Kisah Peluang Barter Kedelai dengan Tempe Amerika Serikat-Indonesia
Perjanjian dengan AS sangat penting. Ini terkait upaya mendapatkan perlakuan khusus ketika mengekspor produk yang berbahan baku AS untuk masuk ke negara tersebut. Tempe, misalnya, yang berbahan baku kedelai AS.
Banyak cerita didapat ketika mengikuti perbincangan virtual yang belakangan marak digelar berbagai pemangku kepentingan di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya kisah tentang tempe. Tempe dari Indonesia yang akan ”ditukar” dengan kedelai dari Amerika Serikat.
Jangan kaget ketika obrolan soal bahan makanan populer berbahan baku kedelai ini pun muncul pada seminar daring ”Potensi Bisnis Indonesia-Amerika Serikat Bagian II” pada medio Juli 2020. Acara ini digelar Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri RI dengan Learn Business Anywhere serta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Konsul Jenderal RI di New York Arifi Saiman mengatakan, produk yang berpeluang diekspor ke AS saat pandemi adalah produk olahan, termasuk makanan laut beku dan produk alternatif daging. Berdasar data dan proyeksi Grand View Research, tempe termasuk salah satu jenis yang masuk produk alternatif daging di pasar global.
Potensi pemasaran tempe perlu mendapat perhatian, dimanfaatkan, dan jangan sampai terlepas. Merujuk data Nielsen, penjualan produk alternatif daging di AS meningkat 53 persen pada akhir April hingga pertengahan Mei 2020. Selain disrupsi rantai pasok daging di AS akibat Covid-19, kondisi ini juga disebabkan peningkatan kesadaran kesehatan masyarakat AS.
”Produk alternatif daging, termasuk tempe, memiliki prospek jangka panjang untuk menjadi salah satu menu baru warga AS,” kata Arifi.
Produk alternatif daging, termasuk tempe, memiliki prospek jangka panjang untuk menjadi salah satu menu baru warga AS.
Begitu soal tempe disinggung, tak berselang lama ada yang menulis di ruang cakap (chat room) mengenai bahan baku tempe yang masih diimpor dari AS. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2019, Indonesia mengimpor kedelai dari sejumlah negara sebanyak 2,67 juta ton atau senilai 1,06 juta dollar AS, meningkat dari 2018 yang sebanyak 2,85 juta ton atau senilai 1,1 juta dollar AS. Dari jumlah tersebut, Indonesia mengimpor kedelai dari AS sebanyak 2,51 juta ton pada 2019 dan 2,52 juta ton pada 2018.
Diaspora pebisnis pembibitan dan pengolahan kedelai di AS, Mayasari Effendi, juga berkisah tentang rencana membangun pabrik tempe di Indiana secara bertahap. Sejak sembilan tahun lalu, ketika membuka restoran di Indiana, Mayasari mencoba mengenalkan tempe. Sesuatu yang diakuinya susah setengah mati karena warga setempat terbiasa mengonsumsi steik atau daging. Namun, Covid-19 memberikan wawasan berbeda bagi mereka untuk lebih sehat.
Konsul Jenderal RI di Chicago Meri Binsar Simorangkir menambahkan, para pelaku usaha Indonesia yang ingin menembus pasar AS disarankan tidak mengekspor tempe mentah. Lama proses perjalanan serta perizinan ekspor dan bea cukai dapat mengubah rasa tempe.
”Ekspor dalam bentuk produk olahan seperti keripik tempe dinilai lebih bagus. Variasi keripik rasa tempe pun dimungkinkan, seperti rasa barbeku, keju, vanila, atau pedas,” kata Meri.
Para pelaku usaha Indonesia yang ingin menembus pasar AS disarankan tidak mengekspor tempe mentah. Lama proses perjalanan serta perizinan ekspor dan bea cukai dapat mengubah rasa tempe.
Sementara itu, Komite Tetap Amerika dan Lembaga Internasional Kadin Indonesia Diono Nurjadin menilai perjanjian dengan AS sangat penting. Ini terkait upaya mendapatkan perlakuan khusus ketika mengekspor produk yang berbahan baku AS untuk masuk ke negara tersebut. Misalnya, tempe yang berbahan baku kedelai AS, menjadi salah satu contoh.
Tempe, kekayaan kuliner Indonesia, berpeluang menggaet penggemar di pasar yang lebih besar lagi. Saat ini, tempe sudah menembus pasar Jepang, Meksiko, Korea, Brasil, Polandia, dan Hongaria.
Salah satu yang paling berperan membawa tempe menembus pasar Jepang, China, dan Meksiko adalah Rustono, seorang pengusaha tempe Indonesia yang sukses di Jepang. Sekali produksi, dari 2 ton kedelai dapat dihasilkan 8.000 bungkus tempe oleh pabrik Rusto’s Tempeh di pinggiran Kyoto, Jepang.
Setelah sukses memperkenalkan tempe di Jepang—hingga masuk sebagai salah satu lauk makan siang di anak sekolah—Rustono juga telah memperkenalkan produknya di sejumlah negara lainnya, antara lain China dan Meksiko.
Rustono memastikan setiap kemasan tempe di negara lain selalu ada keterangan bahwa tempe berasal dari Indonesia. ”Di Meksiko, kami menuliskan Un regalo de Indonesia para el mundo. Tempe hadiah Indonesia untuk dunia. Bahkan, di sana sudah ada taco (makanan khas Meksiko) tempe,” tuturnya dalam seminar daring ”Pelestarian Budaya Tempe dari Tanah Jawa Menuju Pengakuan UNESCO”, awal Juli 2020.
Di Meksiko, kami menuliskan Un regalo de Indonesia para el mundo. Tempe hadiah Indonesia untuk dunia. Bahkan, di sana sudah ada taco (makanan khas Meksiko) tempe.
Ketua Forum Tempe Indonesia Made Astawan berharap Pemerintah Indonesia dapat mengusulkan tempe sebagai warisan budaya kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Pada 2023, UNESCO diharapkan dapat menerima dan mengakui tempe sebagai salah satu warisan budaya tak benda dunia.
Menurut Made yang juga guru besar bidang pangan, gizi, dan kesehatan IPB University, ada banyak bukti kuat bahwa tempe benar-benar berasal dari Indonesia. Salah satunya penyebutan tempe dan masakan olahan tempe pada Serat Centhini, kumpulan tulisan Raja Pakubuwono V, yang menceritakan kondisi masyarakat Jawa pada abad ke-16.
Ada kata-kata seperti brambang jahe santen tempe di jilid ketiga Serat Centhini, kemudian kadhele tempe srundengan di jilid ke-12. Ini bukti otentik bahwa tempe sudah dikenal pada abad ke-16.
”Dhele dalam bahasa Jawa Kawi artinya hitam. Ini merujuk pada kacang kedelai hitam yang banyak ditanam di wilayah Kerajaan Mataram Jawa Tengah. Ini menunjukkan tempe sudah hadir sebelum kedelai kuning dari Manchukuo, China utara, banyak ditanam,” ujarnya.
Saat ini ada sekitar 160.000 pelaku UMKM tempe di Tanah Air. Roda ekonomi yang berputar dalam usaha ini telah berkontribusi pada nilai tambah industri tempe sebesar Rp 37 triliun per tahun pada 2012. Pada 2015, nilai ekonomi tempe mencapai Rp 72 triliun.