Indeks Ketahanan Pangan meningkat. Namun, di tengah pandemi Covid-19, kondisi pangan tetap mesti diwaspadai.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemandirian pangan Indonesia dinilai mengkhawatirkan, terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ada tiga hal yang menjadi penyebabnya, yakni penurunan produksi dalam negeri, pupuk subsidi yang berkurang, serta tidak ada kebijakan harga yang menyejahterakan petani.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi memaparkan, produksi beras pada Januari-Juni 2020 sebanyak 16,65 juta ton. Pada musim tanam kedua, produksi beras Juli-Desember 2020 diperkirakan 12,5 juta-15 juta ton.
”Konsumsi beras berkisar 2,4 juta-2,5 juta ton per bulan. Dengan demikian, seharusnya (stok beras) hingga akhir Desember aman dan cukup,” ujarnya saat seminar dalam jaringan yang diadakan Political and Public Policy Studies bersama Esensinews.com, Senin (7/9/2020).
Akan tetapi, data produksi tersebut menurun jika dibandingkan tahun 2019. Sepanjang semester-I 2019, Badan Pusat Statistik mendata, produksi beras mencapai 18,59 juta ton. Produksi pada semester-II 2019 sebesar 12,7 juta ton.
Sepanjang 2019, produksi beras nasional berkisar 31,3 juta ton. Angka ini lebih rendah dibandingkan produksi beras pada 2018 yang sebesar 33,94 juta ton. Dengan demikian, produksi beras telah merosot sejak 2018.
Penurunan produksi beras tersebut, menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan, patut diwaspadai. ”Kalau pandemi Covid-19 masih berlangsung hingga 2021, (penurunan produksi beras) ini membuat kita khawatir. Hal ini perlu diatasi agar tahun depan tak rawan,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Kerawanan itu kian nyata lantaran ada pemotongan anggaran Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2020. Dia memperkirakan, jumlah pemotongan itu sebesar Rp 4 triliun-Rp 5 triliun.
Pemotongan anggaran Kementerian Pertanian berimbas pada pengurangan pupuk subsidi. Dia mencontohkan Kalimantan Barat yang penerimaan pupuk subsidinya berkurang 30 persen. Pengurangan ini dapat menurunkan produktivitas hingga 20 persen.
Walaupun indeks ketahanan pangan meningkat dari 49,2 pada 2014 menjadi 62,6 pada 2019 berdasarkan Global Food Security Index, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan, Indonesia tetap mesti waspada. Kenaikan indeks ketahanan pangan itu disebabkan impor yang turut meningkat.
Dia memaparkan, gabungan volume impor beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, dan kacang tanah pada 2014 sebesar 21,95 juta ton. Angka tersebut meningkat menjadi 25,3 juta ton pada 2019.
Kenaikan indeks ketahanan pangan itu disebabkan impor yang turut meningkat.
Kebijakan harga
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian periode 2015-2016 Rizal Ramli menilai, di tengah pandemi Covid-19, realokasi anggaran mestinya difokuskan, salah satunya, pada peningkatan produksi pangan. ”Kebijakan harga yang menguntungkan petani juga penting. Harga jual yang lebih untung (dibandingkan modal) akan menjadi insentif bagi petani untuk berproduksi. Saat ini, petani tiap panen bukan untung, tetapi buntung,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Agustus 2020 sebesar Rp 4.818 per kilogram (kg). Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan atau Permendag Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah atau Beras, GKP di tingkat petani dibeli dengan nilai Rp 4.200 per kg untuk cadangan beras pemerintah.
Daniel mengusulkan, pemerintah bisa menganggarkan alokasi dana untuk menjamin pembelian 10 juta ton gabah di tingkat petani dengan harga sekitar Rp 4.500 per kg. Jaminan pembelian dan harga tersebut akan berdampak ganda bagi kegiatan perekonomian di perdesaan.