Kepemimpinan dan Iklim Investasi Kunci Pengembangan Energi Terbarukan
Berbagai masukan diberikan dalam proses pembahasan rancangan UU tentang energi terbarukan. Kata kunci keberhasilan pengembangan ada di faktor kepemimpinan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Faktor kepemimpinan dan iklim investasi yang kondusif menjadi kunci bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia agar tumbuh sesuai target yang ditetapkan. Langkah Indonesia menuju target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025 dipandang berat.
Rancangan undang-undang tentang energi terbarukan diharapkan dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Dalam webinar ”Urgensi Energi Bersih pada Rancangan UU Energi Terbarukan”, Rabu (23/9/2020), Energy Project Lead pada Yayasan WWF Indonesia Indra Sari Wardhani mengatakan, kepemimpinan politik menjadi kunci terpenting terhadap kemajuan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Faktor kepemimpinan tersebut yang akan menjalankan komitmen Indonesia terhadap penanggulangan krisis akibat perubahan iklim, peningkatan kedaulatan energi, serta peningkatan kualitas udara dan kesehatan.
”Kepemimpinan politik yang kuat terhadap komitmen pengembangan energi terbarukan turut memperkuat tata kelola kelembagaan yang ada, seperti meningkatkan penelitian dan pengembangan teknologi energi terbarukan, mendorong seluruh kementerian dan lembaga menggunakan sumber energi terbarukan, serta mendorong transisi kelistrikan nasional ke arah energi terbarukan,” tutur Indra Sari.
Oleh karena itu, lanjut Indra Sari, DPR selaku pengusul penyusunan RUU energi terbarukan harus membuka lebar ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan dan pembahasan rancangan tersebut. Dalam rancangan harus diatur mekanisme pemberian insentif terhadap pengembangan energi terbarukan. Sebaliknya, perlu dikaji ulang pemberian subsidi pada energi fosil dan kemungkinan penerapan pajak karbon (carbon tax).
Dalam rancangan harus diatur mekanisme pemberian insentif terhadap pengembangan energi terbarukan. Sebaliknya, perlu dikaji ulang pemberian subsidi pada energi fosil dan kemungkinan penerapan pajak karbon (carbon tax).
Manajer Program Transformasi Energi pada Institute for Essential Services Reform (IESR) Jannata Giwangkara menambahkan, penyusunan RUU energi terbarukan menjadi sinyal positif bagi Indonesia. Kelahiran undang-undang tersebut diharapkan menjadi jalan keluar terhadap segala hambatan dalam pengembangan energi terbarukan. Undang-undang tersebut harus dapat menciptakan akselerasi bagi pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia.
”Undang-undang ini harus mampu menciptakan iklim investasi yang lebih baik di Indonesia. Negara lain di Asia Pasifik sudah terlebih dahulu memiliki undang-undang sejenis untuk mengembangkan energi terbarukan, seperti Filipina, Malaysia, Korea Selatan, Sri Lanka, Pakistan, Jepang, dan Australia,” ujar Jannata.
Berdasarkan catatan IESR, selama ini ada berbagai hambatan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Hambatan itu adalah ketidakpastian kebijakan atau mudah berubahnya aturan, prosedur perizinan yang rumit, struktur harga energi terbarukan yang tak konsisten, serta kurangnya institusi yang kuat yang khusus menangani pengembangan energi terbarukan.
Sementara itu, menurut Peneliti Yayasan Indonesia Cerah, Mahawira Dillon, mengenai rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia, hal itu dipandang kurang tepat untuk dilaksanakan di Indonesia. Indonesia harus belajar dari bencana alam di Jepang yang menghancurkan fasilitas PLTN Fukushima pada 2011. Apalagi, Indonesia ada di jalur Cincin Api yang merupakan wilayah rawan gempa bumi.
Berbagai hambatan dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia selama ini adalah ketidakpastian kebijakan atau mudah berubahnya aturan, prosedur perizinan yang rumit, struktur harga energi terbarukan yang tak konsisten, serta kurangnya institusi yang kuat yang khusus menangani pengembangan energi terbarukan.
”Sejumlah negara di dunia mulai meninggalkan PLTN secara bertahap. Persentase pasokan listrik PLTN terus turun, dari 17 persen pada 1996 menjadi 10 persen pada 2018,” kata Dillon.
Dalam pembahasan RUU energi terbarukan di Komisi VII DPR pada pekan lalu, sejumlah kalangan yang tergabung dalam asosiasi pengembang energi terbarukan mengusulkan pembentukan badan pengelola energi terbarukan di Indonesia. Pembentukan badan diusulkan ditampung dalam draf RUU tentang energi terbarukan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional 2019-2024. Pembentukan badan tersebut diharapkan dapat mengakselerasi pencapaian target energi terbarukan di Indonesia.
Secara umum, pengembangan energi terbarukan di Indonesia belum terlalu optimal. Dari potensi energi terbarukan di Indonesia yang mencapai 439.000 megawatt (MW), pemanfaatannya baru sekitar 10.100 MW. Dalam bauran energi pembangkit listrik Indonesia, batubara masih sangat dominan, yakni 63,92 persen per Mei 2020. Adapun peran energi terbarukan sebesar 14,95 persen, sedangkan sisanya berupa gas bumi dan bahan bakar minyak.