RUU Cipta Kerja merupakan instrumen awal yang memberikan kepastian, kemudahan, dan efisiensi bagi sektor usaha. RUU ini juga disusun untuk mewadahi kepentingan pengusaha dan buruh.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan instrumen awal yang memberikan kepastian dan kemudahan bagi sektor usaha. Tidak hanya bagi pengusaha besar, tetapi juga pengusaha mikro, kecil, dan menengah.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, Kamis (5/3/2020), mengemukakan, dari 79 undang-undang (UU) dan 1.244 pasal yang telah direvisi menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, sebanyak 700 pasal yang telah direvisi itu masuk ke ranah BKPM. Pasal-pasal itu antara lain terkait kemudahan berusaha; usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); serta perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS).
Omnibus law atau UU sapu jagat ini dibuat salah satunya dengan mempertimbangkan kinerja investasi di masa lalu yang sempat diwarnai mangkraknya investasi senilai Rp 708 triliun. Investasi mangkrak itu dipicu oleh regulasi yang tumpang tindih, ego sektoral antara kementerian, gubernur, dan bupati/wali kota.
”Selain itu, ada permainan hantu berdasi dan tidak berdasi. Untuk itu, tidak ada cara lain bahwa harus ada sistem yang mendukung pemerintah untuk memangkas seluruh regulasi yang menghambat investasi,” kata Bahlil dalam seminar ”Omnibus Law: Terobosan Pemerintah bagi Pertumbuhan Ekonomi”, yang digelar Assegaf Hamzah & Partners (AHP), di Jakarta.
Menurut Bahlil, RUU Cipta Kerja merupakan instrumen awal yang memberikan kepastian, kemudahan, dan efisiensi bagi sektor usaha. Meski demikian, BKPM yang menangani investasi akan selalu terbuka untuk menerima masukan dari sejumlah kalangan.
”RUU ini penting juga untuk dikoreksi oleh praktisi, pengusaha, dan aktivis. Tidak ada kesempurnaan yang hakiki dalam draf RUU itu. Inilah momentum untuk saling mengisi,” katanya.
RUU ini penting juga untuk dikoreksi oleh praktisi, pengusaha, dan aktivis. Tidak ada kesempurnaan yang hakiki dalam draf RUU itu. Inilah momentum untuk saling mengisi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5 persen per tahun dengan realisasi nilai investasi rata-rata Rp 800 triliun per tahun. Untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6 persen sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dibutuhkan investasi sebesar Rp 1.200 triliun atau 7 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
”Untuk mencapai target investasi Rp 1.200 triliun, dibutuhkan transformasi ekonomi secara struktural. Kalau pencapaian target itu dilakukan dengan jalur normal tanpa omnibus law, transformasi itu baru bisa jalan dalam 10 tahun,” ujarnya.
Dalam RUU Cipta Kerja itu, lanjut Airlangga, pemerintah juga memberikan fasilitas pelatihan untuk penduduk yang bekerja dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Masyarakat yang terkena PHK akan diberikan pelatihan enam bulan sehingga dapat kesempatan bekerja lagi. Mereka juga tidak dikenai pembayaran tambahan iuran.
Ketua Satuan Tugas Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani meminta masyarakat tidak membenturkan RUU Cipta Kerja dalam konteks kepentingan pengusaha versus buruh. RUU tersebut dibuat tidak dengan maksud hanya menguntungkan satu pihak, yaitu pengusaha, atau merugikan kalangan pekerja.
RUU itu disusun untuk mewadahi kepentingan pengusaha dan buruh. Pengusaha dan buruh saling membutuhkan sehingga komunikasi akan terus-menerus dibuka secara transparan dan menyeluruh untuk mendapatkan solusi bersama.
”Kekhawatiran yang muncul di awal penyusunan omnibus law dinilai hal yang wajar. Saya meminta masyarakat jangan memisahkan kepentingan buruh dan pengusaha. RUU Cipta Kerja ini disusun untuk kepentingan nasional. Tujuan dan visinya sama, meningkatkan kesejahteraan,” tuturnya.
Kekhawatiran yang muncul di awal penyusunan omnibus law dinilai hal yang wajar. Saya meminta masyarakat jangan memisahkan kepentingan buruh dan pengusaha.
Rosan menambahkan, titik berat RUU Cipta Kerja adalah pembenahan perizinan. Dari 174 pasal yang dibahas, sebanyak 80 pasal terkait perizinan. Perizinan telah membuat iklim investasi selama ini terhambat. Di sisi lain, harmonisasi pemerintah pusat dan daerah harus terus dibenahi.
Pendiri Assegaf Hamzah & Partners, Chandra M Hamzah, mengemukakan, RUU Cipta Kerja bukan satu-satunya obat untuk membenahi investasi. Regulasi merupakan salah satu faktor yang penting untuk membenahi investasi, tetapi ada faktor lain yang juga penting, yakni birokrasi.
”Regulasi tidak akan jalan tanpa birokrasi. Tinggal apakah birokrasi bisa dijalankan dengan baik,” ujarnya.