Daripada membangun toko daring, pelaku usaha didorong lebih memanfaatkan media sosial dan platform e-dagang. Sebab, dalam mengawali usaha, yang terpenting adalah mengenalkan produk dan membangun reputasi.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dorongan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk go digital terus diupayakan agar dapat mempertahankan usaha di tengah pandemi Covid-19. Berjualan secara dalam jaringan, terutama bagi yang baru memulai, dapat diawali dari media sosial dan perdagangan elektronik.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) mencatat, ekonomi digital Indonesia diperkirakan akan mencapai 130 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.929,34 triliun pada 2025. Pada 2019, angkanya sudah mencapai 40 miliar dollar AS dengan rata-rata proyeksi pertumbuhan 49 persen per tahun.
Terlebih selama pandemi Covid-19, penjualan melalui perdagangan elektronik (e-dagang) meningkat hingga 26 persen dengan volume transaksi harian mencapai 3,1 juta transaksi. Sepanjang 14 Mei-15 Juli 2020, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masuk digital mencapai 1,07 juta unit usaha.
Chief Marketing Officer NUEFA Digital Campus Masrizal Umar menyampaikan, pelaku usaha yang baru akan masuk ke pasar digital lebih baik memanfaatkan media sosial dan platform e-dagang dibandingkan dengan membangun toko daring. Strategi ini dilakukan untuk memperkenalkan produk dan membangun reputasi.
”Kalau kita bangun toko online, butuh waktu, biaya, dan trafik pengunjung relatif rendah. Berbeda dengan media sosial dan e-dagang yang sudah siap digunakan, biaya lebih rendah, dan pengunjung sudah banyak, maka bagi pemula, lebih baik mengawali dari kedua platform ini,” ujar Masrizal, Kamis (3/9/2020).
Paparan ini dibahas dalam webinar ”Membaca Tren Makanan Minuman, Consumer Insight dan Strategi Digital Marketing” seri ke-2. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain, Direktur Utama PT Bintang Raya Pangan Lestari (Restoran Bebek Dower) Doni Tritana, Manajer Rantai Pasok PT Yummy Food Utama Muhammad Chaerul Imam, dan Managing Director Qasa Strategic Consulting Joko Wiyono.
Berjualan secara daring, kata Masrizal, pelaku usaha harus konsisten untuk mempromosikan produk di berbagai platform daring secara rutin dan berkala. Sifat persisten pun menjadi penting untuk tetap gigih membangun usaha karena usaha daring tidak dapat dilakukan instan.
”Idealnya pelaku usaha memanfaatkan semua media sosial yang ada dan memasukkan produknya ke berbagai platform e-dagang. Bisa juga dengan melakukan strategi re-seller agar jangkauan distribusi dan pasar semakin luas,” ujar Masrizal.
Dorongan untuk berjualan secara daring dirasakan langsung oleh usaha Restoran Bebek Dower yang terdampak pandemi. Doni Triatana selaku pemilik restoran mengatakan, sejak dibangun pada 2011, penjualan hanya berfokus di gerai-gerai yang dibuka di pusat keramaian.
Akibat Covid-19, penjualan menurun hingga 90 persen, bahkan sempat tutup akibat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Bandung. Saat itu, dari 24 gerai yang dimiliki, hanya 2 gerai di tempat istirahat jalan tol yang masih bertahan buka.
”Kami memang awalnya enggak berusaha untuk mengembangkan online, paling hanya 5 persen penjualan online yang dilakukan dari total usaha. Begitu Covid-19, sangat terpukul dan baru sadar banyak yang harus diubah,” kata Doni.
Sebagai strategi bertahan selama pandemi, produk beku (frozen) Bebek Dower kini diproduksi lebih banyak. Upaya menjangkau konsumen pun dilakukan dengan distribusi melalui re-seller dan memasukkannya dalam platform e-dagang.
Selain itu, membuat produk kekinian, yakni bolu keju dengan konsep take away, juga dilakukan guna membantu pemulihan penjualan. ”Kami kemas dengan menarik dan dijual hanya Rp 25.000 per boks,” ujar Doni.
Utamakan konsumen
Muhammad Chaerul Imam mengatakan, sebelum memutuskan suatu produk untuk dijual, pelaku usaha harus mengetahui siapa target konsumen yang dituju. Pengenalan karakter setiap generasi dan apa yang menjadi kebutuhan mereka dapat membuat pemasaran lebih tepat sasaran.
”Setiap generasi memiliki kebutuhan khusus yang berbeda, misalnya untuk generasi X dengan rentang usia 46 tahun sampai 54 tahun lebih peduli pada kesehatan. Dengan begitu, apabila ingin menyasar mereka, produk yang dijual harus memperhatikan aspek kesehatan,” kata Imam.
Joko Wiyono menilai, masukan dari konsumen penting diketahui oleh pelaku usaha untuk melakukan upaya perbaikan agar produk semakin sesuai kebutuhan konsumen. Upaya ini juga dapat digunakan untuk memprediksi kesetiaan pelanggan.
”Untuk mendapatkan masukan dari konsumen, pelaku usaha dapat melakukan survei. Setidaknya, survei tersebut harus memuat pendapat konsumen tentang kualitas produk, layanan, pesaing, dan pengalaman yang didapat apakah akan direkomendasikan konsumen kepada kerabatnya,” papar Joko.