Perppu Sektor Keuangan Belum Dibahas Pemerintah-DPR
Wacana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang reformasi sistem keuangan menuai kritik. Reformasi sistem keuangan butuh waktu panjang sehingga jangan dilakukan di tengah situasi pandemi.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejauh ini, pemerintah dan DPR belum membahas rencana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu tentang reformasi sistem keuangan. Berbagai kalangan menilai penerbitan perppu tidak mendesak dan dikhawatirkan menciptakan masalah baru.
Sepekan terakhir beredar wacana pemerintah akan menerbitkan perppu tentang reformasi sistem keuangan. Secara garis besar, tujuan penerbitan perppu untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 terhadap sektor keuangan dan stabilitas sistem keuangan negara.
Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, yang dihubungi, Senin (31/8/2020), mengatakan, wacana penerbitan perppu tentang reformasi sistem keuangan beredar luas, tetapi belum disampaikan kepada DPR secara resmi. Pemerintah dan Komisi XI DPR juga belum membahas secara khusus.
”Perppu belum masuk ke DPR sehingga belum ada pembahasan di Komisi XI,” ujarnya.
Wacana penerbitan perppu tentang reformasi keuangan menuai kritik. Sejumlah ekonom dan praktisi menilai perppu tidak mendesak. Pemerintah sebaiknya fokus menangani pandemi agar tidak menimbulkan dampak lanjutan ke sektor keuangan. Penyaluran anggaran stimulus penanganan Covid-19 mesti dipercepat.
Menurut Misbakhun, berbagai kritik yang beredar harus menjadi perhatian pemerintah. Jangan sampai publik dibuat gaduh karena wacana yang simpang siur. Pemerintah harus menimbang matang perihal kebutuhan perlu atau tidaknya penerbitan perppu tentang reformasi sektor keuangan ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akhir pekan lalu, mengatakan, pemerintah masih menyelisik konstruksi hukum yang ada. Jika konstruksi hukum saat ini tidak mampu menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, langkah lanjutan mesti disiapkan.
Konstruksi hukum yang dimaksud merujuk pada Undang-Undang Keuangan Negara, UU Bank Indonesia, UU Lembaga Penjamin Simpanan, UU Otoritas Jasa Keuangan, UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, serta UU Perbankan.
”Pemerintah akan mempersiapkan langkah-langkah seandainya ada persoalan yang berkembang dan tidak bisa diselesaikan dalam UU yang ada,” katanya.
Sri Mulyani menegaskan, selain menjaga stabilitas sistem keuangan, kebijakan di masa mendatang memastikan langkah-langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa secara lentur bergandengan dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ketiga institusi ini—OJK, BI, dan LPS—berperan penting dalam situasi pandemi seperti saat ini.
Pemerintah akan berkomunikasi dengan DPR untuk memantau dampak krisis akibat Covid-19 serta antisipasinya dalam bidang keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Selama ini, pemerintah banyak menempuh langkah luar biasa yang menggambarkan dimensi krisis akibat pandemi Covid-19 sulit diprediksi.
Tidak mendesak
Secara terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Akhmad Akbar Susamto, berpendapat, pemerintah sebaiknya fokus pada upaya pemulihan ekonomi nasional. Resesi ekonomi saat ini berbeda dari tahun 1997-1998 yang bersumber dari sektor keuangan. Titik pusat krisis ekonomi Covid-19 ada di sektor riil.
”Jangan sampai terlena dengan isu lain yang sebenarnya bukan jawaban atas permasalahan di tengah pandemi,” ujar Akhmad.
Salah satu poin dalam wacana perppu tentang reformasi sistem keuangan adalah isu pembubaran OJK. Fungsi pengawasan lembaga jasa keuangan akan diserahkan kembali ke BI. Isu pembubaran OJK berembus sejak awal tahun 2020, bukan ketika wacana perppu beredar belakangan ini.
Menurut Akhmad, tidak ada jaminan situasi akan lebih baik dengan perubahan kelembagaan OJK dan BI. Berkaca dari pengalaman masa lalu, kesalahan pengawasan perbankan kerap terjadi ketika fungsi pengawasan masih di BI. Salah satunya, kasus Bank Century pada 2006-2007.
”Membolak-balik fungsi pengawasan di bawah BI atau OJK bukan jaminan situasi semakin baik. Terlebih lagi jika ditarik dengan masalah-masalah masa lalu,” kata Akhmad.
Reformasi sistem keuangan membutuhkan waktu jangka panjang. Pemerintah sebaiknya tidak mereformasi sektor keuangan di tengah situasi tidak normal seperti saat ini. Reformasi dikhawatirkan menimbulkan masalah baru karena keterbatasan dan ketidakpastian selama pandemi Covid-19.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, menuturkan, UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan serta UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan sudah cukup mengakomodasi kewenangan di masa pandemi.
”Perppu No 1/2020 yang kini menjadi UU No 2/2020 sudah tepat. Sampai saat ini perbaikan di sektor keuangan dapat diantisipasi semasa pandemi,” kata Aviliani.
Pemerintah sebaiknya fokus mengatasi masalah sektor riil sebagai sumber krisis. Penyaluran berbagai stimulus dan anggaran harus dipercepat. Sisi permintaan harus ditumbuhkan terlebih dahulu untuk memutar roda ekonomi. Jika permintaan masih lemah, pertumbuhan kredit sulit terakselerasi.
Pemerintah sebaiknya fokus mengatasi masalah sektor riil sebagai sumber krisis.