Selama pandemi Covid-19, peningkatan kesejahteraan produsen pangan, seperti peternak dan petani hortikultura, masih menjadi tantangan. Pemanfaatan digital dapat jadi salah satu solusi meningkatkan kesejahteraan mereka.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19, peningkatan kesejahteraan produsen pangan, seperti peternak dan petani hortikultura, masih menjadi tantangan. Pemanfaatan digital dapat menjadi salah satu solusi meningkatkan kesejahteraan mereka sekaligus membangun ketahanan pangan.
Data Badan Pusat Statistik yang dikutip Kompas pada Minggu (6/9/2020) menunjukkan, meski pertumbuhan ekonomi terkontraksi hingga 5,32 persen pada triwulan II-2020, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tetap tumbuh positif 2,19 persen. Kontribusi terhadap produk domestik bruto dalam periode ini pun mencapai 15,46 persen, terbesar kedua setelah industri pengolahan.
Pada Agustus 2020, secara nasional nilai tukar petani atau NTP, salah satu indikator pengukur kesejahteraan petani, naik 0,56 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya menjadi 100,65. Besaran NTP yang lebih dari 100 mengindikasikan, pendapatan petani lebih tinggi (naik 0,39 persen) dari indeks harga yang dibayarkan (turun 0,17 persen).
Namun, kenaikan NTP hanya terjadi di tiga subsektor pertanian, yaitu tanaman pangan (0,45 persen), tanaman perkebunan rakyat (2,81 persen), dan perikanan (0,31 persen). Sementara dua subsektor lainnya menurun, yaitu tanaman hortikultura (turun 1,98 persen menjadi 97,8) dan peternakan (turun 1,31 persen menjadi 98,64).
Peneliti di Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Eng Fadly Usman, menyampaikan, pada masa pandemi, petani menghadapi sejumlah masalah. Misalnya, petani sayuran yang mengalami penurunan harga beli dari sebelumnya Rp 8.000 per kilogram menjadi Rp 2.000 per kg.
”Dampak penurunan harga ke petani salah satunya membuat petani di Desa Kiarasari, Bogor, berhenti menanam (sayuran) karena harga yang terlalu rendah. Sama halnya dengan peternak ayam ras yang berhenti produksi karena harga terlalu rendah,” ujarnya.
Sebagai contoh, kata Fadly, sebelum Covid-19, ayam potong di Pasar Jombang dan Mojokerto dalam sehari terjual hingga 70 ton, kini hanya 10 ton sampai 25 ton. Harga setiap kilogram yang awalnya sekitar Rp 18.000 pun turun drastis menjadi Rp 4.000 sampai Rp 15.000.
Fadly menilai, persoalan ini tidak semata tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab semua pihak. Perlu sinergi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, media, dan komunitas yang hendak dibantu, termasuk petani, untuk menjaga ketahanan pangan di tengah pandemi.
Untuk mengatasi persoalan, pemanfaatan digital dapat menjadi salah satu solusi meningkatkan kesejahteraan petani dan membangun ketahanan pangan. Statqo Analytic mencatat, selama 6-26 Maret 2020, pengguna aktif tiga aplikasi e-dagang yang menjual berbagai produk pangan meningkat sebesar 24,89 persen.
”Agar masyarakat dan khususnya petani dapat dibantu, kini kami mencoba memaksimalkan aplikasi FreshFood ID. Layanan untuk mempertemukan antara petani dan pembeli sebab suplai makanan pokok juga merupakan perkara penting bagi masyarakat pada masa-masa sulit seperti ini,” kata Fadly.
Dengan aplikasi FreshFood ID, pengguna (konsumen) dapat membeli bahan makanan segar langsung dari petani, seperti sayuran, buah, telur, ayam, bebek, dan susu melalui ponsel pintar. Aplikasi ini juga memberikan layanan Smart Farm bagi petani agar dapat memantau lahan pertanian melalui ponsel pintar.
Layanan lainnya, yaitu memberikan supervisi kepada petani untuk jenis komoditas pertanian apa saja yang bisa memberikan hasil terbaik, kepastian pasar, dan asuransi lahan pertanian. ”Kami harap, dengan peran digital, produk petani dapat dihargai setinggi-tingginya, tetapi konsumen tetap merasa harga yang ditawarkan masih murah,” ucap Fadly.
Peningkatan kerja sama
Sementara itu, Menteri Pertanian Syahrul Yassin Limpo dalam Konferensi Regional Asia Pasifik (APRC) Food and Agriculture Organization (FAO) Ke-35 pada Kamis (3/9/2020) menyampaikan, perlu ada penguatan kolaborasi dan dukungan terhadap FAO inisiatif ”hand in hand”. Inisiatif yang berfokus pada peningkatan kerja sama dan dukungan terhadap potensi daerah tertinggal dan kelompok penduduk rentan.
”Melalui Kerja Sama Selatan-Selatan dan Kerja Sama Triangular, Indonesia siap untuk berbagi pengalaman dengan setiap negara di kawasan bersama-sama untuk berkontribusi dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG),” ujarnya.
Syahrul menyoroti, terlepas dari kemunduran global dalam pencapaian SDG, peringkat ketahanan pangan Indonesia dalam indeks keamanan global meningkat dari peringkat ke-74 pada 2015 menjadi peringkat ke-62 pada 2019. Prevalensi tengkes (stunting) pun menurun dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019.
Menurut dia, guna meningkatkan ketahanan pangan dan menurunkan angka tengkes, Indonesia menaruh prioritas pada empat langkah dalam situasi kenormalan baru. Prioritas ini menyoroti upaya negara untuk memperkuat ketahanan pangan dan sistem pangan dalam pandemi.
”Untuk menopang ketersediaan pangan bagi semua pada era normal baru, kami telah mengembangkan seperangkat kebijakan yang disebut ’4 Cara Bertindak’. Empat prioritas tersebut adalah peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, serta pengembangan pertanian modern,” ujar Syahrul.
Dalam pertemuan secara virtual tersebut, Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu dalam pidatonya dari Roma menyampaikan, dampak negatif terkait dengan pandemi telah dirasakan di semua sistem pangan. Terlebih, wilayah Asia-Pasifik adalah rumah bagi lebih dari separuh penduduk dunia yang mengalami kekurangan gizi atau malnutrisi.
”Tindakan untuk mengendalikan wabah virus mengganggu rantai pasokan pangan global. Pembatasan pergerakan di perbatasan dan penguncian menghancurkan mata pencarian dan menghambat transportasi pangan bagi penduduk,” katanya.
Akibatnya, pemborosan pangan meningkat karena petani harus membuang bahan pangan yang mudah rusak, sementara banyak orang di pusat kota yang berjuang untuk mengakses makanan segar. Untuk itu, petani kecil dan keluarganya, pekerja pangan di semua sektor, dan mereka yang hidup di ekonomi yang bergantung pada komoditas dan pariwisata sangat rentan.
”Mereka sangat membutuhkan perhatian kita semua. Kita perlu mengkaji kembali sistem pangan dan rantai nilai pangan, harus lebih memanfaatkan inovasi dan teknologi pertanian yang ada, dan mempertimbangkan teknologi terbaru,” kata Dongyu.
Menghadapi pandemi, FAO telah meluncurkan Program Respons dan Pemulihan Covid-19 FAO. Program ini memungkinkan donor untuk memanfaatkan kekuatan organisasi, data terkini, sistem peringatan dini, dan keahlian teknis untuk mengarahkan dukungan di daerah mana dan kapan paling dibutuhkan.
Data World Food Program, secara global hingga akhir 2019, lebih dari 135 juta orang di 55 negara dan wilayah menghadapi krisis pangan, malnutrisi, dan kehilangan mata pencarian. Terlebih dengan ada pandemi Covid-19, hingga akhir 2020, diperkirakan akan ada lebih dari seperempat miliar orang di seluruh dunia yang menderita kelaparan akut.