Pendidikan tak hanya untuk mencerdaskan, tetapi juga harus mampu membentuk sosok siswa yang cerdas dan baik. Untuk itu, pendidikan karakter dinilai penting.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia pendidikan harus menerima unsur baru di luar hal akademik jika ingin berkembang dalam mempersiapkan generasi muda yang tidak saja pintar, tetapi juga berkarakter baik. Pendidikan karakter juga menjadi salah satu kunci penting yang diajarkan guru dan sekolah dalam membantu siswa berkembang menjadi anak yang cerdas dan baik.
Sayangnya, pendidikan karakter di Indonesia masih saja disibukkan dengan urusan mengutak-atik nilai. Ditambah lagi dengan model belajar di sekolah yang umumnya masih menghafal. Selain itu, tidak semua guru mata pelajaran mampu memahami cara untuk berperan dalam pendidikan karakter yang membantu siswa tumbuh menjadi sosok yang mampu melakukan hal terbaik dengan cara-cara yang benar.
”Sekolah jangan bingung mau menghasilkan siswa yang pintar atau baik. Pendidikan harus bisa secara terencana membantu siswa menjadi anak pintar dan baik,” kata Instruktur International Character Education Certified Trainer Djohan Yoga di webinar bertajuk ”Educating for Character: Strategi Implementasi Pendidikan Karakter”, Sabtu (19/3/2022). Acara ini dihadiri ratusan guru dari sejumlah daerah di Indonesia.
Siswa mau nilai bagus atau ranking, ya belajar, bukan mencontek. Atau mau kaya, ya bekerja keras, bukan korupsi.
Ia mengakui, pendidikan karakter seperti itu membutuhkan waktu lama dan teladan. Tak heran ini membuat sekolah merasa lebih senang dengan akademik karena hasilnya cepat dan terlihat membanggakan. Namun, ia menunjukkan negara-negara yang dalam pendidikannya kuat dalam pendidikan karakter, seperti Jepang dan Finlandia, terbukti mampu menghasilkan generasi muda yang pintar dan baik.
Djohan megatakan, pendidikan karakter di Indonesia antara lain dilandaskan dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara, yakni olah hati, olah pikir, olahraga, dan olah karsa. Lalu, dalam pergantian menteri pendidikan, nilai-nilai dalam pendidikan karakter juga sering berganti. Ada yang sampai 18 nilai, lalu dikristalisasi menjadi lima nilai. Kini, diganti enam nilai Profil Pelajar Pancasila.
Djohan mencontohkan, di Singapura, pendidikan karakter dilandasi dengan nilai-nilai inti yang universal, ada enam nilai. Ada pendidikan kewarganegaraan dan karakter, semua guru mendapatkan pelatihan untuk bisa mengintegrasikannya dalam tiap mata pelajaran. Di Australia, ada sembilan nilai untuk persekolahan yang juga universal.
”Di Indonesia sering diubah-ubah, pernah 18 nilai, lalu lima nilai, sekarang enam nilai. Kasihan, para guru juga jadi puyeng karena tiap ada pejabat baru ganti model pendidikan karakter,” kata Djohan.
Di dalam Kurikulum 2013, ujar Djohan, sebenarnya sudah menguatkan pentingnya pendidikan karakter. Namun, para guru tetap belum mampu mengembangkan dan menggali strategi mengajarkan pendidikan karakter dalam tiap mata pelajaran.
Karakter performa dan moral
Di dunia internasional, pemikir pendidikan karakter Thomas Lickona menyadarkan sekolah untuk bisa menguatkan pendidikan karakter, tidak hanya fokus untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Justru, dengan pendidikan karakter baik, menjadi pagar bagi anak-anak untuk bisa mengembangkan ilmu pengetahuan dan kemampuan dengan memegang etika.
Djohan mengatakan, pendidikan karakter sering kali dipahami hanya untuk membuat anak menjadi baik. Akibatnya, guru atau sekolah dilematis mana yang didahulukan, menjadikan siswa pintar atau baik.
Mengacu pada pendidikan karakter yang dikembangkan Thoams Lickona, pendidikan karakter itu mencakup karakter performa dan karakter moral. Kedua pendidikan karakter ini harus mampu dijalankan selaras oleh pendidikan sehingga anak pintar dan baik bisa dibentuk oleh dunia pendidikan.
”Pendidikan karakter di sekolah itu jadi holistik dengan memperkuat literasi dan numerasi, yakni membaca, menulis, dan menghitung, juga menghormati dan tanggung jawab. Inilah yang namanya sekolah untuk anak cerdas dan baik (smart and good) guna mengatasi keluhan hasil dari dunia pendidikan yang disebutkan unggul, tetapi tidak cukup,” kata Djohan.
Pendidikan karakter performa membantu siswa untuk melakukan yang terbaik. Mereka berorientasi untuk menguasai sesuatu (ilmu pengetahuan dan kemampuan) yang dibutuhkan untuk merealisasikan potensi dalam meraih prestasi. Karakter performa ini akan memaksimalkan prestasi, karena akan melahirkan kekuatan dan strategi yang menantang diri kita sendiri untuk meraih yang terbaik dari talenta yang kita miliki.
Adapun karakter moral untuk melakukan yang benar. Berorientasi pada hubungan antarsesama manusia. Dibutuhkan untuk berperilaku yang beretika, hubungan yang positif, dan warga negara yang bertanggung jawab. Karakter moral menghargai pendapat orang lain sehingga kita tidak melanggar nilai moral saat kita mengejar prestasi.
”Kedua karakter saling mendukung satu dengan yang lain secara terpadu dan terkait. Dalam setiap prestasi, ada unsur moral. Seperti atlet, mau berpretasi ya berlatih, bukan doping. Siswa mau nilai bagus atau ranking, ya belajar, bukan mencontek. Atau mau kaya, ya bekerja keras, bukan korupsi,” kata Djohan.
Menurut Djohan, karakter siswa seperti otot yang berkembang karena terus dilatih. Pendidikan karakter ini sebagai proses mengubah kehidupan anak-anak dengan mengubah karakter performa dan moral. Supaya ketika melakukan terbaik dengan yang dipunyainya, itu dilakukan dengan benar atau tidak menyimpang.
”Untuk pendidikan karakter baik ini, pendidik anak dari orangtua di rumah dan guru di sekolah punya peran penting, terutama menjadi teladan,” kata Djohan.
Perkuat karakter
Secara terpisah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, transformasi pembelajaran dilakukan dengan menekankan pada hal mendasar, yakni literasi, numerasi, dan karakter. Kurikulum Merdeka mendukung pembelajaran yang sederhana dan fleksibel sehingga mendalam dan memperkuat karakter.
Bahkan, kata Nadeim, pendidikan karakter untuk membentuk Profil Pelajar Pancasila, diberikan porsi khusus sekitar 25 persen dari jam pelajaran per tahun. Karakter dalam Profil Pelajar Pancasila yakni beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global, diperkuat lewat pembelajaran berbasis proyek.
Ada tema-tema yang bisa dipilih sekolah untuk dilakukan sebagai proyek pembelajaran tiap tahunnya. Para guru pun dituntut berkolaborasi untuk mendesain proyek yang fleksibel dan kontekstual untuk membuat siswa terasah karakter dalam Profil Pelajar Pancasila lewat pengalaman belajar langsung.