Tergiur keuntungan, nelayan pembudidaya lobster di Sultra mulai ikut mencari benur. Harga lobster yang anjok turut menjadi faktor nelayan beralih. Sektor budidaya pun terancam ditinggalkan jika tak ada solusi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KONAWE, KOMPAS — Nelayan pembudidaya lobster di Sulawesi Tenggara mulai tergiur keuntungan menjual benih bening atau benur lobster. Harga benur mutiara mencapai Rp 17.000 per ekor di tingkat nelayan. Sektor budidaya pun terancam ditinggalkan seiring mudahnya penangkapan benur.
Di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, sejumlah kelompok nelayan penangkap benur lobster telah terbentuk. Nelayan yang sebagian besar adalah pembudidaya lobster ini memiliki sertifikasi untuk penangkapan benur yang difasilitasi perusahaan pengekspor yang telah mendapat izin Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sri Bintang (25), salah seorang anggota kelompok, menyampaikan, kurang dari dua bulan terakhir ia telah empat kali mengirimkan benur ke koperasi yang mewadahi nelayan. Satu kali pengiriman, ia paling banyak mendapatkan 1.000 benur. Per ekor benur lobster mutiara dihargai Rp 12.000 hingga paling tinggi Rp 17.000, jauh dari harga tahun lalu yang hanya Rp 5.000 per ekor.
”Selain kumpulkan sendiri, saya juga bina nelayan lokal. Lumayan pendapatannya selama empat kali pengiriman ini. Modalnya juga tidak begitu besar jika dibandingkan dengan budidaya lobster,” kata Bintang, di Soropia, Jumat (4/9/2020).
Bintang melanjutkan, dirinya mencari benur di wilayah Konawe, Konawe Selatan, hingga Konawe Utara. Benur yang didapatkan dikemas, lalu ditaruh di penampungan sementara. Setelah dikumpulkan, benur dikirim ke koperasi untuk dijual. Koperasi nanti yang akan membawa ke perwakilan perusahaan yang telah ada di Kendari.
Mencari benur Bintang lakukan karena mudah, murah, dan besarnya pendapatan. Terlebih lagi, kondisi lobster budidaya di kerambanya tidak cukup baik. Dari 30 kilogram bibit yang ia budidayakan tahun ini, hanya tersisa belasan ekor. Sebagian besar lobster mati karena penyakit. ”Tahun lalu juga untung sangat tipis. Karena itu, kami sebenarnya masih trauma untuk budidaya. Apalagi harga lobster sekarang anjlok,” ucapnya.
Bibit lobster tahun ini berada pada kisaran Rp 550.000 per kg. Budidaya membutuhkan biaya pakan dan operasional yang lumayan besar sebelum panen selama lebih kurang enam bulan.
Meski demikian, tutur Bintang, untuk saat ini dirinya tetap tidak akan meninggalkan budidaya lobster. Sebab, mencari benur merupakan pendapatan harian, sementara budidaya adalah proyeksi jangka panjang. Ia mewarisi budidaya lobster dari ayahnya yang telah menjadi nelayan belasan tahun.
Rizal, nelayan lainnya, mengungkapkan, ia kini malah tengah beralih dari nelayan budidaya menjadi nelayan pencari lobster. Selama ini, hasil budidaya hampir tidak pernah berhasil karena diserang penyakit dan polusi dari pembangunan. ”Di sekitar tempat tinggal memang ada pembangunan jalan. Itu keramba penuh lumpur. Dari 13 kilogram bibit, hanya tersisa kurang dari 10 ekor sekarang,” tutur Rizal.
Sejauh ini, tutur Rizal, ia mulai melakukan pencarian dan penangkapan benur. Selain itu, ia telah melakukan pembinaan sejumlah nelayan kecil yang biasa mencari benur untuk bekerja sama. Itu karena melihat rekan-rekannya, pendapatan dari penjualan benur sangat menggiurkan.
Meski demikian, ia juga merasa galau dengan mencari benur sebab sedari dulu keluarganya adalah nelayan budidaya lobster. Jika benur terus ditangkap, bibit lobster pasti akan kurang.
”Tapi, mau bagaimana lagi karena harga lobster budidaya anjlok, belum penyakitnya. Ini benur seperti ada di depan mata, tinggal ditangkap sudah jadi uang. Sekarang ada puluhan perusahaan eksportir benur yang sudah masuk ke Sultra ini. Nelayan penangkap benur tinggal pilih yang mana,” kata Rizal.
Ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan permen itu, pengeluaran benih bening lobster (Puerulus) dari wilayah RI mensyaratkan eksportir benih berhasil melaksanakan pembudidayaan lobster di dalam negeri.
Pembudidayaan itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya setempat berdasarkan rekomendasi pemerintah. Benih diperoleh dari nelayan kecil yang terdaftar. Sebelumnya, saat Susi Pudjiastuti menjadi Menteri KP periode lalu, ekspor benih bening lobster (bbl) dilarang.
Data KKP, hingga awal Agustus lalu, jumlah benih lobster yang sudah diekspor mencapai 3.180.000 ekor. Ekspor benih lobster diklaim memberikan stimulus ekonomi bagi nelayan sekaligus menghasilkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nilai PNBP dari ekspor 3,18 juta benih lobster disebut hampir mencapai Rp 8 miliar.
Kalau begini terus, sampai akhir tahun bisa-bisa kami yang berharap untung malah rugi.
Bahar (47), Ketua Kelompok Bintang Fajar, kelompok pembudidaya lobster di Konawe, menyampaikan, ia khawatir maraknya penjualan benur membuat harga lobster semakin anjlok. Hal ini bisa membuat nelayan pembudidaya semakin terpuruk.
Harga pasaran lobster mutiara saat ini berada di angka maksimal Rp 500.000 per kilogram. Harga itu rata untuk lobster tipe super maupun tipe biasa. Padahal, tahun sebelumnya, harga 1 kilogram lobster super mencapai Rp 700.000, untuk jenis lobster mutiara. Selain ekspor benur, pandemi Covid-19 juga menjadi faktor utama anjloknya harga lobster di pasar dalam negeri.
”Untuk saat, ini harga lobster rata di Rp 500.000 per kg. Kalau begini terus, sampai akhir tahun, bisa-bisa kami yang berharap untung malah rugi,” ucap Bahar, pekan lalu. Kelompok Bintang Fajar beranggotakan sebelas nelayan pembudidaya di Soropia, Konawe.
Menurut Bahar, ia bingung dengan kebijakan pemerintah yang mendahulukan ekspor benur daripada memajukan budidaya. Padahal, budidaya meningkatkan daya jual dan membuat harga lobster dalam negeri ikut terdongkrak. ”Kalau begini, sama halnya kita hanya dimatikan (karena ekspor benur),” kata Bahar.
La Ode Aslan, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Halu Oleo, Kendari, menjabarkan, situasi saat ini memang serba salah bagi nelayan budidaya. Harga lobster anjlok, sementara peluang benur di depan mata.
Jika berlangsung terus-menerus, tutur Aslan, budidaya lobster bukan tidak mungkin akan ditinggalkan. Itu karena nelayan berpikir akan lebih mudah dan lebih murah menjadi pencari benur dibandingkan membudidayakan lobster yang lama dan memerlukan modal besar.
”Pemerintah harus memikirkan pasar lobster budidaya agar nelayan tidak semakin terpuruk. Selain itu, syarat perusahaan untuk melakukan ekspor betul-betul diperketat, salah satunya adalah kewajiban budidaya. Jika tidak begitu, arahnya budidaya akan ditinggalkan,” ucapnya.