Wacana mengenai ekspor benih lobster menimbulkan polemik di masyarakat. Ada peluang agar benih lobster tidak diekspor, namun dibesarkan atau dibudidayakan di dalam negeri.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
SELONG, KOMPAS--Pemerintah masih menyerap masukan masyarakat terkait benih lobster di Tanah Air. Wacana perihal ekspor benih lobster menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sejauh ini, pemerintah memastikan, ekspor benih tidak akan dilakukan jika budidaya atau pembesaran lobster di dalam negeri bisa didorong.
Langkah pemerintah itu terkait rencana merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI.
"Kami sedang merevisi dan mempelajari. Dari temuan di lapangan, ada harapan dari masyarakat supaya Permen ini dievaluasi atau diperbaiki," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kunjungan kerja ke Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019).
Edhy, didampingi Gubernur NTB Zulkieflimansyah, meninjau lokasi pembesaran lobster dan panen bawal bintang serta berdialog dengan masyarakat di Dusun Telong-Elong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Edhy juga meninjau perikanan budidaya bulu babi, panen lobster pasir ukuran konsumsi, dan restocking lobster di Teluk Ekas, Kecamatan Jerowaru. Terakhir, ia ke Pelabuhan Awang di Pujut, Lombok Tengah dan berdiskusi dengan petani lobster.
Sejumlah pihak mendesak agar Permen KP No 56 Tahun 2016 itu diperbaiki. "Adanya permen ini seolah-olah nelayan kami dikebiri. Ada potensi mendapat pemasukan yang besar. Tetapi, karena peraturan itu, mereka tidak bisa berbuat banyak. Padahal, potensi di Lombok Timur besar, yakni sekitar 10 juta ekor setahun dan sekarang hanya 1 juta ekor yang bisa dibesarkan," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah asal NTB Achmad Sukisman Azmy.
Adapun Abdullah, petani lobster di Jerowaru, menyampaikan, harapan agar Permen KP itu direvisi, sehingga membolehkan penangkapan benih untuk pembesaran di dalam negeri.
Jangan ekspor benih
Dalam dialog, masyarakat juga meminta agar benih lobster tidak diekspor. Kepala Desa Ekas Buana, Hariyadi, mengingatkan agar hal itu benar-benar dipertimbangkan. "Kalau benih diekspor, apa yang bisa kami besarkan," kata Hariyadi.
Kajian tentang ekspor benih lobster merupakan bagian dari rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI. Ketentuan itu mencakup larangan penangkapan benih lobster untuk ekspor ataupun budidaya.
Berdasarkan Pasal 2 aturan tersebut, penangkapan dan/atau pengeluaran lobster hanya dapat dilakukan jika lobster tidak dalam kondisi bertelur. Syarat lain, ukuran panjang karapas di atas 8 sentimeter (cm) atau berat di atas 200 gram per ekor. Dalam Pasal 7 Ayat 1, setiap orang dilarang menjual benih lobster untuk budidaya. (Kompas, 18/12/2019)
"Tujuan (Permen Nomor 56 Tahun 2016) memang menjaga kelestarian, tetapi tidak lantas melarang masyarakat melakukan pembesaran. Pembesaran kan bisa diatur. Kalau kita lihat masyarakat di sini (Jerowaru), pembesar banyak. Kalau ini kita larang, mereka akan makan apa?," kata Edhy.
Terkait ekspor, menurut Edhy, hal itu hanya salah satu masukan yang dia terima. "Tetapi waktu itu kami belum tahu ternyata ada pembesaran lobster seperti di sini (Jerowaru). Masyarakat yang protes ekspor karena mereka bisa membesarkan (lobster)," kata Edhy yang berharap Lombok bisa menjadi salah satu titik pembesaran lobster.
Namun, tidak semua masyarakat setuju dengan larangan ekspor benih lobster. Muhammad Tohir, nelayan asal Lombok Tengah mengatakan, membesarkan lobster membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, menurut dia, dengan dibolehkan menjual benih lobster, maka mereka memiliki biaya untuk membesarkan lobster.
"Jadi, kami bisa membesarkan sekaligus mengeskpor benih. Itu juga untuk kebutuhan sehari-hari, untuk anak-anak kami. Kalau menunggu panen dari penaburan benih, butuh waktu lima sampai enam bulan," kata Tohir.
Terkait hal itu, menurut Edhy, dengan adanya masyarakat yang bisa membesarkan, maka ekspor benih lobster bisa jadi hanya tinggal cerita. Tetapi, jika pun harus membesarkan sendiri, maka perlu diatur agar tidak masif dan tidak terkontrol. Hal itu untuk menjaga benih lobster di alam.
Pembesaran, menurut Edhy, adalah istilah yang tepat, alih-alih menggunakan budidaya. "(Kita) belum bisa membudidayakan karena itu sampai lobsterya bisa punya anak. Kalau di sini, dari benih dibesarkan. Akan tetapi, budidaya kami usahakan terus. Misalnya, bekerjasama dengan Australian Research Center untuk belajar budidaya lobster sebagai budidaya utma," kata Edhy.
Terkait revisi, kata Edhy, akan segera diberlakukan. Namun, dia belum menentukan waktunya. "Tetapi yang jelas, dalam masa transisi, kami meminta kepada pihak terkait seperti kepolisian dan TNI, untuk membina. Mereka boleh membesarkan. Tetapi kalau sampai ekspor, kami tahan di bandara," kata Edhy.
Terkait rencana revisi, Gubernur NTB Zulkieflimansyah menyambutnya dengan positif. "Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlampau lama, akan ada perubahan peraturan menteri. Sehingga kesejahteraan bisa dicicipi masyarakat yang selama lima tahun ini puasa," kata Zulkieflimansyah.
Menurut Zulkieflimansyah, ia mendukung sepenuhnya keputusan pemerintah pusat terkait revisi. Dalam mengembangkan perikanan termasuk lobster, ia berharap investasi untuk teknologi-teknologi bisa didorong.