Sebagian besar penjualan produk secara konvensional tumbuh negatif karena pembatasan sosial. Sebaliknya, penjualan produk yang sama di platform e-dagang meningkat. Digitalisasi menjadi kuncinya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar penjualan produk secara konvensional tumbuh negatif karena pembatasan sosial. Sebaliknya, penjualan produk yang sama di platform e-dagang meningkat. Digitalisasi menjadi kuncinya.
Temuan itu menjadi salah satu pembahasan dalam forum webinar Maybank Indonesia Webinar Economic Outlook 2020 bertema ”Turning Pandemic into Opportunity”, Rabu (22/7/2020). Acara itu membahas bagaimana para pelaku bisnis di bidang ritel, e-dagang, dan jasa keuangan mendapatkan peluang di tengah pandemi Covid-19.
Kusumo Martanto, Chief Executive Officer (CEO) Blibli, salah satu e-dagang di Indonesia, mempresentasikan sepuluh produk yang tumbuh negatif secara penjualan konvensional. Produk perlengkapan acara dan pesta (-55 persen), sepatu pria (-40 persen), dan perlengkapan berkemah (-39 persen) tumbuh negatif sejak Maret 2020.
Namun, di platform e-dagang mereka, penjualan produk dalam kategori tersebut mencatatkan kenaikan pertumbuhan positif. Penjualan perlengkapan acara dan pesta mencapai 778 persen, sepatu pria 124 persen, dan perlengkapan berkemah 186 persen.
”Partner kami yang menjual barang-barang tersebut secara online tidak mengalami penurunan signifikan karena masih ada pasarnya. Kenaikan ini terlebih pada barang-barang kebutuhan sehari-hari yang tumbuhnya lima kali lipat,” katanya.
Selain kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan, penjualan beberapa produk kesehatan juga lebih terdongkrak. Alat kesehatan, sabun tangan dan handsanitizer, serta sarung tangan sekali pakai yang secara konvensional tumbuh ratusan persen mampu tumbuh puluhan ribu persen di Blibli.
Presiden Direktur PT Visa Worldwide Indonesia Riko Abdurrahman juga mengungkapkan, pertumbuhan transaksi kartu kredit untuk produk ritel lebih tinggi di e-dagang daripada gerai fisik. Tren tersebut menunjukkan peralihan penjualan secara langsung ke dalam jaringan.
”Ada tiga sektor penjualan produk yang memiliki pertumbuhan tinggi di e-dagang, yaitu restoran cepat saji, department store, dan kebutuhan rumah tangga,” katanya pada kesempatan sama.
Pertumbuhan transaksi kartu kredit untuk kategori produk tersebut mengalahkan transaksi produk dan jasa wisata, seperti tiket transportasi dan hotel. Padahal, sebelum pandemi, transaksi kartu kredit untuk pembelian produk dan jasa pariwisata paling mendominasi.
Percepatan digitalisasi
Berkaca pada naiknya penjualan di e-dagang, CEO Dana Indonesia Vincent Iswara menilai, semua pelaku usaha ritel harus cepat beralih ke digital. Peralihan bukan hanya untuk menyelamatkan keberlanjutan usaha di tengah pandemi, melainkan juga untuk mempercepat adaptasi digital yang sudah terjadi di Indonesia.
Perkembangan digitalisasi terlihat dari tren penggunaan internet di kalangan masyarakat. Mengutip data Alvara Research 2019, Vincent menyebut, sebanyak 49,6 persen masyarakat mencari produk sebelum pembelian melalui internet.
Hal itu tidak mengherankan, mengingat 60 persen penduduk Indonesia adalah generasi milenial dan generasi Z, dari rentang usia 35 tahun ke bawah yang mayoritas aktif menggunakan internet.
”Sebanyak 60 persen penduduk Indonesia sudah go digital. Jadi, kita perlu membuat kesadaran agar pelaku usaha ritel, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), lebih cepat beralih ke digital,” katanya.
Peralihan UMKM ke digital menurut dia juga perlu didukung pelaku usaha rintisan yang kini banyak berkembang di Indonesia. Sampai saat ini, tercatat ada sembilan usaha rintisan dengan pasar besar. Usaha rintisan itu bergerak dalam berbagai bidang, mulai dari e-dagang, transportasi, dan jasa keuangan, seperti Gojek, Grab, Traveloka, Tokopedia, Shopee, dan LinkAja.
”Dana sendiri agresif untuk membantu UMKM bertransformasi ke digital. Kami berkolaborasi dengan teman-teman pelaku usaha dan pemerintahan agar kita bertransformasi ke arah lebih baik,” tutur Vincent.
Kembali ke konteks pandemi, CEO Maybank Indonesia Taswin Zakaria menambahkan, peralihan ke digital yang meminimalkan interaksi jangan dipandang sebagai disrupsi atau pengganggu.
”Kalau dilihat lebih positif, situasi ini bisa dilihat sebagai peluang bisnis. Bagi yang belum mengadopsi digital, maka perlu melihat dan mengambil pelajaran. Kiranya, dalam situasi seperti ini, apa hal-hal yang bisa kita siapkan agar tantangan ini bisa jadi peluang,” tutur Taswin.