Dana penanganan Covid-19 dinilai belum transparan karena tidak merinci secara jelas terkait penggunaan dan penyerapan anggaran. Padahal, transparansi merupakan fondasi dari keberhasilan menangani pandemi Covid-19.
Oleh
SHARON PATRICIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana penanganan coronavirus disease atau Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Namun, itu tidak diiringi dengan transparansi dari realisasi penggunaan dana yang berpotensi menimbulkan ada penyalahgunaan dana di tengah situasi pandemi.
Laporan dana penanganan Covid-19 yang dibuka kepada publik hanya menampilkan besaran kerangka anggaran yang dialokasikan. Besaran dana yang sudah terpakai dan digunakan untuk membeli apa saja, tidak dibuka menjadi informasi publik.
Data Kementerian Keuangan yang dikutip pada Kamis (25/6/2020) menunjukkan, awalnya pada pertengahan Maret, dana penanganan Covid-19 yang dialokasikan melalui APBN sekitar Rp 121,3 triliun, kemudian meningkat pada April hingga Rp 405,1 triliun. Berselang dua bulan, pada 3 Juni dana kembali ditambah menjadi Rp 677,2 triliun.
Peningkatan dana kembali terjadi, per 16 Juni, total biaya penanganan Covid-19 sebesar Rp 695,2 triliun. Dana tersebut dibagi untuk sektor kesehatan (Rp 87,55 triliun), perlindungan sosial (Rp 203,9 triliun), insentif usaha (120,61 triliun), usaha mikro kecil dan menengah (123,46 triliun), pembiayaan korporasi (Rp 53,57 triliun), dan sektoral kementerian lembaga serta pemerintah daerah (Rp 106,11 triliun).
Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, memang pemerintah diberikan keleluasaan untuk mengatur dana penanganan Covid-19. Namun, anggaran penanganan Covid-19 ini sudah melebihi aturan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020, yaitu sekitar Rp 641,17 triliun.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyampaikan, hal kritis mengenai penambahan dana penanganan Covid-19 ialah belum pernah ada evaluasi terhadap penggunaan dana yang sudah berjalan. Besarnya kerangka anggaran dibuat tanpa melihat sudah seberapa besar penyerapan yang mampu dilakukan.
Sebagai contoh, terkait anggaran di sektor kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun atau kurang dari 15 persen total dana penanganan Covid-19. Penyerapan dana di sektor kesehatan pun baru 1,54 persen, yang artinya dukungan penanganan Covid-19 menjadi tidak memadai.
Sama halnya terkait dana perlindungan sosial yang mendapat porsi terbesar, yakni Rp 203,9 triliun dengan penyerapan sebesar Rp 28,63 persen. Namun, daya beli masyarakat tetap rendah jika melihat dari perkiraan pertumbuhan ekonomi pada triwulan-II sebesar negatif 3,8 persen.
”Ini menandakan bantuan sosial tidak mampu mendongkrak konsumsi masyarakat. Saya yakin, hampir lebih dari 50 persen itu enggak tepat sasaran. Potensi korupsi secara sistematis itu terjadi, yang akhirnya mendorong konsumsi menjadi tidak efektif,” kata Tauhid.
Penyerapan anggaran Covid-19 di sektor lain pun masih tergolong rendah. Sektor lainnya, yakni insentif usaha (6,8 persen), UMKM (0,06 persen), pembiayaan korporasi (nol persen), dan sektoral serta pemda (3,65 persen).
Paparan ini mengemuka dalam webinar Menakar Efektivitas Anggaran PSBB (Kesehatan, Perlindungan Sosial, dan Pemulihan Ekonomi) yang diadakan oleh Lingkaran Kajian Ekonomi Nusantara dan didukung Indef. Hadir pula sebagai narasumber, antara lain Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor Didin S Damanhuri.
Kehilangan momentum
Menurut Tauhid, hingga akhir Mei 2020, anggaran pemulihan ekonomi masih dibawah 10 persen. Dengan begitu, diperkirakan hingga akhir triwulan-II 2020 tidak akan ada banyak perkembangan berarti.
”Kalau nanti triwulan-III lebih parah daripada triwulan-II, ya, otomatis apa pun program pemulihan ekonomi, termasuk kesehatan, akan menjadi sia-sia. Kita akan kehilangan momentum pemulihan ekonomi karena sudah pasti pertumbuhan di triwulan IV akan menurun,” tutur Tauhid.
Melalui kondisi saat ini, kata Tauhid, ada beberapa skenario potensi ekonomi Indonesia ke depan. Pertama untuk skenario optimistis dengan pemanfaatan dana secara optimal, maka pemulihan ekonomi akan sesuai dengan V-Shaped Recovery, yang artinya bisa kembali ke kisaran 5 persen, seperti sebelum pandemi Covid-19.
”Tapi, rasanya ini tidak mungkin terjadi. Menurut saya, yang kemungkinan terjadi itu U-Shaped Recovery, yang proses pemulihannya tidak sebentar, akan turun drastis pada 2020 dan berjalan lambat karena proses penanganan pandemi yang lama,” ujar Tauhid.
Sementara untuk skenario terburuk, apabila terjadi gelombang kedua pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan seperti W-Shaped Recovery atau L-Shaped Recovery. ”Tidak tahu kapan akan pulih kembali, mudah-mudahan bukan ini yang terjadi,” ucapnya.
Keterbukaan informasi
Transparansi penggunaan dana, menurut Tauhid, menjadi hal penting yang harus dimulai dari awal penyusunan perencanaan. Kalau tidak dilakukan, saat pertanggungjawaban nanti akan ada banyak ditemukan potensi penyalahgunaan dana yang lebih besar dibandingkan dengan program Kartu Prakerja.
Sejalan dengan itu, Didin S Damanhuri mengatakan, pemerintah harus menjelaskan secara transparan terkait penambahan dana penanganan Covid-19. Itu karena transparansi erat kaitannya dengan kepercayaan publik yang juga menjadi poin penting untuk sukses menangani Covid-19.
”Presiden dapat memerintahkan kepada setiap menteri terkait untuk merinci penggunaan dana tersebut. Selain itu, perlu juga dibentuk juru bicara yang bertugas melaporkan perkembangan penggunaan anggaran untuk menciptakan kepercayaan publik,” kata Didin.
Adnan Topan Husodo juga menegaskan, isu transparansi merupakan kunci dari keberhasilan penanganan pandemi. Ketika tidak terbuka, artinya pemerintah gagal sejak awal menangani pandemi.
”Sebenarnya, kan, sederhana saja, pemerintah bisa melalui Kementerian Keuangan yang sudah memiliki laman khusus Covid-19. Data yang sekarang ada secara umum dapat dirinci lebih lanjut terkait penggunaan anggaran,” kata Adnan.
Pelaporan dana bisa dilakukan secara berkala setiap dua minggu atau satu bulan sekali. Data yang ditampilkan dapat merujuk pada penggunaan dana di 3 kluster, yakni bantuan sosial, kesehatan, dan pemulihan ekonomi nasional.
”Apa saja yang sudah dibelanjakan, untuk apa saja, ya dibuka. Apa ada kelompok yang punya akses jalur khusus kepada kebijakan yang kemudian menanggung untung dari situasi krisis ini? Kalau begitu, masyarakat akan kembali menjadi korban,” ucap Adnan.