Pengakuan dunia terhadap tempe mesti dibarengi komitmen bersama untuk mendongkrak produksi kedelai dalam negeri. Dengan demikian, perajin tempe tak perlu lagi menjerit setiap kali harga kedelai impor melejit.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·3 menit baca
Esuk dhele, sore tempe (pagi kedelai, sore tempe). Demikian peribahasa Jawa menggambarkan sebuah sikap atau situasi ketidakpastian. Kondisi seperti inilah yang sering dialami para perajin tempe di Tanah Air.
Hampir setiap tahun mereka mengalami ketidakpastian harga kedelai, bahan baku utama tempe. Begitu kurs dollar AS naik, harga kedelai pun langsung melangit. Rupanya, setiap tahun kita harus mengimpor kedelai dari luar negeri yang jumlahnya lebih tinggi daripada produksi kedelai kita sendiri.
Sebagai gambaran, tahun 2019 kita harus mengimpor kedelai dari luar negeri sebanyak 2,67 juta ton dengan 2,51 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat. Jumlah ini jauh di atas produksi kedelai dalam negeri yang pada Januari hingga Oktober 2019 hanya mencapai 480.000 ton. Tak heran, Kementerian Pertanian akhirnya merevisi target produksi kedelai dari 2,8 juta ton pada 2019 menjadi 1,12 juta ton pada 2020.
Sungguh ironi, tempe yang setiap hari tak pernah absen di etalase-etalase warteg dan meja-meja makan rumah ternyata sebagian besar berbahan baku kedelai luar negeri. Kalaupun ada tempe yang menggunakan bahan baku kedelai lokal, jumlahnya tak banyak, sebagian penjual membanderolnya dengan harga lebih mahal dengan cap promosi kedelai organik lokal.
Bahkan, pernah, ketika harga kedelai melonjak, para perajin sampai menipiskan ukuran tempe karena tak tega menaikkan harga. Mereka tahu betul, masyarakat sudah menjadikan tempe sebagai lauk sehari-hari.
Konsumsi tempe masyarakat Indonesia tak pernah surut dari waktu ke waktu. Catatan harian Kompas menunjukkan, pada tahun 1978 produksi tempe mencapai 75.600 ton di seluruh Tanah Air.
Setelah 37 tahun, tepatnya tahun 2015, nilai ekonomi tempe secara nasional telah menyentuh angka Rp 72 triliun. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan kita memang tak pernah bisa terlepas dari gurihnya tempe!
Jika dirunut jauh ke belakang, tempe memang telah eksis di Nusantara sejak ratusan tahun silam. Sejarah tempe pernah tercatat dalam Serat Centhini (1814). Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1895, seorang sarjana Belanda, HC Princen Geerligs, menulis tentang nilai gizi dan cara pembuatan tempe dalam tulisannya, ”Einige Chinese Voedingsmiddelen Uit Soyabonen Bereid” (Suatu makanan China terbuat dari kedelai).
Meski tertulis sebagai makanan China, pada saat itu, baik di China maupun Taiwan, belum pernah dilaporkan keberadaan makanan sejenis tempe. Geerligs bersama rekannya, FA Want, adalah ilmuwan yang pertama kali menemukan jenis jamur atau kapang yang sangat berperan dalam pembuatan tempe, yaitu Rhizopus oligosporus (Kompas, 8 Februari 1981).
Sejarah panjang tempe di Nusantara menginspirasi Forum Tempe Indonesia untuk mengangkat penganan lokal ini ke panggung dunia. Menurut Ketua Forum Tempe Indonesia sekaligus Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University Made Astawan, tempe diusulkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda ke UNESCO pada 2021 dengan target penetapan pada 2023.
Kembali lagi ke pepatah Jawa, esuk dhele, sore tempe. Pengakuan dunia terhadap tempe mesti dibarengi dengan komitmen dan keseriusan bersama untuk mendongkrak produksi kedelai dalam negeri. Dengan demikian, para perajin tempe tak perlu lagi terus-menerus menjerit setiap kali harga kedelai impor melejit. Apalah artinya tempe diakui dunia jika setiap hari kita tetap mengunyah tempe berbahan baku kedelai asing.