Ganti Rugi bagi Anak Korban Tindak Pidana Masih Terkendala
Pemberian ganti rugi kepada anak yang menjadi korban perlu mendapat perhatian. Sebab, anak-anak membutuhkan pemulihan setelah menjadi korban tindak pidana karena tumbuh kembangnya terganggu.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati diamanatkan oleh undang-undang, pemenuhan hak restitusi atau ganti rugi bagi anak-anak korban tindak pidana masih mengalami sejumlah kendala. Salah satunya, belum semua aparat penegak hukum memasukkan restitusi sebagai tuntutan yang harus dibayarkan pelaku kepada korban.
Di sisi lain, dari pihak korban, keluarga, dan pendamping tidak mengajukan permohonan. Restitusi juga sering tidak terealisasi ketika putusan pengadilan memberikan pidana tambahan kurungan sebagai pengganti restitusi. Meskipun ada perintah untuk menyita aset pelaku, implementasinya sering mengalami hambatan.
Untuk itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Rabu (27/4/2022), sepakat menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) tentang Sinergi Advokasi Pemenuhan Hak Restitusi dalam Perlindungan Anak Korban Tindak Pidana.
Penandatanganan PKS tersebut dilakukan Ketua KPAI Susanto, Sekretaris Jenderal LPSK Noor Sidharta, dan Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar. Melalui PKS tersebut, ketiga pihak menyepakati penguatan advokasi kebijakan atau regulasi terkait pemenuhan hak restitusi, pemenuhan hak restitusi anak korban tindak pidana, serta koordinasi dan sosialisasi pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak anak korban tindak pidana termasuk pemenuhan hak restitusi.
Selain itu, kerja sama akan dilakukan dalam lingkup pertukaran data, informasi terkait perkara pidana anak korban tindak pidana, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia di tingkat aparat penegak hukum.
Susanto menyatakan, pemberian restitusi sangat penting bagi anak korban tindak pidana. Sebab, penderitaan yang dialami anak korban tindak pidana tidak bisa dihitung secara kuantitatif. ”Maka, penuntasan rehabilitasi bagi korban harus dipastikan,” ujar Susanto.
Pemberian restitusi sangat penting bagi anak korban tindak pidana. Sebab, penderitaan yang dialami anak korban tindak pidana tidak bisa dihitung secara kuantitatif.
Dalam kerja sama tersebut, KPAI akan melakukan, di antaranya, pengawasan terhadap para pemangku kepentingan perlindungan anak, termasuk aparat penegak hukum, dalam menjalankan tugas dan fungsi untuk memenuhi hak restitusi bagi anak korban tindak pidana.
Kekerasan anak jumlah korban menurut bentuk kekerasan.
Noor Sidharta juga menegaskan, pembayaran restitusi atas anak korban tindak pidana wajib dilakukan. Adapun pemberian atau pelaksanaan restitusi bagi anak korban tindak pidana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017. LPSK memfasilitasi proses pembayaran restitusi tersebut dengan melakukan perhitungan.
Peraturan pemerintah tersebut merupakan turunan dari Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2Ol4 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan PP No 43/2017, pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan penggantian biaya perawatan medis atau psikologis.
Nahar menegaskan, anak korban tindak pidana yang berhak mendapat restitusi adalah anak yang berhadapan dengan hukum; dieksploitasi secara ekonomi atau seksual; menjadi korban pornografi, korban penculikan, penjualan, dan perdagangan; korban kekerasan fisik; dan anak korban kejahatan seksual.
Persoalannya, meskipun ada pengaturan tentang ganti rugi, ketika pengadilan menghukum pelaku hukuman mati ataupun seumur hidup, pelaku tidak bisa lagi dihukum membayar restitusi. Sementara anak korban tindak pidana tidak mendapatkan ganti rugi, padahal dampak yang dirasakan sangat besar.
Komisioner KPAI Ai Maryati Solihah saat menyampaikan pengantar mengungkapkan, pemenuhan restitusi membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama permohonan wali atau orangtua anak korban dan penyelenggara perlindungan anak yang mendampingi. Itu bertujuan untuk memastikan pemenuhan hak restitusi anak korban pidana. ”Ini penting agar korban mendapat keadilan dari kerugian yang ia alami,” katanya.