Presiden Joko Widodo memperlebar defisit pada RAPBN 2021 menjadi 5,2 persen terhadap PDB. Pelebaran defisit menghasilkan tambahan belanja Rp 179 triliun, tetapi saldo utang pemerintah terhadap PDB mendekati 40 persen.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo memutuskan memperlebar defisit pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021 menjadi 5,2 persen terhadap produk domestik bruto. Pelebaran defisit yang menghasilkan tambahan belanja senilai Rp 179 triliun tersebut ditujukan untuk mempercepat pemulihan perekonomian nasional sekaligus menjalankan agenda transformasi di sejumlah bidang, termasuk kesehatan.
Keputusan pelebaran defisit dihasilkan pada rapat terbatas melalui telekonferensi yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan di Bogor, Jawa Barat, Selasa (28/7/2020). Tersambung dalam rapat membahas rancangan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 itu adalah Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan sejumlah menteri.
Presiden dalam pengantar rapat menyatakan, pelebaran defisit APBN 2021 harus difokuskan untuk membiayai kegiatan percepatan pemulihan perekonomian nasional. Pelebaran defisit sekaligus juga untuk menguatkan transformasi di berbagai sektor, terutama reformasi di bidang kesehatan, pangan, energi, pendidikan, dan digital.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan pers melalui telekonferensi seusai rapat menyatakan, Presiden dalam sidang memutuskan memperlebar defisit RAPBN 2021 menjadi 5,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Ini lebih tinggi dari desain awal dan catatan yang diberikan DPR.
Pemerintah pada awalnya merencanakan defisit RAPBN 2021 sebesar 4,17 persen terhadap PDB. Pada rapat kerja antara Kementerian Keuangan dan Komisi XI DPR sebelumnya, DPR menerima angka tersebut. Artinya, pemerintah dan DPR sepakat defisit 4,17 persen. DPR bahkan pada kesimpulan rapat memberi catatan bahwa defisit bisa diperlebar menjadi 4,7 persen.
Pertimbangan memperlebar defisit RAPBN 2021 itu, menurut Sri Mulyani, karena situasi dunia masih penuh ketidakpastian, baik menyangkut persoalan Covid-19 maupun perekonomian, baik di dalam negeri maupun global. Untuk itu, RAPBN 2021 didesain menghadapi ketidakpastian tersebut.
”Ketidakpastian ini dipertimbangkan dalam desain APBN 2021 di mana Presiden meminta defisit dinaikkan. Defisit dinaikkan supaya kita punya bantalan atau cadangan dalam ketidakpastian tersebut,” kata Sri Mulyani.
Pelebaran defisit dari 4,17 persen menjadi 5,2 persen, Sri Mulyani melanjutkan, menimbulkan tambahan anggaran belanja pemerintah senilai Rp 179 triliun. Sesuai arahan Presiden, anggaran itu akan diprioritaskan untuk bidang kesehatan, pangan, energi, pendidikan, dan digital. Prinsipnya, program yang didanai betul-betul efektif meningkatkan produktivitas, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta memberikan manfaat ekonomi paling optimal. Pengalokasiannya baru akan dibahas pada rapat terbatas, Rabu (29/7).
Sri Mulyani juga menyatakan bahwa pihaknya akan segera mengomunikasikan keputusan itu kepada DPR. Dengan demikian, proses politik penganggaran RAPBN 2021 akan berjalan dengan baik sampai tahap pembahasan dan akhirnya disepakati menjadi APBN 2021 pada Oktober 2020.
Adapun soal pembiayaan defisit, Sri Mulyani menekankan bahwa Kementerian Keuangan akan mencari pembiayaan dengan hati-hati guna mendapatkan pembiayaan yang relatif murah dan aman. Ini akan ditempuh melalui penerbitan berbagai Surat Berharga Negara dan pinjaman bilateral-multilateral.
Untuk pengelolaan total saldo utang pemerintah, Sri Mulyani pastikan akan terus dilakukan dengan hati-hati. Pelebaran defisit RAPBN 2021 menyebabkan saldo utang pemerintah terhadap PDB mendekati 40 persen.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, saldo utang pemerintah pusat secara keseluruhan per Juni 2020 mencapai Rp 5.264 triliun atau 32,67 persen terhadap PDB. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memberi batas maksimal 60 persen terhadap PDB.
Defisit APBN 2020 awalnya Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen terhadap PDB. Saat Covid-19 melanda Tanah Air, pemerintah memperlebar defisit menjadi Rp 852,94 triliun atau 5,07 terhadap PDB. Belakangan, pemerintah memperlebar lagi defisit menjadi Rp 1.039,22 triliun atau 6,34 persen terhadap PDB.
Pelebaran defisit dilakukan oleh berbagai negara saat ini. Indonesia termasuk kelompok yang pelebaran defisitnya pada tingkat menengah. Sejumlah negara memperlebar defisit hingga dua digit.
Pelebaran defisit yang dibiayai dari utang ini umum terjadi di masa krisis Covid-19 karena sumber-sumber penerimaan negara menjadi seret, terutama pajak yang di Indonesia menyumbang 70 persen dari total penerimaan negara. Sementara hanya pemerintah melalui belanjanya yang bisa menjadi stimulus perekonomian ketika swasta, mulai yang mikro hingga yang besar, sedang terpukul.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan, pelebaran defisit RAPBN 2021 merupakan upaya pemerintah mengantisipasi ketidakpastian akibat krisis Covid-19. Harapannya, daya dorong belanja pemerintah dalam mempercepat pemulihan perekonomian menjadi lebih kuat.
”Dengan naiknya defisit tersebut, tentu akan ada ruang fiskal yang cukup untuk belanja. Sesuai petunjuk Bapak Presiden, pelebaran defisit akan diarahkan untuk program yang berimplikasi positif pada pemulihan ekonomi nasional, utamanya untuk mencegah bertambahnya kemiskinan dan pengangguran,” tutur Suharso.
Tambahan anggaran belanja senilai Rp 179 triliun, menurut Suharso, pertama-tama dialokasikan untuk anggaran yang diwajibkan pada porsi tertentu oleh undang-undang. Anggaran yang dimaksud adalah pendidikan dan kesehatan yang akan mendapat tambahan masing-masing senilai Rp 38,6 triliun dan Rp 9 triliun.
”Presiden meminta agar didesain ulang, misalnya untuk reformasi kesehatan. Apa saja yang akan didorong. Pendidikan, perhatiannya bagaimana pelajar mendapatkan sinyal baik. Belajar dari rumah, ada biaya yang tidak sedikit. Bagi yang daya belinya rendah, sangat terpukul. Bagaimana ini bisa kita atasi. Bisa-bisa pulsa Rp 300.000 tak cukup untuk seminggu saja,” kata Suharso.
Terkait tambahan utang akibat pelebaran defisit, Suharso menyatakan, pemerintah sangat berhati-hati mengelola pembiayaannya. Prinsip serupa berlaku dalam pembelanjaannya.