Korban kekerasan seksual membutuhkan perhatian khusus semenjak awal melaporkan tindak pidana yang dialaminya. Keberadaan layanan terpadu yang bisa diakses dengan mudah menjadi harapan para korban.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelayanan terhadap korban kekerasan seksual hingga kini masih terbatas. Selama ini, korban sering kesulitan mengakses lembaga layanan, bahkan korban harus melalui proses yang panjang dan melelahkan, mulai dari pelaporan kasus hingga proses hukum.
Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang akan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah diharapkan memberi perhatian khusus pada pengaturan layanan terpadu yang benar-benar akan memberikan dukungan kepada korban, baik pada saat menempuh proses peradilan pidana maupun proses di luar peradilan pidana.
Pentingnya pengaturan akan layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual dibahas dalam diskusi grup terarah ”Simulasi Layanan Terpadu dalam RUU TPKS: Menguji Norma RUU TPKS untuk Mengurai Hambatan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Seksual” yang digelar Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS), Rabu (23/3/2022).
Diskusi dibuka oleh Ratna Batara Munti dari JPHPKKS dan Ali Khasan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Hadir sebagai pemateri Ninik Rahayu yang mewakili JPHPKKS serta Wulansari selaku Tenaga Ahli Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Perempuan dan Anak pada Unit Pelayanan Terpadu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT P2TP2A) DKI Jakarta.
Ninik menguraikan bagaimana pentingnya akses layanan yang disediakan P2TP2A, hambatan dan contoh baik bagi korban dalam mengakses layanan, serta identifikasi aktor kunci yang menghambat dan mendukung pemberian layanan bagi korban.
Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian khusus pada pengaturan layanan terpadu dalam RUU TPKS dan daftar investarisasi masalah (DIM) pemerintah. Sebab, persoalan layanan terpadu tidak sekadar layanan untuk pemenuhan hak korban, tetapi layanan yang terintegrasi di hampir semua proses, termasuk saat beracara.
”Karena korban sebagai subyek utama, harus dilihat apa saja yang menjadi hak, kepentingan terbaik bagi korban, serta proses hukum dan reintegrasi yang terkait dengan korban,” kata Ninik.
Jika nanti akan dilakukan simulasi terkait layanan terpadu yang diatur dalam RUU TPKS, Ninik menyatakan, ada sejumlah hal yang perlu mendapat perhatian. Misalnya, RUU tersebut mengatur seakan-akan yang bisa melaporkan kasus kekerasan seksual hanya korban atau saksi yang melihat secara langsung, padahal penegak hukum bisa melaporkan karena itu bukan delik aduan.
Tumpang tindih laporan
Ninik juga menyoroti tumpang tindih laporan kasus kekerasan seksual. Ia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang dialami seorang mahasiswa di Jawa Timur yang melaporkan kasusnya ke beberapa organisasi pendamping korban lokal hingga Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Kementerian PPPA, tetapi akhirnya bunuh diri. ”Artinya, link laporan menjadi sangat penting,” ujarnya.
Sementara saat ini belum semua provinsi di Tanah Air memiliki unit pelayanan teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA). Dari 34 provinsi, baru 16 provinisi yang memiliki UPTD PPA. Keberadaan UPTD PPA seharusnya bisa terhubung dengan lembaga kepolisian dan lembaga layanan korban berbasis komunitas.
Karena korban sebagai subyek utama, maka harus dilihat apa saja yang menjadi hak, kepentingan terbaik bagi korban, serta proses hukum dan reintegrasi yang terkait dengan korban.
Ketika korban melapor seharusnya menghasilkan data laporan kasus (DLK). Selanjutnya korban bisa mendapat pemulihan awal sebelum dilakukan asesmen yang menghasilkan data rekam kasus (DRK).
”Karena ketika korban melapor, kadang-kadang dia belum memutuskan apakah akan ke proses hukum atau tidak. Maka, pemulihan awal menjadi penting dengan menggunakan DLK. Jadi, data ini bukan data diam. Korban tidak boleh ditanya dua kali, DLK tersebut bisa menghasilkan DRK kalau diproses hukum, kalau tidak dilakukan upaya pendampingan,” kata Ninik dalam diskusi yang dipandu Sri Nurherwati dari JPHPKKS itu.
Tantangan UPTD
Wulansari menyatakan, kekerasan seksual merupakan salah satu kasus yang ditangani P2TP2A Jakarta, selain kasus kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, perdagangan orang, dan eskploitasi.
Adapun tantangan layanan yang dihadapi P2TP2A DKI Jakarta antara lain masih ditemukan asesmen berulang, terdapat perbedaan perspektif setiap layanan dalam melihat kasus, sertajumlah petugas yang menangani kasus cenderung banyak. Ia mencontohkan, satu kasus bisa ditangani lima petugas sehingga korban harus bertemu banyak orang.
Selain itu, P2TP2A Jakarta juga menghadapi tantangan layanan kesehatan yang diberikan melalui rujukan/koordinasi. Misalnya, layanan visum sudah diatur melalui keputusan gubernur, tetapi masih ada fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk belum dapat melaksanakan visum atas kasus kekerasan seksual.