Hak Korban atas Restitusi Harus Jadi Perhatian
Ganti rugi adalah hak korban kekerasan seksual tapi hingga kini pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati korban kekerasan seksual mengalami penderitaan dan kerugian materiil dan imateriil, regulasi yang ada saat ini hanya berfokus untuk menghukum para pelaku. Hingga kini hak korban mendapat restitusi atau ganti rugi dari pelaku atas semua penderitaan yang dialami masih jauh dari harapan.
Oleh karena itu, pemberian restitusi hendaknya mendapat perhatian khusus dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Sejak awal kasus kekerasan seksual terungkap, harus segera diatur mengenai pihak siapa saja yang bertanggung jawab memberikan ganti kerugian kepada korban, serta bagaimana mekanisme pembayaran restitusi, agar hak korban tidak terabaikan.
”Sering kali pada kasus yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban maupun saksi, kita abai melihat nilai keadilan bagi korban,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Bintang Darmawati menyampaikan hal itu pada diskusi terarah tentang ”Perumusan Rekomendasi Mekanisme Pemberian Restitusi, Kompensasi, dan Bantuan bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual” yang digelar Kementerian PPPA, di Jakarta, Senin (21/3/2022).
Sering kali pada kasus yang melibatkan perempuan dan anak sebagai korban maupun saksi, kita abai melihat nilai keadilan bagi korban.
Karena itu, Bintang Darmawati menegaskan, semua pihak hendaknya memberikan perhatian dan mengupayakan agar sistem pemberian ganti kerugian, kompensasi, dan bantuan bagi korban dilaksanakan secara tepat dan singkat demi pemulihan dan keadilan bagi korban. ”Dengan demikian, apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan dan tidak terabaikan,” ujarnya.
Pemberian ganti rugi kepada korban mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. PP tersebut mengatur, korban tindak pidana di luar pelanggaran hak asasi manusia yang berat perlu diberikan restitusi dan bantuan pemulihan terhadap kondisi fisik dan psikis.
Untuk itu, Bintang Darmawati menegaskan, demi kepentingan korban, diperlukan identifikasi masalah dan masukan ataupun terobosan terkait mekanisme pembayaran restitusi dan kompensasi. Selain itu, peran pemerintah dan aparat penegak hukum dalam merumuskan rekomendasi jaminan hak perempuan dan anak korban kekerasan seksual perlu ditingkatkan.
Perumusan itu menjadi penting karena selama ini peraturan perundang-undangan yang ada memiliki beberapa kelemahan dalam memberikan hak ganti kerugian bagi korban kekerasan seksual dan pada praktiknya belum seperti yang diharapkan.
Baca juga : Bersama Mengawal RUU TPKS
Selain mengundang perwakilan kementerian/lembaga, diskusi tersebut juga mengundang perwakilan organisasi masyarakat sipil yang mendampingi korban kekerasan seksual. Pada diskusi sesi pertama yang dipandu Ratna Batara Munti dari Lembaga Bantuan Hukum APIK Indonesia, hadir sebagai pemantik diskusi Sri Nurherwati (Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual dan Yayasan Sukma) serta Livia Iskandar (Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/LPSK).
Pada acara itu, para peserta melakukan simulasi pemberian restitusi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual yang dipandu oleh Asfinawati (pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera). Selain membahas alur mekanisme berdasarkan kasus yang pernah ditangani, praktik baik pemberian restitusi dan kompensasi, peserta menguji rumusan mekanisme restitusi dan pemberian kompensasi dalam RUU TPKS untuk mengatasi berbagai hambatan yang selama ini ditemukan.
Tantangan pelaksanaan restitusi
Nurherwati mengungkapkan sejumlah pembelajaran dan tantangan pelaksanaan restitusi bagi korban kekerasan seksual saat proses hukum. Sebagai contoh, para hakim menolak permohonan restitusi karena Pasal 5 UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak menyebut kekerasan seksual dewasa sebagai kewenangan LPSK. Hakim juga tidak mengabulkan permohonan restitusi karena penyidik memasukkan restitusi dengan tuntutan tidak dirinci.
Sementara itu, LPSK juga menolak permohonan restitusi karena pengajuan permohonan dianggap terlambat dan LPSK hadir pada saat pemeriksaan perkara sedang memeriksa saksi-saksi. ”Tantangan lain yakni jaksa penuntut umum menolak menggabungkan restitusi dengan perkara pidana atau menyarankan korban mengajukan sendiri di persidangan,” papar Nurherwati.
Baca juga : Sempurnakan Draf RUU TPKS
Livia menjelaskan, mekanisme pengajuan restitusi oleh LPSK dilakukan berdasarkan UU No 31/2014. Pengajuan dilakukan sebelum pembacaan tuntutan dan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Sebelum pembacaan tuntutan, korban mengajukan permohonan ke LPSK, yang dapat dilakukan sendiri oleh korban, keluarga, atau kuasa hukum dengan dilengkapi dokumen yang dibutuhkan.
Untuk pengajuan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, LPSK melakukan pendalaman atas permohonan pemohon dan melakukan penghitungan jumlah besaran untuk restitusi berdasarkan dokumen yang ada.
Namun, LPSK menghadapi sejumlah tantangan dalam pelaksanaan restitusi. ”Restitusi belum mandatory disebutkan dalam regulasi. Selain itu, membutuhkan kerja sama dari aparat penegak hukum dalam pemenuhan hak korban atas restitusi karena belum banyak dipahami oleh para aparat penegak hukum mengenai pemulihan korban saksi/korban,” papar Livia.
Tantangan lain, masyarakat, khususnya korban, belum banyak yang mengetahui haknya untuk mendapatkan pemulihan serta belum ada peraturan mengenai pengajuan restitusi setelah berkekuatan hukum tetap.