing diperluas. Outsourcing penindasan. Kita kembali ke kitab undang-undang dagang kolonial. Penindasan gaya baru,” tuturnya.
Koordinator unjuk rasa dari kalangan mahasiswa menyampaikan, massa meminta anggota DPRD Sumbar turut serta bersama mereka menolak UU Cipta Kerja. Sebagai perwakilan masyarakat Sumbar, DPRD Sumbar semestinya bisa menekan Presiden Joko Widodo agar menolak UU Cipta Kerja.
”Tolong sampaikan kepada presiden, terbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja,” kata koordinator unjuk rasa.
Ketua DPRD Sumbar Supardi ketika menemui massa menyampaikan, DPRD Sumbar tidak dapat menolak ataupun menerima UU Cipta Kerja. Sebab, UU itu wewenang DPR RI dan pemerintah pusat. Namun, Supardi berjanji menyampaikan aspirasi massa kepada anggota DPRD Sumbar dari fraksi lain dalam rapat paripurna.
”Tuntutan adik-adik kami terima. Selanjutnya, kami pertegas secara kelembagaan. Kami akan minta pemerintah pusat meninjau ulang UU tersebut,” kata Supardi yang juga anggota Fraksi Partai Gerindra.
Sebagian massa tidak puas dengan jawaban Supardi. Mereka mulai bertindak anarkis. Massa menarik pagar kawat yang mengelilingi kantor DPRD Sumbar dan beberapa kali terbuka. Berbagai benda, seperti batu, kayu, sendal, dan botol minuman, dilemparkan kepada aparat kepolisian.
Hingga Rabu pukul 17.30, sebagian pengunjuk rasa masih bertahan di pintu barat kantor DPRD Sumbar. Mereka tidak bubar meskipun koordinator unjuk rasa meminta mereka mundur secara teratur karena aspirasi sudah disampaikan. Massa baru membubarkan diri setelah koordinator ujuk rasa menjanjikan kembali mengadakan aksi pada Kamis (8/10/2020).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari dalam keterangan tertulis menyebutkan, DPR bersama pemerintah mengesahkan RUU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020) tanpa mengindahkan penolakan dan mempertimbangkan publik. Langkah pembentukan UU itu telah melahirkan tujuh dosa besar.
Pertama, kekuasaan yang sombong. Sentralistik kekuasaan seperti Orde Baru dan Orde Lama. ”UU Cipta Kerja jauh dari cita-cita reformasi dengan meletakkan kekuasaan sangat terpusat pada pemerintah pusat melalui pembentukan ratusan peraturan pemerintah, terutama dalam hal izin usaha hingga penyelenggaraan penataan ruang,” kata Feri.
Khas UU Cipta Kerja terkait kemudahan bagi para pemilik modal dalam berbisnis juga terjadi di negara-negara dunia ketiga.
Kedua, ketamakan para pebisnis. UU ini, sebut Feri, hanya memprioritaskan kemudahan bagi investor. Seluruh hal ditentukan pemerintah pusat, pebisnis cukup menggunakan pendekatan kepada pemerintah pusat sehingga mereka dapat menyelesaikan seluruh urusannya di mana saja di Indonesia. Khas UU Cipta Kerja terkait kemudahan bagi para pemilik modal dalam berbisnis juga terjadi di negara-negara dunia ketiga.
Ketiga, iri terhadap kuasa pemerintahan daerah (pemda). UU ini memperlemah kuasa pemda yang secara konstitusional menjalankan prinsip otonomi seluas-luasnya yang diatur dalam UUD 1945, termasuk izin usaha di daerah, tata ruang desa (Pasal 48 UU Penataan Ruang dalam UU Cipta Kerja), penentuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 7C, Pasal 16 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam UU Cipta Kerja).
Keempat, rakus. UU Cipta Kerja akan menimbulkan ketimpangan keuangan antara pusat dan daerah. Makin patuh daerah kepada pemerintah pusat, daerah itu berpotensi akan menikmati dibandingkan daerah yang bukan ”partai” pemerintah. Seluruh sumber daya alam yang ada penentuan perizinannya melalui pemerintah pusat (seperti Pasal 17A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).
Bahkan, seluruh bisnis, sebut Feri, contoh bisnis di wilayah pesisir, mulai dari garam hingga pariwisata diambil pemerintah pusat (Pasal 19 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Izin berusaha bagi masyarakat lokal dan tradisional hanya terkait kebutuhan hidup sehari-hari, hal itu dikecualikan bagi masyarakat hukum adat (Pasal 20 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam UU Cipta Kerja).
Kelima, nafsu pemodal asing. Pulau-pulau di Indonesia dapat dikelola melalui Penanaman Modal Asing berdasarkan kepentingan pusat, padahal asetnya adalah milik daerah (Pasal 26A UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dalam UU Cipta Kerja).
Keenam, kemalasan bertanggung jawab. Menghapus tanggung jawab perusahaan pembakar hutan. Kebakaran hutan yang menjadi persoalan setiap tahun akan makin diperparah karena tidak ada lagi sanksi yang dijatuhkan kepada perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran lahan.
Padahal, sambung Feri, United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) mengisyaratkan kewajiban negara untuk melindungi individu dari pelanggaran HAM oleh pihak ketiga, termasuk bisnis (Pasal 49 UU Kehutanan dalam UU Cipta Kerja).
Ketujuh, marah terhadap rakyat yang punya lahan sendiri. UU ini menghapus syarat ketentuan tentang syarat pengalihfungsian lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian sehingga, dengan alasan demi kepentingan umum ataupun kebutuhan investasi, lahan pertanian dapat dialihfungsikan dengan mudah. Hal ini akan menimbulkan lebih banyak konflik agraria akibat perampasan lahan (Pasal 44 UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam UU Cipta Kerja).
”Mempertimbangkan tujuh dosa besar UU cilaka tersebut serta menyimak potensi dampak kerusakan yang akan menimbulkan permasalahan multidimensi, PUSaKO Fakultas Hukum Universitas Andalas dengan tegas menuntut agar UU Cipta Kerja ditarik dan dibatalkan dengan membentuk perppu sebagai bentuk pertanggungjawaban presiden yang mengusulkan UU ini,” ujar Feri.