Situasi pandemi di Indonesia yang belum pulih menimbulkan pesimisme masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi pandemi di Indonesia yang belum pulih menimbulkan pesimisme masyarakat terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha. Kepatuhan masyarakat dan ketegasan pemerintah dalam mengendalikan kondisi kesehatan pun diharapkan agar ekonomi membaik.
Gita Sere Hutahaean (23), lulusan tahun 2019 yang baru setahun merantau ke Jakarta, masih menganggur. Walau sempat magang di beberapa tempat setelah lulus, selama pandemi ini ia kesulitan mendapatkan pekerjaan formal yang memastikan jenjang karier tetap.
”Sudah banyak lamaran yang saya coba dan enggak terhitung. Cuma, karena pandemi, perusahaan banyak yang hanya buka lowongan, tetapi untuk merekrutnya itu enggak ada kejelasan sampai sekarang,” ujarnya saat dihubungi Kompas, Jumat (11/9/2020).
Sementara masih menunggu panggilan kerja, ia mencoba berjualan makanan dan jasa untuk tetap menghasilkan uang. Cara itu menjadi satu-satunya jalan untuk tetap bisa menghasilkan saat situasi pandemi belum bisa dikendalikan.
”Saya rasa untuk mendapatkan panggilan pekerjaan pun, dengan adanya informasi PSBB akan diulang lagi, akan semakin sulit di tahun ini. Saya yakin, sampai akhir tahun 2020 masalah mencari pekerjaan bakal sulit banget,” ujarnya.
Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 14 September 2020. Keputusan itu dibuat sebagai langkah kebijakan rem darurat untuk menekan penularan penyakit korona jenis baru atau Covid-19.
Secara nasional, penambahan kasus positif Covid-19 juga terus meningkat. Akumulasi kasus positif di Indonesia sampai Kamis (10/9/2020) total sebanyak 207.203, dengan rincian 147.510 sembuh dan 8.456 meninggal. Jumlah kasus positif kemarin naik 3.861 dibandingkan dengan sehari sebelumnya.
Emma Larantukan, general manager di salah satu hotel bandara di Bali, juga semakin khawatir dengan kegiatan usaha pariwisata yang selama ini menghidupi dirinya. Keputusan pemerintah setempat untuk tidak membuka akses bagi wisatawan mancanegara sampai akhir tahun, membuatnya pesimistis terhadap lapangan pekerjaannya.
”Belum dibukanya bandara untuk kedatangan internasional membuat tempat kerja sangat terdampak. Hotel masih buka, tetapi dengan okupansi minim. Saya pun masih diminta libur tanpa dibayar dan kerja terbatas di rumah. Setiap bulan semakin terasa sulitnya,” tuturnya.
Tidak hanya Gita dan Emma, masyarakat yang disurvei Bank Indonesia pada Agustus 2020 juga menurunkan ekspektasi mereka pada situasi ekonomi selama enam bulan ke depan. Survei mencatat, indeks ekspektasi konsumen (IEK) Agustus 2020 melemah menjadi 118,2 dari 121,7 pada Juli 2020.
Penurunan tersebut disebabkan oleh ekspektasi konsumen terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan kegiatan usaha yang cenderung terbatas. Ekspektasi konsumen terhadap kenaikan penghasilan enam bulan mendatang, misalnya, pada Agustus tercatat 124,7 atau turun dari 125,4 pada bulan sebelumnya.
Ekspektasi konsumen terhadap ekspansi kegiatan usaha juga terbatas, dengan indeks ekspektasi 115,5 atau lebih rendah dari 125,3 pada Juli 2020. Penurunan indeks terjadi pada seluruh kelompok pengeluaran dan terdalam pada responden dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, survei itu menunjukkan, masyarakat tidak terlalu optimistis dengan situasi saat ini, seiring terus meningkatnya kasus covid-19. Respons itu juga ditanggapi dengan turunnya ekspektasi masyarakat pada situasi ekonomi enam bulan mendatang.
”Pandemi masih mendera sektor perdagangan, pariwisata, jasa, dan industri. Sektor yang positif hanya telekomunikasi dan komunikasi, pendidikan, serta kesehatan. Yang lain belum membaik, sehingga ekspektasi konsumen cukup tidak menggembirakan dalam waktu enam bulan mendatang,” ujarnya.
Sementara situasi kesehatan karena pandemi semakin buruk, Tauhid menilai, penanganan ekonomi yang diberikan pemerintah belum ”menendang” dan efektif.
”Bantuan sosial, misalnya, semua dikasih, tetapi nilainya kecil. Padahal, pengeluaran meningkat karena ada uang pulsa dan kebutuhan rumah tangga tambahan. Demikian juga dengan bantuan untuk pelaku UMKM yang bisa menyelamatkan mereka dari utang, tetapi tidak cukup untuk memulihkan usaha,” katanya.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah lebih serius dan fokus menurunkan grafik pertambahan kasus positif Covid-19 dengan membuat regulasi dan koordinasi antardaerah yang baik. Masyarakat diharapkan lebih patuh menerapkan protokol kesehatan.
Menurut dia, pemerintah sudah cukup baik menyosialisasikan pentingnya penerapan protokol kesehatan. Namun, sosialisasi itu kurang efektif karena tidak mudah dipahami masyarakat kecil. Masyarakat kelas ekonomi menengah atas juga terkadang masih mengabaikan aturan protokol kesehatan.
”Bagi saya, sih, kesadaran masyarakatlah yang bisa membuat pandemi ini cepat berakhir. Kalau masyarakat enggak sadar, mau sampai dua tahun ke depan pun pandemi ini tetap ada dan keadaan Indonesia seperti ini terus,” ujarnya.