Pendidikan Karakter dari Nilai-nilai Pancasila Tetap Relevan
Pendidikan karakter dengan nilai-nilai Pancasila diyakini dapat menyiapkan generasi penerus bangsa sebagai sumber daya manusia unggul. Karena itu, perlu ada kolaborasi pendidikan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan karakter yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila diyakini tetap relevan untuk memperkuat jati diri anak bangsa agar mampu berkolaborasi di dunia global. Karena itu, pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dari proses pembelajaran sehari-hari di sekolah, peran keluarga, serta lingkungan agar nilai-nilai Pancasila tidak sekadar menjadi ajaran, tetapi juga menjadi budaya dalam kehidupan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, pendidikan akademik harus diimbangi dengan pendidikan karakter guna membentuk generasi bangsa yang cerdas dan berkarakter unggul untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin berat dan skala yang lebih besar. ”Pendidikan harus memastikan untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul di akademik dan mentalitas yang tangguh. Kami ingin memastikan pelajar Indonesia bisa menjadi pelajar Pancasila,” kata Nadiem dalam Webinar Nasional ”Pembentukan Karakter dan Mentalitas Unggul Generasi Emas Berbasis Pancasila Melalui Pendidikan” yang digelar Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (PPM) dalam rangka Hari Lahir Pancasila, Rabu (1/6/2022).
Profil pelajar Pancasila menguatkan karakter anak-anak usia dini hingga pendidikan tinggi yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; mandiri; gotong royong; bernalar kritis; dan kreatif. ”Pendidikan karakter yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila ini tidak sekadar hafalan, tetapi dapat dipraktikkan secara nyata. Untuk itu, pendidikan karakter diimplementasikan dengan project based learning agar anak-anak dapat mengeksplorasi di luar kelas tentang isu-isu yang relevan agar dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila. Kami mengajak semua pihak berkolaborasi untuk mendorong pendidikan karakter generasi muda menjadi pelajar Pancasila,” kata Nadiem.
Ketua Umum Pengurus Yayasan PPM Tjahjono Soerdjibroto mengatakan, peluang Indonesia untuk naik kelas menjadi negara maju di usia 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada 2045 terbuka karena ada bonus demografi. Ini bisa terwujud asalkan peningkatan SDM unggul menjadi prioritas.
Pola pikir, mentalitas, dan karakter menjadi fondasi untuk mewujudkan SDM unggul. Selain itu, berbagai kalangan harus turut serta mewujudkan keberhasilan bonus demografi.
Peningkatan kompetensi dan produktivitas penting agar angkatan kerja yang beragam terserap. Sekarang angkatan kerja bervariasi, mulai dari generasi baby boomer atau generasi X, generasi Y, generasi Z, hingga generasi Alpha.
”Kerja sama tim yang baik akan menentukan keberhasilan. Hanya dengan kompak dan kolaborasi, persaingan antargenerasi bisa diatasi. Di sinilah, pendidikan karakter dari nilai-nilai Pancasila dibutuhkan,” kata Tjahjono.
Sementara itu, Kepala Sekolah Mentari Intercultural School Jakarta Jufenda W Hayuningtyas mengatakan, pendidikan karakter tidak berjalan sendiri, tetapi harus jadi bagian dari proses pembelajaran itu sendiri. Proses panjang yang dijalani anak lewat pendidikan di sekolah akan selalu disisipi dengan nilai-nilai yang digali dari Pancasila.
”Apalagi, untuk pendidikan dasar yang jadi fondasi dari pendidikan formal selanjutnya, penguatan pendidikan karakter harus dijalankan dengan sepenuh hati oleh para pendidik. Sebab, karakter nantinya akan jadi jati diri yang anak-anak bangun dan kembangkan lewat berbagai macam proses sehingga menjadi budaya. Karakter itu tidak dikenalkan saja, tetapi ada proses panjang. Di sekolah diajarkan, dibiasakan, dan dilatih secara konsisten, diimplementasikan di lingkungan sosial sehingga menjadi kebiasaan dan muncul menjadi karakter baik,” papar Jufenda.
Menurut Jufenda, sekolah dengan kurikulum nasional dan internasional menjadikan Pancasila sebagai pegangan dalam memperkuat nilai moral, etika, dan karakter yang konsisten di pembelajaran.
Ada pandangan romantis bahwa menjadi orangtua tidak perlu belajar dan ada anggapan bahwa begitu orang punya anak, otomatis bisa menjadi orangtua yang baik.
Ika Budhiningsih, guru Bimbingan Konseling SMA Negeri 8 Jakarta, mengatakan, penanaman karakter Pancasila di sekolah ini bukan hal baru. Secara sadar, para pendidik menjalankan pendidikan yang menguatkan karakter Pancasila.
”Penanaman karakter Pancasila bukan hal baru untuk sekolah. Jika sudah konsisten menjalankan, apakah namanya Penguatan Pendidikan Karakter/PPK atau Profil Pelajar Pancasila, itu hanya label baru. Pendidikan karakter dengan nilai-nilai Pancasila seharusnya sudah jadi bagian dari sekolah sejak dulu,” tutur Ika.
Aries Heru Prasetyo, dosen PPM School of Management, mengatakan, tahapan pendidikan karakter secara alamiah dalam diri peserta didik harus dibantu. Karena itu, pendidik menyiapkan rancangan besar sehingga pembelajaran holistik selalu bisa dijalankan dan masyarakat bisa memetik buah dari generasi muda yang kuat pendidikan holistik, akademik, dan karakternya.
Koordinator Perkumpulan Homeschooler Indonesia Ellen Kristi mengatakan, pendidikan karakter di Indonesia memang masih belum ideal seperti yang diharapkan. Guna mendukung pembangunan karakter, seharusnya tidak terjebak bisa membereskannya dengan menangani secara individual tanpa memperbaiki sistem pendukung. Anak diharapkan menjadi sosok yang dipercayainya untuk bermakna dalam hidup.
Menurut Ellen, keluarga punya peran penting dalam pendidikan karakter anak. Namun, ada pandangan romantis bahwa menjadi orangtua tidak perlu belajar dan ada anggapan bahwa begitu orang punya anak, otomatis bisa menjadi orangtua yang baik.
”Sayangnya, belum ada upaya serius memberikan pendidikan pengasuhan anak kepada orangtua. Akibatnya, orangtua sering tidak siap dengan kerumitan tugas membesarkan seorang anak manusia,” kata Ellen.
Selain itu, orangtua tidak difasilitasi menjalankan amanat sebagai orangtua. Ada kesulitan bagi ibu bekerja, misalnya, dalam mendampingi anak-anak saat bekerja karena tidak ada tempat perawatan anak yang disediakan kantor. Dukungan ayah juga sulit karena kebijakan cuti yang pendek.
Hal lainnya adalah masalah institusionalisasi pendidikan, terutama sejak kebijakan wajib belajar. Lambat laun, sekolah menjadi utama dan peran keluarga dikesampingkan.
Ketika pandemi Covid-19 terjadi dan sekolah harus tutup dengan pembelajaran jarak jauh di rumah, pendidikan diserahkan kembali ke orangtua. Karena tidak terbiasa, orangtua tidak percaya diri mampu mendampingi anak dalam memberikan pendidikan akademik dan karakter.
”Pembentukan karakter untuk generasi muda bangsa menjadi kerja besar dan perlu kebijakan strategis yang membuat orangtua percaya diri dan punya skill dalam menjalankan perannya,” kata Ellen.
Sementara itu, M Anshori, Koordinator Jaringan Islam Antidiskriminasi sekaligus dosen Agama dan Pancasila di Universitas Ciputra, Surabaya, mengatakan, nilai-nilai Pancasila harus dikenalkan dan dihidupi anak-anak sejak dini. Guru perlu membukakan ruang perjumpaan bagi perbedaan dan keberagaman. Sebagai contoh, siswa yang beragama berbeda bisa saling berteman dan bekerja sama.