Lonjakan Kasus Hambat Pertumbuhan Konsumsi
Lonjakan kasus Covid-19 bisa menghambat pertumbuhan konsumsi. Masyarakat, terutama kelas menengah atas, cenderung kembali membatasi belanja dan keluar rumah.
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan deflasi dalam dua bulan terakhir menyinyalkan konsumsi rumah tangga masih akan terkontraksi pada triwulan III-2020. Pemulihan konsumsi rumah tangga tertahan pada kelompok kelas menengah dan atas. Mereka masih mempertimbangkan kondisi terkini untuk berbelanja karena ada peningkatan kasus Covid-19.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, deflasi dalam dua bulan terakhir dipengaruhi deflasi harga bergejolak dan rendahnya inflasi inti yang mengindikasikan perlemahan daya beli masyarakat. Kondisi ini sejalan dengan lesunya permintaan di tengah pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik mencatat deflasi 0,05 persen pada Agustus 2020 dan 0,1 persen pada Juli 2020. Deflasi dipicu turunnya harga sejumlah kelompok pengeluaran, terutama kelompok makanan dan minuman serta transportasi.
Sementara, ditilik dari kontribusi pengeluaran masyarakat, kelompok 20 persen teratas mencapai 45,49 persen terhadap total konsumsi nasional, sedangkan kelompok 40 persen kelas menengah berkontribusi 36,78 persen. Adapun kelompok 40 persen kelas bawah hanya berkontribusi 17 persen terhadap konsumsi nasional.
”Penyaluran anggaran perlindungan sosial yang diharapkan mendorong konsumsi masyarakat prasejahtera atau masyarakat pada desil 1-4. Namun, kontribusinya terhadap konsumsi nasional relatif rendah,” ujar Josua, Rabu (2/8/2020).
Menurut Josua, kelompok masyarakat kelas atas dan menengah yang penghasilannya tidak terganggu cenderung masih menunda belanja. Mereka lebih memilih menabung ketimbang belanja karena mempertimbangkan kondisi terkini, terutama peningkatan kasus Covid-19 dalam beberapa minggu terakhir.
Tren menabung pada kelompok kelas menengah dan atas terkonfirmasi dalam survei pertumbuhan uang beredar dari 12,1 persen pada Juni 2020 menjadi 17,6 persen pada Juli 2020 secara tahunan. Pertumbuhan uang beredar bersumber dari peningkatan laju uang kuasi, khususnya simpanan berjangka menjadi 8,5 persen.
Tertahannya belanja kelompok kelas menengah dan atas juga tecermin pada data Lembaga Penjamin Simpanan. Dana pihak ketiga berupa deposito tumbuh 6,3 persen pada Juli 2020 atau naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 5,1 persen. Simpanan di atas Rp 5 miliar meningkat paling tinggi dibandingkan simpanan lain.
Josua menekankan, pemerintah harus lebih fokus mengendalikan Covid-19 agar kurva peningkatan kasus bisa melandai. Kondisi tersebut akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat, terutama kelas menengah dan atas, untuk kembali berbelanja dan memulihkan konsumsinya.
Pemerintah harus lebih fokus mengendalikan Covid-19 agar kurva peningkatan kasus bisa melandai. Kondisi tersebut akan memberikan kepercayaan kepada masyarakat, terutama kelas menengah dan atas, untuk kembali berbelanja dan memulihkan konsumsinya.
Sejak kasus pertama Covid-19 dideteksi di Indonesia awal Maret 2020, penularannya makin cepat. Butuh hampir tiga bulan dari dua kasus pertama menjadi 50.000 kasus. Namun, untuk berlipat menjadi 100.000 kasus hanya butuh satu bulan dan menjadi 150.000 kasus dalam 25 hari.
Tingginya penularan terlihat dengan tren meningkatnya rasio kasus positif (positivity rate), yaitu perbandingan antara jumlah pemeriksaan dan kasus Covid-19 yang ditemukan. Sepekan terakhir, rasio positif 14,8 persen, jauh di atas ambang aman 5 persen yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baca juga: Bersiap yang Terburuk, Berharap Terbaik
Mal dan industri
Dewan Penasihat Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) dan juga Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk Stefanus Ridwan menuturkan, pelonggaran pembatasan sosial bersakla besar (PSBB) membuat tingkat kunjungan ke mal meningkat. Namun, durasi kunjungan cenderung lebih singkat karena pengunjung cenderung ke mal hanya untuk belanja seperlunya.
”Pelonggaran PSBB membuat usaha-usaha mulai buka dan pembelian ada kenaikan. Akan tetapi, kenaikan tidak terlalu banyak,” ujarnya.
Kini, lanjut Ridwan, lonjakan kasus Covid-19 secara nasional justru kembali membuat orang takut bepergian, termasuk ke mal. Di sisi lain, daya beli masyarakat terus turun sehingga orang membatasi belanja.
Kini, lonjakan kasus Covid-19 secara nasional justru kembali membuat orang takut bepergian, termasuk ke mal. Di sisi lain, daya beli masyarakat terus turun sehingga orang membatasi belanja.
APPBI mencatat, per Agustus 2020, rata-rata tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan di kawasan pusat bisnis (CBD) Jakarta masih di kisaran 30-40 persen dari kondisi normal, dengan tingkat penjualan di kisaran 60-70 persen. Adapun di kawasan non-CBD dan Bodetabek, rata-rata tingkat kunjungan 40-50 persen dan tingkat penjualan berkisar 30-40 persen.
Aktivitas sektor industri di Indonesia belakangan mulai menggeliat seiring implementasi adaptasi normal baru secara bertahap di masing-masing sektor. Di sisi lain penerapan protokol kesehatan harus ditegakkan mengingat kasus Covid-19 terus melonjak, termasuk di kawasan indutri.
Geliat industri itu antara lain terlihat dari laporan IHS Markit tentang indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur Indonesia. PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus 2020 sebesar 50,8 atau naik dibandingkan dengan Juli 2020 yang sebesar 46,9.
”Memasuki Agustus ini, PMI manufaktur Indonesia sudah di atas ambang netral 50,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri Indonesia Sanny Iskandar.
Baca juga: Covid-19 di Kawasan Industri Merahkan Bekasi
Terkait penyebaran Covid-19 yang masih tinggi, Sanny berpendapat, harus ada ketegasan untuk mencegah penularan. Penerapan protokol kesehatan, seperti pengenaan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak, harus terus disosialisasikan. Demikian pula upaya lain, seperti penyediaan kendaraan antarjemput karyawan dan pembatasan jumlah karyawan dalam satu ruangan, perlu terus dilakukan.
”Kegiatan pemantauan pun harus dijalankan masing-masing kementerian dan lembaga, khususnya Kementerian Perindustrian yang mengeluarkan IOMKI atau izin operasi mobilitas kegiatan industri,” ujarnya.
Akselerasi belanja
Josua berpendapat, deflasi berturut-turut pada Juli-Agustus akan memengaruhi laju konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan konsumsi pada triwulan III-2020 diperkirakan masih terkontraksi sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi ke zona negatif. Meski demikian, kontraksi konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi akan lebih baik dari triwulan II-2020.
Baca juga: Daya Beli Belum Pulih, Krusial Tangani Pandemi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, deflasi mensinyalkan permintaan masyarakat masih lemah. Pemerintah telah meluncurkan berbagai stimulus untuk mendorong permintaan berupa bantuan sosial (bansos) untuk penduduk miskin dan sebagian kelas menengah.
Anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk perlindungan sosial per 19 Agustus 2020 terealisasi Rp 93,18 triliun atau 49,7 persen dari pagu yang sebesar Rp 203,91 triliun.
Realisasi belanja bansos akan diakselerasi selama paruh kedua 2020. Namun, penyaluran bansos tidak cukup mendorong pertumbuhan konsumsi ke level 0 persen. Kelompok kelas menengah dan atas harus ikut memulihkan belanja. Ekspektasi mereka sangat dipengaruhi perkembangan penanganan Covid-19.
”Kepercayaan konsumen sangat penting. Meski belanja bansos dinaikkan sampai dengan 55 persen, pemerintah tidak bisa sendirian mengembalikan fungsi konsumsi,” ucapnya.
Baca juga: Serapan Masih Rendah, Penyaluran Program Bansos Baru Dipercepat
Sri Mulyani menekankan, konsumsi dan investasi menjadi kunci utama agar pertumbuhan ekonomi bisa kembali positif. Jika pertumbuhan konsumsi dan investasi masih negatif, kemungkinan pertumbuhan ekonomi keluar dari zona negatif atau 0 persen sangat sulit. Pada triwulan II-2020, perekonomian RI tumbuh negatif 5,32 persen.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menuturkan, penyaluran berbagai stimulus dan anggaran harus dipercepat. Sisi permintaan harus ditumbuhkan terlebih dahulu untuk memutar roda ekonomi. Jika permintaan masih lemah, pertumbuhan kredit sulit terakselerasi.
Perluasan sasaran bansos tunai akan memitigasi pemburukan kondisi ekonomi rumah tangga lebih lanjut. Program bantuan presiden produktif bagi usaha mikro dan subsidi gaji untuk pekerja swasta dengan upah di bawah Rp 5 juta per bulan diharapkan mampu menumbuhkan daya beli masyarakat yang lesu.
”Prioritas pemerintah saat ini harus diarahkan untuk menumbuhkan daya beli yang sasarannya penduduk kelas menengah, bukan hanya kelompok miskin,” ujarnya.
Aviliani menambahkan, perluasan bansos tunai harus dibarengi perbaikan basis data penerima. Bansos tunai harus diberikan kepada kelompok penduduk yang benar-benar membutuhkan. Jangan sampai bansos tunai dari pemerintah malah ditabung dan tidak dibelanjakan sehingga dampak berganda bagi perekonomian tidak muncul.