Pembangunan Berkelanjutan Ciptakan Peluang Kerja Lebih Besar
Pemerintah serta pebisnis terus diingatkan agar memperhatikan kelestarian lingkungan dalam membangun infrastruktur. Dengan alam yang terjaga, lapangan kerja dan pemulihan ekonomi akan tercipta secara berkelanjutan.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 telah menunjukkan keterkaitan antara kota, manusia, dan alam dalam pembangunan infrastruktur di perkotaan. Guna menciptakan pembangunan berkelanjutan, kota sebagai mesin pertumbuhan global yang penting bagi pemulihan ekonomi harus dibangun dengan memperhatikan kondisi alam.
Paket pemulihan Covid-19 yang mencakup pembangunan infrastruktur memiliki peran penting dalam pembangunan infrastruktur yang dapat bertahan selama 30 tahun hingga 50 tahun ke depan. Interaksi masyarakat dengan alam akan memengaruhi daya tahan terhadap guncangan pada masa depan.
Pembahasan ini mengemuka dalam rilis World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) pada Kamis (24/9/2020) berjudul ”Rebuilding Cities to Generate 117 Million Jobs and $3 Trillion in Business Opportunity with Nature-Positive Strategy”. Penelitian menunjukkan, solusi yang mengedepankan kelestarian alam dapat membantu kota untuk membangun kembali dengan cara yang lebih sehat dan tangguh.
Solusi ini sekaligus dapat menciptakan peluang untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Future of Nature and Business Report dari Forum Ekonomi Dunia menemukan, pembangunan dengan memperhatikan alam di lingkungan perkotaan dapat menciptakan 3 triliun dollar AS dalam peluang bisnis dan 117 juta pekerjaan.
Kepala Agenda Aksi Alam dalam Forum Ekonomi Dunia Akanksha Khatri menegaskan, bisnis seperti biasa tidak lagi berkelanjutan. Bisnis saat ini telah membuat hilangnya keanekaragaman hayati, tantangan dari cepatnya pertumbuhan populasi perkotaan, kesenjangan pembiayaan, dan perubahan iklim.
Kota-kota bertanggung jawab atas 75 persen emisi gas rumah kaca global yang merupakan penyebab utama polusi tanah, air, dan udara dan memengaruhi kesehatan manusia. Banyak kota juga tidak terencana dengan baik sehingga menurunkan produk domestik bruto (PDB) nasional sebanyak 5 persen akibat dampak negatif, seperti hilangnya waktu, bahan bakar yang terbuang, dan polusi udara.
”Kondisi ini memberikan sinyal bagi kita untuk membangun kembali dengan cara yang lebih baik. Kabar baiknya, ada banyak contoh solusi pembangunan berkelanjutan berbasis alam yang dapat bermanfaat bagi manusia dan planet,” ujar Khatri dalam keterangan tertulis.
Solusi proyek kota
Dalam studi yang bekerja sama dengan AlphaBeta, ada beberapa contoh proyek yang menerapkan solusi positif serta peluang bisnis. Misalnya, kondisi air di Cape Town yang tinggal 90 hari lagi harus mematikan keran airnya.
Solusi infrastruktur alam, yaitu dengan memulihkan daerah aliran sungai kota ditemukan dapat menghasilkan air sebanyak 50 miliar liter per tahun. Jumlah ini setara dengan 18 persen dari kebutuhan pasokan kota dengan 10 persen dari biaya opsi pasokan alternatif, termasuk desalinasi, eksplorasi air tanah, dan penggunaan kembali air.
Sama halnya di Singapura yang menggunakan sensor di jalur pasokan air minum sehingga tingkat kebocoran air hanya 5 persen, lebih rendah daripada banyak kota besar lainnya. Secara global, penggunaan sensor dapat mengurangi kebocoran air kota dan menghemat 115 miliar dollar AS pada 2030 dengan pengembalian investasi dalam efisiensi air bisa di atas 20 persen.
Ada pun di kota Suzhou, China, yang mampu meningkatkan PDB 260 kali lipat dengan membangun Taman Industri Suzhou. Taman ini menampung 25.000 perusahaan, 92 di antaranya adalah perusahaan Fortune 500 dan merupakan rumah bagi 800.000 orang.
Taman ini memiliki 122 kebijakan pembangunan hijau, termasuk ketentuan tentang optimalisasi dan intensifikasi penggunaan lahan, peningkatan perlindungan air dan ekologi, serta pembangunan bangunan hijau. Hasilnya, 94 persen air industri digunakan kembali, 100 persen konstruksi baru berwarna hijau, energi sebagian besar dapat diperbarui, dan ruang hijau menutupi 45 persen kota.
San Francisco kini membutuhkan bangunan baru untuk memiliki atap hijau. Pasar atap ”hijau” diharapkan bernilai 9 miliar dollar pada 2020 dan dapat tumbuh sekitar 12 persen per tahun hingga tahun 2030 yang pada akhirnya dapat menciptakan peluang tambahan sebesar 15 miliar dollar AS dalam setahun.
Baca juga: Kepemimpinan dan Iklim Investasi Kunci Pengembangan Energi Terbarukan
Tantangan yang dihadapi Filipina ialah hilangnya habitat pesisir, terutama hutan bakau yang kaya keanekaragaman hayati dan karbon. Akibatnya, secara signifikan meningkatkan risiko banjir dan angin topan bagi 300 juta orang yang tinggal di zona banjir pesisir.
Sebagai salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, diadakan proyek percontohan di Filipina, yakni memonetisasi nilai bakau melalui pembentukan Perusahaan Layanan Asuransi Restorasi (RISCO). RISCO memilih lokasi di mana bakau memberikan manfaat pengurangan banjir yang tinggi dan membuat model yang bernilai.
Perusahaan asuransi akan membayar biaya tahunan untuk layanan ini, sementara organisasi yang berusaha memenuhi target mitigasi iklim sukarela atau regulasi akan membayar kredit karbon biru. Secara keseluruhan, memulihkan dan melindungi hutan bakau di pemukiman manusia dapat mengurangi kerusakan akibat banjir tahunan pada aset pesisir global hingga lebih dari 82 miliar dollar AS sekaligus berkontribusi secara signifikan untuk memerangi perubahan iklim.
Khatri menyampaikan, laporan ini sebagai seruan kepada para pejabat pemerintah dan bisnis untuk memainkan peran mereka dalam meningkatkan dan mengarahkan pembiayaan untuk infrastruktur perkotaan yang berkelanjutan. Peraturan di berbagai bidang, termasuk rencana induk perkotaan, zonasi, dan kode bangunan, wajib membuka potensi kota dan infrastruktur yang mengutamakan kelestarian alam.
”Kita berada pada titik kritis untuk masa depan umat manusia. Sekaranglah waktunya untuk membangun dengan mengutamakan kelestarian alam sebagai satu-satunya pilihan bagi kelangsungan ekonomi dan bumi kita. Bagaimana kita memilih untuk menggunakan paket pemulihan Covid-19 mungkin menjadi salah satu kesempatan terakhir kita untuk melakukannya dengan benar,” ujar Khatri.
Biaya tinggi
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengakui belum banyak perusahaan di Indonesia yang sudah menginvestasikan lebih pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs). Biaya tinggi menjadikan salah satu alasan mengapa pelaku usaha tidak menerapkan pembangunan yang mengutamakan kelestarian alam.
”Terkadang, para pelaku usaha Indonesia melihat SDGs ini perlu modal yang tidak sedikit sehingga prioritas SDGs tingkatannya belum terlalu tinggi. Makanya, kami terus promosi dan sosialisasi kepada mereka untuk melihat tidak hanya jangka pendek, tetapi jangka panjang,” kata Shinta.
Padahal, kata Shinta, ini merupakan momentum yang baik bagi perusahaan untuk sejalan dengan SDGs karena selama ini perusahaan melihat SDGs hanya sebagai CSR (tanggung jawab sosial perusahaan). Model bisnis harus bisa sejalan dan terintegrasi dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Shinta yang juga pemilik Sintesa Group mengatakan, para pelaku usaha perlu melihat tujuan apa yang sesuai dengan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk menjadi fokus menjalankan model bisnis. Peta jalan juga perlu dibuat untuk memastikan proses bisnis sejalan dengan poin-poin dalam SDGs.
Baca juga: Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Sebagai contoh, kata Shinta, dalam peta jalan yang disusun, salah satunya Sintesa Group kini lebih berfokus pada tujuan ketiga, yaitu memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia. Tujuan ini dicapai dengan memastikan karyawan memiliki kesehatan yang baik melalui penerapan protokol kesehatan.
”Hal penting juga buat kami, Sintesa Health sekarang sudah menjadi bagian yang mendukung kesehatan masyarakat. Melalui upaya ini, kami menjadi lebih fokus menjalankan model bisnis untuk mencapai tujuan ketiga,” kata Shinta.