Saatnya Mengerem Kebijakan Kontradiktif
Pemerintah jangan memaksakan membuka aktivitas ekonomi yang berpotensi mendorong lonjakan kasus Covid-19. Kini saatnya menginjak rem.
JAKARTA, KOMPAS — Strategi gas dan rem pemerintah dalam menangani pandemi sejauh ini tidak membawa Indonesia bergerak ke mana-mana. Kini saatnya pemerintah menginjak rem kebijakan ekonomi yang tidak efektif dan tancap gas menangani aspek kesehatan secara optimal demi pemulihan ekonomi yang berkesinambungan.
Sejak pertama kali digaungkan sebulan lalu, kebijakan ”gas dan rem” antara penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi cenderung kontradiktif. Kebijakan itu seolah menekan gas dan rem secara bersamaan, mobil meraung tetapi tidak jalan juga. Memasuki bulan keenam Covid-19, kesehatan masyarakat kian memburuk, sementara ekonomi tak kunjung pulih.
Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, Kamis (3/9/2020), mengatakan, pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak 4 Juni 2020 yang diharapkan bisa mendorong ekonomi terbukti tidak berdampak efektif. Pembukaan sejumlah sektor usaha memang sekilas meningkatkan aktivitas ekonomi, tetapi sifatnya subsisten dan stagnan.
”Kenapa bisa begitu? Pertama, orang-orang masih khawatir dengan masalah kesehatan. Kedua, kalaupun tidak khawatir, daya beli masyarakat tetap menurun sehingga permintaan tidak ada. Perekonomian tidak akan bisa berfungsi penuh karena masih adanya faktor-faktor itu,” kata Rizal saat dihubungi di Jakarta.
Kelompok menengah ke atas yang daya belinya tinggi memilih menabung karena khawatir dengan masalah kesehatan yang tidak kunjung teratasi. Sementara, kelompok menengah ke bawah menghadapi pukulan ganda karena daya belinya ikut menurun terimbas dampak pandemi terhadap ekonomi.
Oleh karena itu, ujar Rizal, kunci utama saat ini adalah mengontrol penanganan Covid-19 agar bisa memulihkan ekonomi secara efektif dan berkelanjutan. Namun, setelah PSBB dilonggarkan Juni lalu, pergerakan manusia semakin tinggi, kedisiplinan menegakkan protokol kesehatan semakin tidak terkontrol, dan kasus terus meningkat.
Kunci utama saat ini adalah mengontrol penanganan Covid-19 untuk bisa memulihkan ekonomi secara efektif dan berkelanjutan.
Berdasarkan data Matriks Keadaan Ekonomi dan Kesehatan yang dibuat CSIS, sejak PSBB dilonggarkan pada 4 Juni 2020, pergerakan aktivitas ekonomi harian menunjukkan tren meningkat. Sementara, situasi kesehatan cenderung tidak menunjukkan perbaikan signifikan.
Indikasi itu didapat dari data pergerakan orang yang bersumber dari Google Mobility Index dan Facebook Range Map yang menunjukkan pola pergerakan manusia dan indikasi geliat ekonomi. Asumsinya, semakin tinggi mobilitas orang, semakin tinggi pula aktivitas ekonomi.
Sementara, indikator kesehatan diukur berdasarkan tingkat penyebaran, pertumbuhan penyebaran, dan jumlah kasus aktif Covid-19 di 34 provinsi di Indonesia.
Pada pekan terakhir Agustus, pergerakan orang semakin tinggi. Pada kurun 20-30 Agustus 2020, indeks pergerakan orang di DKI Jakarta dan Jawa Timur (Jatim) meningkat 0,03 hingga 0,04 poin hanya dalam 10 hari.
Pergerakan itu meningkatkan aktivitas ekonomi, tetapi berdampak buruk pada situasi kesehatan. Di DKI Jakarta dan Jatim, seiring dengan naiknya mobilitas orang, indeks intensitas Covid-19 juga tercatat stagnan atau meningkat, menunjukkan kondisi kesehatan yang tidak membaik, bahkan semakin buruk.
Tidak hanya di DKI Jakarta dan Jatim, mayoritas provinsi di Indonesia, seperti Bali, Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, juga menunjukkan peningkatan aktivitas ekonomi, tetapi penurunan di aspek kesehatan. Indeks intensitas Covid-19 di mayoritas provinsi cenderung meningkat seiring dengan indeks pergerakan orang yang meningkat.
Libur panjang akhir pekan pada 20-23 Agustus 2020 tercatat memicu peningkatan pergerakan orang serta mendorong lonjakan kasus pada 28-29 Agustus 2020. Pada dua hari itu, mengacu pada data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, peningkatan kasus Covid-19 menembus angka 3.000 kasus per hari secara berturut-turut.
Baca juga: Tekan Rem, Kendurkan Gas
Memilah sektor
Menurut Rizal, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk mengutamakan kesehatan, tidak sekadar menjadikannya jargon belaka. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbanyak tes, pelacakan, dan isolasi untuk memisahkan antara kelompok masyarakat yang sakit dan sehat.
Jika langkah ini dilakukan, kebijakan membuka lagi aktivitas ekonomi tidak akan kontradiktif dengan penanganan kesehatan. ”Yang sehat bisa beraktivitas agar ekonomi tidak anjlok, yang sakit diidentifikasi lalu ditangani lewat pengobatan dan isolasi. Ini seharusnya dioptimalkan saat periode PSBB sebelum kita membuka ekonomi, tetapi sayangnya tidak dimanfaatkan dengan baik,” katanya.
Hal kedua, lanjut Rizal, mengambil langkah tegas terhadap pembukaan sektor-sektor usaha yang berisiko tinggi. Contohnya, sektor pariwisata dan hiburan (leisure) yang berisiko tinggi karena melibatkan konsentrasi jumlah orang yang cukup banyak dalam jumlah tertutup, aktivitas yang sulit diterapkan protokol kesehatan, serta durasi aktivitas yang cukup panjang di ruangan yang sama.
Sektor pariwisata dan hiburan (leisure) yang berisiko tinggi karena melibatkan konsentrasi jumlah orang yang cukup banyak dalam jumlah tertutup, aktivitas yang sulit diterapkan protokol kesehatan, serta durasi aktivitas yang cukup panjang di ruangan yang sama.
Akhir-akhir ini, pemerintah berencana membuka kembali bioskop, pusat kebugaran, serta beberapa tempat wisata untuk menggerakkan ekonomi. Namun, Rizal menilai langkah itu terlalu berisiko. Apalagi dalam kondisi sekarang di mana masih banyak orang terinfeksi yang belum teridentifikasi.
Langkah membuka kembali ekonomi itu baru aman dilakukan setelah pengetesan dan pelacakan Covid-19 sudah maksimal. Di Wuhan, China, 11 juta orang penduduk sudah berhasil dites dalam waktu singkat sehingga aktivitas ekonomi dan sosial bisa kembali dimulai tanpa perlu khawatir memicu penularan virus.
”Jadi, kalau memang mau menyelamatkan ekonomi, langkah pengetesan, pelacakan, dan isolasi tetap harus jadi kunci utama,” ujarnya.
Menurut Rizal, pembukaan kembali sejumlah sektor yang berisiko tinggi tidak sebanding dengan dampak ekonomi yang dihasilkan. Selama permintaan masih rendah, langkah membuka ekonomi tetap tidak akan berkesinambungan.
”Mungkin bisa membantu penyerapan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi. Namun, selama permintaan masih rendah karena orang masih takut, ini tidak akan efektif,” katanya.
Baca juga: Kasus Melonjak, Pengelola Mal Cemas dan Industri Perlu Lindungi Pekerja
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo DP Irhamna mengatakan, pembukaan aktivitas ekonomi yang justru berpotensi meningkatkan kasus Covid-19 jangan dipaksakan. Pemerintah dapat menggeliatkan kembali sektor pariwisata, tetapi jangan menjadikannya sebagai prioritas.
Indonesia dapat berkaca kepada Thailand yang dianggap sebagai negara paling aman untuk pariwisata di tengah pandemi. ”Thailand memutuskan tidak membuka pariwisata bagi wisatawan mancanegara dalam waktu dekat. Sektor pariwisata mungkin kembali menggeliat pada triwulan II-2021 di Thailand,” katanya.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri berpendapat, salah satu sektor yang perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah adalah manufaktur. Sumbangan sektor manufaktur terhadap penerimaan pajak mencapai 29 persen dan produk domestik bruto 19,9 persen. Penurunan sektor manufaktur akan berdampak signifikan bagi perekonomian RI.
”Jika pemerintah ingin pulihkan ekonomi, sektor manufaktur perlu diprioritaskan, tetapi dilihat lagi subsektor yang mana. Prioritas ini yang tidak terlihat dalam penahapan pelonggaran ekonomi,” kata Faisal dalam seminar daring bertajuk ”Jalan Terjal Penerimaan Negara” di Jakarta, Kamis.
Menurut Faisal, krisis saat ini bersumber dari kesehatan bukan sektor keuangan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengendalikan penyebaran Covid-19 terlebih dahulu untuk menjaga kesinambungan sektor riil. Strategi kebijakan kesehatan dan intervensi sosial harus berbasis data bukan keinginan pemerintah.
”Kebijakan harus berdasarkan data bukan sistem gas-rem. Ekonomi dapat dipulihkan, tetapi nyawa manusia tidak bisa dihidupkan kembali,” katanya.
Baca juga: Bersiap yang Terburuk, Berharap Terbaik
Strategi kebijakan kesehatan dan intervensi sosial harus berbasis data bukan keinginan pemerintah.
Wewenang daerah
Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Erick Thohir membantah anggapan bahwa pemerintah selama ini cenderung memprioritaskan ekonomi dibandingkan penanganan kesehatan.
”Kami sangat serius menangani kesehatan, memang vaksin menjadi salah satu prioritas. Tetapi, vaksin ini juga ada limitasinya. Bukan berarti setelah divaksin, akan sehat selamanya. Maka, tetap protokol Covid-19 harus dijalankan,” katanya.
Saat ditanyakan apakah pemerintah berencana mengetatkan lagi PSBB menyusul jumlah kasus yang meningkat, Erick mengatakan, penanganan Covid-19 bukan hanya urusan pemerintah, melainkan upaya bersama. Pabrik dan perkantoran yang lengah menerapkan protokol dan menjadi kluster penularan virus akan ditutup. Namun, pola kebiasaan masyarakat juga harus berubah.
”Perusahaan juga harus membantu kedisiplinan ini, tidak bisa tergantung pemerintah. Kami sudah memberi fasilitas luar biasa dan mengampanyekan protokol kesehatan. Tetapi, kalau pemilik pabrik tidak sayang pada karyawannya, hanya demi income, konsekuensinya harus dipertimbangkan. Bukan tidak mungkin pabriknya ditutup,” kata Erick.
Baca juga: Covid-19 Meningkat, Pelaku Usaha Akui Ekonomi Sulit Pulih
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang cukup signifikan beberapa pekan terakhir ini mulai mengkhawatirkan. Di tengah kondisi itu, keputusan pembukaan aktivitas ekonomi harus dilakukan dengan hati-hati melalui upaya prakondisi berupa kajian dan simulasi sebelum membuka beberapa pusat ekonomi.
Seperti sekarang terjadi di beberapa tempat, pemerintah daerah harus segera mengetatkan kembali pembatasan sosial. Bisa saja dengan menutup kembali aktivitas sosial ekonomi yang menurut data berkontribusi terhadap peningkatan kasus.
Pemerintah daerah memiliki kewenangan menentukan arah kebijakan di wilayahnya masing-masing. Jika ada daerah yang kasusnya terus meningkat, pengetatan pembatasan sosial harus kembali diterapkan agar kasus segera terkendali.
”Seperti sekarang terjadi di beberapa tempat, pemerintah daerah harus segera mengetatkan kembali pembatasan sosial. Bisa saja dengan menutup kembali aktivitas sosial ekonomi yang menurut data berkontribusi terhadap peningkatan kasus,” katanya. (KARINA ISNA IRAWAN/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO)