Bersiap yang Terburuk, Berharap Terbaik
Enam bulan terakhir menjadi waktu yang berat karena nyaris tiap hari kita mendengar tetangga, kenalan, atau kerabat tertular dan meninggal karena Covid-19. Namun, yang terburuk bisa terjadi karena kita di tengah pandemi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang juga ketua Komite Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto (dua kiri) disaksikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sekaligus Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo (kanan) meresmikan Kampanye Nasional Jangan Kendor Disiplin Pakai Masker di Stadion GBK, Senayan, Jakarta, Minggu (30/8/2020).
Pandemi Covid-19 telah memicu krisis multidimensi. Namun, jangan melupakan: tidak ada ekonomi tanpa orang, tidak ada pemulihan ekonomi tanpa pengendalian wabah.
Enam bulan terakhir menjadi waktu yang berat karena nyaris tiap hari kita mendengar tetangga, kenalan, atau kerabat tertular dan meninggal karena Covid-19. Namun, yang terburuk masih bisa terjadi karena kita di tengah pandemi yang belum berakhir dalam waktu dekat.
Sejak kasus pertama Covid-19 dideteksi di Indonesia awal Maret 2020, penularannya makin cepat. Butuh hampir tiga bulan dari dua kasus pertama menjadi 50.000 kasus. Namun, untuk berlipat menjadi 100.000 kasus hanya butuh satu bulan dan menjadi 150.000 kasus dalam 25 hari.
Tingginya penularan terlihat dengan tren meningkatnya rasio kasus positif (positivity rate), yaitu perbandingan antara jumlah pemeriksaan dan kasus Covid-19 yang ditemukan. Sepekan terakhir, rasio positif 14,8 persen, jauh di atas ambang aman 5 persen yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, pada Selasa (1/9/2020), dari 15.293 orang yang diperiksa, 2.775 orang positif sehingga rasionya 18 persen.
Baca juga: Masih Santai di Saat Kurva Belum Melandai

Wijdan, siswa kelas 4 SD, mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan internet gratis dari swadaya masyarakat yang dikelola Karang Taruna Unit 07 di kawasan permukiman padat Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (28/8/2020).
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan, banyak tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengatasi pandemi ini. ”Usaha pengendalian Covid-19 sampai saat ini masih dihadapkan dengan banyak tantangan, seperti penambahan kasus, jumlah testing yang harus ditingkatkan, kualitas penanganan kesehatan juga harus ditingkatkan,” katanya.
”Perjuangan kita untuk mengendalikan kasus ini. Kita harus bahu-membahu,” kata Wiku dalam keterangan secara virtual dari Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.
Di bawah standar
Menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, dalam mengatasi Covid-19, pemeriksaan ibarat jaring, ikannya adalah virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) pemicu Covid-19 dan warga sebagai lautannya. ”Jika dengan jaring kecil dan melemparnya asal-asalan dapat banyak ikan, artinya di laut banyak ikan. Virusnya di mana-mana,” ujarnya.
Sesuai standar WHO, minimal 1 orang per 1.000 penduduk diperiksa per minggu. Artinya, minimal diperiksa 38.000 orang per hari. Padahal, dari periode 24-30 Agustus 2020, hanya diperiksa 125.434 orang, bahkan pada 17-23 Agustus lalu hanya 95.463 orang yang diperiksa. Jumlah ini belum separuh dari syarat minimal.
Bandingkan dengan India yang memeriksa 1 juta orang per hari dan 4,34 tes per 1.000 penduduk per minggu. Filipina sudah melakukan 2 tes per 1.000 penduduk per minggu, Malaysia, Thailand, dan Singapura lebih baik lagi. Menurut pemeringkatan di worldometers.info, jumlah tes per 1 juta populasi Indonesia berada di urutan ke-161 dari 215 negara.
Baca juga: Anomali Terjadi Justru Saat Penambahan Kasus Makin Tinggi

Tenaga medis memasukkan sampel tes dengan metode reaksi rantai polimerasi (polymerase chain reaction/PCR) atau tes usap di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (12/8/2020). Sebanyak 150 wartawan mengikuti tes usap yang diselenggarakan Pemprov DKI Jakarta dan Dewan Pers.
Sebaran pemeriksaan pun timpang. Sebanyak 47 persen pemeriksaan dilakukan di Jakarta, yang memiliki hanya 4 persen populasi Indonesia.
Masalah lain, surveilans untuk menemukan kasus lemah. Sebanyak 62 persen kasus baru di Jakarta diidentifikasi setelah pasien sakit dan ke rumah sakit, 34 persen dari penelusuran kontak, dan hanya 4 persen dari upaya mencari kasus baru.
Dengan minimnya tes dan lemahnya surveilans, jumlah kasus dan kematian Covid-19 di Indonesia serupa fenomena puncak gunung es. Berdasarkan data Rumah Sakit Online, jumlah orang meninggal di seluruh jaringan rumah sakit Indonesia dengan status terduga ataupun positif Covid-19 mencapai 21.570 orang, Selasa. Jumlah ini tiga kali lebih banyak dibandingkan yang meninggal dengan status positif yang diumumkan.
Menekan pemeriksaan
Kini, Indonesia terengah dengan pemeriksaan karena laju penularan melebihi kecepatan menyiapkan laboratorium dan peralatan, penambahan tenaga, sistem kerja, serta pelaporannya. Minimnya tes di Indonesia diperumit tarikan kepentingan ekonomi-politik.
Baca juga: Pandemi: Dari Kesehatan, Ekonomi, hingga Politik

Tenaga medis dalam pemeriksaan spesimen virus korona di laboratorium kontainer Covid-19 di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/6/2020).
Tes cepat berbasis antibodi dipaksakan menjadi alat diagnosis, dari syarat perjalanan hingga masuk kerja. Selain memperlambat penemuan kasus, hal itu kerap menimbulkan masalah sosial karena hasilnya bisa positif atau negatif palsu.
Di sisi lain, banyak daerah diduga menekan pemeriksaan karena kepentingan politik menjelang pemilihan kepala daerah. ”Banyak dokter di daerah melaporkan ini karena beranggapan kalau minim kasusnya sebagai prestasi,” kata Ketua Terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi.
Dengan sistem zonasi sebagai syarat pembukaan aktivitas ekonomi hingga pendidikan, banyak daerah berlomba jadi zona hijau, termasuk meminimalkan tes. Tiadanya indikator kecukupan tes membuat zonasi jadi jebakan rasa aman palsu.
Tiadanya indikator kecukupan tes membuat zonasi jadi jebakan rasa aman palsu.
Anggota Tim Pakar Kesehatan Masyarakat Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Dewi Nur Aisyah, mengatakan, pemerintah pada September akan mengubah bobot indikator. Daerah harus memasukkan indikator kecukupan tes dalam penentuan zona.
Baca juga: Belum Ada Kader Penanganan Covid-19 di Zona Merah

Mobil laboratorium PCR bantuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tiba di RSUD Sidoarjo untuk melakukan tes swab di Jawa Timur, Kamis (28/5/2020).
Evaluasi kebijakan
Memperhatikan tren saat ini, dikhawatirkan kasus di Indonesia akan membesar. Belajar dari kegagalan Amerika Serikat dan Italia, pencegahan adalah cara terbaik melawan Covid-19. Sekuat apa pun sistem kesehatan, bisa babak belur jika laju penularan penyakit itu tidak dikendalikan.
Tempat tidur dan ruang isolasi bisa ditambah, seperti di Jakarta, Surabaya, dan kota lain. Namun, bagaimana dengan ketersediaan tenaga kesehatan?
Baca juga: Jam Kerja Tenaga Kesehatan Perlu Diperketat
Berdasarkan data IDI, hingga akhir Agustus 2020, dokter yang meninggal di Indonesia karena Covid-19 lebih dari 102 orang, dokter gigi 9 orang, dan perawat 68 orang dengan rasio kematian dibandingkan masyarakat biasa 2,4 persen. Di AS, misalnya, rasio tenaga medis yang meninggal 0,37 persen. ”Kami kelelahan dan kewalahan. Jika wabah membesar, akan amat berat,” ujar Adib.
Kehilangan tenaga medis jadi pukulan besar mengingat jumlahnya terbatas. Bank Dunia (2017-2020) mencatat, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Kehilangan 100 dokter berarti mengurangi layanan kesehatan kepada 250.000 penduduk.
Kehilangan tenaga medis jadi pukulan besar mengingat jumlahnya terbatas.
Secara statistik, penanganan pandemi ini tidak menggembirakan. Belum lagi ada ancaman krisis ekonomi.

Presiden Joko Widodo resmi meluncurkan program stimulus ekonomi berupa Bantuan Subsidi Upah bagi para pekerja yang terdampak pandemi Covid-19. Peluncuran program tersebut digelar di Istana Negara, Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Guna lebih mengefektifkan penanganan Covid-19 dan dampaknya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 diubah menjadi Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Komite ini dibentuk untuk menyeimbangkan penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi.
Presiden Joko Widodo pun meminta agar upaya pendorong pemulihan ekonomi dan mengerem laju penyebaran Covid-19 dilakukan secara seimbang. ”Sampai vaksinasi bisa dilakukan besar-besaran, saya juga meminta para gubernur untuk mainkan gas dan rem seimbang seusai data yang dimiliki,” kata Presiden, kemarin, di Istana Kepresidenan di Bogor.
Baca juga: Tekan Rem, Kendurkan Gas
Namun, porsi anggaran cenderung berat ke ekonomi. Anggaran pemulihan ekonomi Rp 297 triliun, di luar untuk perlindungan sosial dan belanja sektoral kementerian lembaga dan pemerintah daerah, sementara penanganan wabah Rp 87,5 triliun. Hingga pertengahan Agustus, serapan anggaran kesehatan pun baru 13,8 persen.
Angka-angka ini menguatkan kekhawatiran publik bahwa pemerintah belum fokus mengendalikan wabah. Padahal, tanpa mengatasi aspek kesehatan, ekonomi tidak bisa dipulihkan.

Spanduk bergambar Presiden Joko Widodo yang mengajak masyarakat memakai masker terpasang di Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (27/8/2020).
Melewati krisis
Meski kini, dengan penambahan kasus dan kematian, pemerintah didorong lebih banyak menginjak rem, itu berarti kita tak hanya bisa menyandarkan harapan kepada ketersediaan vaksin atau obat.
Seperti diingatkan WHO, tak ada ”peluru perak” untuk SARS-CoV-2. ”Uji coba fase ketiga tidak berarti vaksin siap mengakhiri pandemi,” kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kesehatan Darurat WHO.
Dengan belum ditemukannya vaksin dan obat Covid-19, upaya terbaik adalah memperkuat pengendalian wabah melalui deteksi, isolasi, dan perawatan. Pembatasan sosial pun mesti diperketat dan warga mengubah perilaku kesehatan.
Presiden Jokowi pun memiliki modal kuat melewati krisis ini karena dukungan publik tinggi. Survei Litbang Kompas Agustus 2020 menunjukkan, kepuasan publik pada kinerja pemerintah 58,9 persen dan 41,6 persen optimis bisa melalui krisis. Mereka yang optimis kebanyakan dari kelas menengah bawah berpendidikan lebih rendah. Sebaliknya, kalangan atas, termasuk pengusaha, pesimistis.
Virus ini tidak memilih orang optimis ataupun pesimis. Mereka yang ”terpaksa” optimis karena harus bekerja di luar rumah lebih berisiko terpapar. Wabah akan membesar seiring tingginya mobilitas orang yang tak mematuhi protokol kesehatan. (NTA/TAN/LAS)