Kisah Petugas Sensus Penduduk 2020 yang Berjibaku demi Terwujudnya Satu Data
Sensus penduduk 2020 sangat krusial dalam mewujudkan satu data kependudukan Indonesia. Sayangnya, sensus kali ini terkendala pandemi Covid-19. Beruntung, para petugas sensus tetap berjibaku demi satu data kependudukan.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·6 menit baca
KOMPAS/Dokumentasi pribadi
Muhammad Toyib Apriyanto (29), petugas sensus di Dusun Sungai Buluh, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, menerjang banjir bersama Ketua RT 003/012 Dusun Sungai Buluh, Jumat (11/9/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Agenda sensus penduduk 2020 yang mengemuka pada awal tahun perlahan meredup seiring dengan mewabahnya Covid-19 di Tanah Air. Padahal, sensus penduduk menjadi langkah krusial dalam mewujudkan satu data kependudukan Indonesia. Namun, asa tersebut kini tetap terjaga berkat kiprah para petugas sensus yang tanpa putus asa.
Pengalaman pertama Masropah (36) sebagai petugas sensus di kelurahan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, rupanya tak semulus yang ia bayangkan. Selama 15 hari bertugas, ia harus menghadapi kekhawatiran ganda akibat pandemi Covid-19.
Satu sisi, kewajibannya untuk mendatangi rumah-rumah warga membuatnya cemas dengan risiko penularan Covid-19. Di sisi lain, ia juga harus siap menghadapi berbagai bentuk ungkapan penolakan dari para warga.
”Sering juga datang ke rumah warga, tapi enggak dibukain pintu. Ada juga yang didatangi, malah ditinggal pergi. Ada juga yang khawatir datanya disalahgunakan,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya, Minggu (27/9/2020).
Padahal, saat mendapatkan lampu hijau dari warga, Masropah sudah berupaya untuk menjaga jarak. Saat berkomunikasi, ia selalu berada di luar rumah, sementara warga berada di dalam. Bahkan, beberapa kali ia berkomunikasi dengan warga yang berteriak dari balkon rumah.
Masropah juga tak pernah absen mengenakan alat pelindung diri (APD) seperti masker, pelindung wajah, sarung tangan, dan hand sanitizer. Meski terkesan mudah, rupanya hal tersebut cukup merepotkan baginya.
Terutama jika Masropah harus berpindah dari satu rumah ke rumah lain pada siang hari yang terik. Tak jarang keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya akibat pengapnya APD yang ia kenakan.
”Sarung tangan bagian dalam itu biasanya basah karena keringat. Buat nulis juga gak enak banget,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Masropah (36), petugas sensus di kelurahan Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, menunjukkan rompi sensusnya, Minggu (27/9/2020).
Masropah biasanya mulai berkeliling ke rumah-rumah warga pada pukul 10.00 lantaran ia harus memasak dan mendampingi putranya yang duduk di kelas IV SD belajar daring terlebih dulu. Ia pulang sekitar sore atau malam hari.
Setidaknya ada lebih dari 600 kepala keluarga (KK) yang harus ia data selama 15 hari. Ratusan KK itu melingkupi delapan RT di beberapa RW yang berbeda. Sebagian besar warga yang harus ia data, tinggal di kompleks perumahan.
Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Masropah. Tidak hanya khawatir menghadapi penolakan warga, ia juga kesulitan menemui warga di rumah. Alhasil, ia terpaksa harus mendatangi satu rumah yang sama berkali-kali untuk dapat bertemu pemiliknya.
”Yang paling banyak, sih, datang tiga kali ya. Kadang kerja sama dengan sekuriti kompleks dan ketua RT juga,” katanya.
Sering juga datang ke rumah warga, tapi enggak dibukain pintu. Ada juga yang didatangi, malah ditinggal pergi. Ada juga yang khawatir datanya disalahgunakan.
Sementara untuk warga yang tinggal di perkampungan malah menawarkan diri untuk disensus. Dengan harapan, mereka bisa mendapatkan bantuan sosial setelahnya. Hal ini wajar mengingat banyak warga terdampak Covid-19 yang belum tersentuh bantuan sosial di sana.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Petugas Sensus Penduduk 2020 memverifikasi data di lapangan di RW 003 Kelurahan Galur, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, Selasa (2/9/2020).
Sementara itu, dari semua KK yang didatangi Masropah, hanya sebagian kecil yang sudah melakukan sensus penduduk daring pada periode Februari-Mei silam. Menurut dia, pandemi Covid-19 telah membuat warga kurang mendapat sosialisasi mengenai sensus penduduk daring.
Jamaluddin Al Afgani (19), petugas sensus asal Desa Karangnangka, Binangun, Cilacap, Jawa Tengah, juga sempat membuat panik para warga yang ia datangi. Pasalnya, warga mengira dirinya akan melakukan razia masker. Kebetulan, pemerintah setempat gencar melakukan razia masker sejak sepekan sebelumnya.
Bukan hanya itu, beberapa warga bahkan menolak kedatangannya karena dianggap sebagai penagih utang. ”Beberapa warga ngira saya mau nagih utang. Tapi setelah dijelaskan, rata-rata warga mengerti karena kebetulan saya anak perangkat desa,” ujarnya.
Waktu itu lagi sensus ke rumah-rumah warga, ternyata dosen mendadak bikin kuliah daring lewat Google Meet. Saya langsung berhenti di bawah pohon buat kuliah dulu. Kira-kira satu setengah jam-lah.
Selama ini, Gani kebagian menyensus seluruh warga di Desa Karangnangka. Desa tersebut hanya memiliki lima RT dengan jumlah penduduk kurang dari 200 KK. Hal itu sebenarnya bukan hal yang berat bagi Gani apabila ia tak dibebankan dengan aktivitas perkuliahannya.
KOMPAS/Dokumentasi pribadi
Jamaluddin Al Afgani (19), petugas sensus asal Desa Karangnangka, Binangun, Cilacap, Jawa Tengah, saat mendata salah satu warga.
Periode pendataan 1-15 September 2020 memang bersamaan dengan jadwal kuliah daring mahasiswa Semester III Jurusan Teknik Perkeretaapian Politeknik Negeri Madiun ini. Bahkan, beberapa kali ia harus mengikuti kuliah daring di tengah-tengah sensus.
”Waktu itu lagi sensus ke rumah-rumah warga, ternyata dosen mendadak bikin kuliah daring lewat Google Meet. Saya langsung berhenti di bawah pohon buat kuliah dulu. Kira-kira satu setengah jam-lah,” ungkapnya.
Terjang banjir
Sementara itu, tantangan berbeda dihadapi oleh Muhammad Toyib Apriyanto (29), petugas sensus di Dusun Sungai Buluh, Ngabang, Landak, Kalimantan Barat. Ia harus rela menghadapi tantangan cuaca ekstrem yang sedang melanda dusunnya saat itu.
Bahkan, pada 11 September 2020, ia nekat menerjang banjir di jalan menuju permukiman warga RT 003/012 demi deadline sensus. Dalam sebuah foto dokumentasi yang ia bagikan, terlihat ia sedang melintasi genangan banjir setinggi lututnya. Ia didampingi oleh ketua RT setempat.
”Sebelumnya, beberapa rumah di sana memang terendam banjir sehingga saya menunda datang dua sampai tiga hari setelahnya. Pas saya balik ke sana sudah agak surut. Sudah bisa dilewati walau dalamnya 1 meter,” katanya.
Beberapa warga yang rumahnya terendam banjir bahkan sempat mengungsi ke rumah-rumah kerabatnya di dusun seberang. Hal ini membuat Toyib harus beberapa kali datang ke rumah-rumah mereka.
”Waktu itu ada yang mengungsi. Tapi, ada juga yang masih bertahan. Walaupun kena bencana, mereka masih mau menerima saya,” ujar wiraswasta ini.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas sensus melakukan verifikasi data dan wawancara singkat kepada warga di Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara, Rabu (2/9/2020).
Selain banjir, akses yang sulit menjadi tantangan bagi Toyib. Tak jarang, ia harus melewati jalanan berbukit dan berlumpur untuk sampai ke rumah-rumah warga. Toyib beruntung, warga yang ia datangi selalu memberikan sambutan hangat.
Harista Dwi, salah satu koordinator Sensus Penduduk di Kecamatan Ngabang, mengatakan, saat melakukan pendataan, para petugas sensus memang menghadapi kondisi cuaca yang tidak menentu. Namun, ia dan timnya tetap berkomitmen untuk melakukan pencatatan secara maksimal.
Sementara itu, pandemi Covid-19 turut mengubah skema pencatatan di daerahnya. Sebab, metode pendataan sensus penduduk kali ini dibedakan berdasarkan tingkat persebaran Covid-19. Masing-masing wilayah dibedakan menjadi tiga kategori, yakni zona 1, zona 2, dan zona 3.
Suatu wilayah dikategorikan sebagai zona 1 jika memiliki angka persebaran Covid-19 rendah hingga sedang. Zona 2 adalah wilayah dengan tingkat persebaran Covid-19. Adapun zona tiga adalah wilayah dengan tingkat persebaran Covid-19 sangat rendah.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sebelumnya sebanyak 51,4 juta warga telah berpartisipasi dalam sensus penduduk secara daring pada Februari-Mei 2020. Jumlah tersebut masih sekitar 19 persen dari total seluruh penduduk Indonesia.
Karena Kecamatan Ngabang dianggap sebagai zona 1, pencatatan penduduk dilakukan dengan cara drop off-pick up (Dopu). Artinya, dokumen pengisian tersebut disebarkan oleh petugas kepada warga. Dua hingga tiga hari kemudian, petugas akan mengambil dan memverifikasi dokumen tersebut.
”Metode ini dilakukan untuk meminimalkan kontak langsung dengan warga. Ini kendalanya karena harusnya kami bisa wawancara langsung,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Subdirektorat Statistik Demografi Badan Pusat Statistik (BPS) M Nashrul Wajdi mengatakan, pelaksanaan sensus penduduk harus disesuaikan dengan berbagai dampak pandemi Covid-19. Saat ini, rata-rata pelaksanaan pendataan telah mencapai 90 persen penduduk (Kompas, 26 September 2020).