Perbankan mulai rajin membeli SBN untuk mendapat imbal hasil dan syarat memperoleh likuiditas dari BI. Sementara, LPS mewaspadai risiko penempatan dana di bank bermasalah.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan menyebutkan, surat berharga negara yang dimiliki investor asing berkurang. Pemenuhan target lelang surat berharga negara itu kerap dipenuhi dari perbankan.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan mencatat, investor asing pemegang surat berharga negara (SBN) per 23 Juli 2020 sebesar 29,63 persen atau sekitar Rp 800 triliun. Angka ini turun cukup dalam dari awal Januari 2020 yang sebesar 38,63 persen.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, investor asing bersikap menunggu dan melihat kondisi pasar SBN. Pergerakan arus modal asing keluar masih terjadi kendati mulai melambat. Per 20 Juli 2020, arus modal asing yang keluar sebesar Rp 122,4 triliun.
”Dukungan asing melemah dipengaruhi sentimen negatif belum terkendalinya kasus Covid-19. Pemenuhan target lelang SBN akhirnya dipenuhi dari perbankan,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Luky menambahkan, imbal hasil surat utang pemerintah tenor sepuluh tahun turun menjadi 6,79 persen per 23 Juli 2020 setelah sempat menyentuh 8,3 persen pada Maret lalu. Kembali turunnya imbal hasil SBN ditopang pembelian agresif oleh perbankan domestik sepanjang April-Juli yang mencapai Rp 248,68 triliun.
Dukungan asing melemah dipengaruhi sentimen negatif belum terkendalinya kasus Covid-19. Pemenuhan target lelang SBN akhirnya dipenuhi dari perbankan.
Di tengah pandemi Covid-19 dan mengetatnya likuiditas perbankan, pembelian SBN ini menguntungkan bank. Selain bisa memperoleh imbal hasil, bank bisa merepo atau menggadaikan SBN itu ke Bank Indonesia jika kekurangan likuiditas.
Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto berpendapat, penyerapan SBN yang bertumpu pada pasar domestik akan berdampak positif dan tidak memicu sentimen negatif investor. Porsi kepemilikan asing yang berkurang justru berdampak positif bagi penurunan imbal hasil surat utang pemerintah tenor sepuluh tahun.
”Tim ekonom Bank Mandiri memproyeksikan imbal hasil SBN pemerintah tenor sepuluh tahun bisa turun menjadi 6,5 persen pada 2020,” ujarnya.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mewaspadai beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melakukan penyelamatan bank bermasalah. Selain aspek hukum, risiko paling besar yang perlu diantisipasi terkait penempatan dan pemanfaatan dana oleh bank.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS diberi kewenangan menempatkan dana pada bank yang mengalami permasalahan solvabilitas. Solvabilitas berarti kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajiban atau utang yang harus dibayarkan.
LPS telah menerbitkan Peraturan LPS (PLPS) Nomor 3 Tahun 2020 tentang pelaksanaan PP No 33/2020 pada 20 Juli 2020. Regulasi dalam PLPS No 3/2020 mencakup tata cara pemeriksaan bersama Otoritas Jasa Keuangan, mekanisme dan tata cara penempatan dana LPS di bank, serta tata cara penanganan bank selain bank sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah, Jumat, mengatakan, tujuan utama penempatan dana LPS pada bank untuk mengelola dan meningkatkan likuditas LPS, serta mengantisipasi dan melakukan penanganan stabilitas sistem keuangan yang dapat menyebabkan kegagalan bank.
”Penempatan dana LPS pada bank dilakukan untuk menyelamatkan sistem perbankan. Kebijakan ini bukan atas inisiatif LPS, tetapi permohonan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan,” ujarnya.
Penempatan dana LPS pada bank dilakukan untuk menyelamatkan sistem perbankan. Kebijakan ini bukan atas inisiatif LPS, tetapi permohonan bank kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan ini berbeda dari fungsi awal LPS, yakni untuk menyelamatkan atau menutup bank yang sudah dinyatakan sebagai bank gagal. Landasan berdirinya LPS diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004. Adapun PP No 33/2020 berlandaskan pada UU No 2/2020 yang mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Halim mengakui, kewenangan menempatkan dana pada bank tidak memang tidak sesuai dengan UU LPS. Namun, langkah ini perlu diambil karena Indonesia menghadapi kondisi genting akibat Covid-19. LPS telah menyiapkan argumen jika terjadi pengajuan pengujian yudisial.
”Kewenangan baru LPS bukan tanpa risiko, tentu risiko pertama yang mesti diantisipasi terkait aspek hukum,” katanya.
Selain aspek hukum, kata Halim, risiko berpotensi terjadi dalam penempatan dana di bank. Risiko ini akan diantisipasi dengan penyertaan agunan dalam setiap penempatan dana. Agunan harus aset milik pemegang saham, bukan aset bank. Jika bank gagal, aset dan kewajiban bank akan dikuasai LPS.